webnovel

Tamu Undangan

"Dasar nggak tau malu, dulu godain kakaknya. Sekarang adeknya? Hah?!" seru Zoya dengan botol air mineral dingin ditangannya dan sebelahnya dipegangi laki-laki bernama Gaska yang tidak lain ialah tunangannya.

"Zoya!" panggil Gaska menenangkan tuangannya dengan suara yang agak meninggi.

"Loh, bener kan? Dia dulu kan ngrebut kamu".

"Zoya!".

"Oh ya, ini undangan pernikahanku sama Gaska buat kamu. Dasar cewek murahan!" seru Zoya memaki Ana sembari tangannya memberikan sebuah undangan ditangan Ana.

"Zoya!!!" seru Gaska yang kini menampar Zoya didepan orang banyak.

Gaska segera menarik tangan Zoya pergi meninggalkan Ana, Luqy dan Raina yang kini menahan malu akibat perbuatan Zoya. Untung saja Raina segera sadar dan menyuruh Luqy serta Ana untuk pergi meninggalkan tempat itu, Raina ingat bahwa dirinya membawa koper berisi pakaian. Dengan terburu-buru Raina ambil pakaian yang ada dalam koper dan memberikannya pada Ana yang terlah basah kuyup dan hanya diselimuti dengan jas abu-abu milik Luqy. Ana pun segera berganti pakaian didalam mobil Raina dan betapa tertegunnya Luqy saat melihat Ana menggunakan dress hijau sage dengan hiasa bunga dibagian atas dress, baru kali ini Luqy melihat Ana menggunakan pakaian bebas dan terlihat cantik meskipun riasan diwajahnya telah terhapus seluruhnya.

Selang beberapa jam berlalu, Ana masih saja memandangi undangan yang diberikan Zoya. Perasaan galau dan bingung benar-benar terlihat dinetranya, Raina yang meliriknya hanya diam dan tetap memesan beberapa makanan. Ana yang mengikuti pesanan Raina pun hanya diam sembari membolak-balik undangan yang sebenarnya sudah ia baca berulang kali.

"Kalo kata aku sih mending kamu dateng aja, An" ucap Raina membuka pembicaraan.

"Tapiii…"

"Tapi apa? Kamu takut sama Zoya? Ada aku, aku juga diundang Gaska" ucap Raina memotong pembicaraan Ana kemudian menunjukkan undangan yang ia terima dari Gaska sewaktu menunggu Ana keluar dari aula.

"Tapi, Ra.."

"Udah, semuanya biar aku yang atur. Yang penting kita makan dulu, yuk" ucap Raina menenangkan Ana. Mereka pun menyantap satu persatu makanan yang mereka pesan, tak ketinggalan pula makanan penutup yang membuat Ana semakin tenang karna rasa manisnya.

Hari berlalu dan tibalah mereka diacara pernikahan Gaska dan Zoya, acara yang mewah nan megah. Berbalut gaun peach dan suite jas membuat kedua mempelai nampak serasi dan menawan. Lirikan mata Zoya kini tertuju pada Ana yang berjalan menuju dirinya dan Gaska, bibirnya seakan mempersiapkan perkataan yang bisa saja menghujam hati Ana. Gaska yang melihat gelagat Zoya pun mencoba memperingatkan Zoya untuk tidak mempermalukan Ana didepan semua tamu undangan.

"Kalau kamu melakukan itu, aku jamin acara pernikahan ini batal. Aku sama keluargaku nggak masalah malu, gimana sama keluarga mu?" ancam Gaska yang melihat Zoya mempersiapkan segelas jus yang bisa saja ia tumpahkan kepada Ana.

Sontak Zoya diam dan mencoba mengikuti arahan Gaska untuk tidak melakukan niat jahatnya, sejahat apapun Zoya masih takut jika harus menghadapi kemarahan papahnya.

Ana yang datang mencoba memberi selamat pada Gaska dan Zoya ditemani Raina, dirinya sama sekali tidak menatap Gaska dan Zoya yang terus memandang dirinya dengan amarah. Selesai memberi selamat, Ana tidak mencicipi sedikit pun sajian malam itu, ia bergegas pergi meninggalkan acara dengan alasan tidak enak badan. Meskipun tau akan kebohongan Ana, sebagai sahabat yang baik Raina menuruti permintaan Ana dan mengantarkan Ana pulang ke rumahnya.

Sedih, kecewa dan bingung. Itulah yang Ana rasakan saat tubuhnya berbaring diatas kasur, matanya merasakan kantuk namun pikirannya tidak mau diistarahatkan. Pikirannya membuat tubuh yang ingin diistirahatkan terasa begitu segar, dipaksakan untuk tidur pun seperti menolak. Akhirnya Ana memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan duduk dimeja makan rumahnya dan seperti paham betul dengan kekhawatiran anaknya, bapak Ana pun menemani anak sulungnya dengan sedikit mengajaknya bercengkrama.

"Belum tidur, nak?" tanya bapak Ana mengagetkan lamunan Ana.

"Eh iya, pak. Bapak juga belum tidur?" tanya Ana tersadar dari lamunannya.

"Ini, bapak baru selesai beresin sisa makanan angkringan" tunjuk bapak memperlihatkan beberapa makanan yang disusun rapi diatas nampan.

"Ohh, ramai pak?" tanya Ana sembari mengutip salah satu sate-satean.

"Alhamdulillah, cuma agak kewalahan aja. Hehe" jawab bapak yang terus memperhatikan putrinya.

"Maaf ya pak, Ana nggak bisa bantuin bapak tadi" ucap Ana merasa tak enak.

"Nggak papa, lagian kan tadi ada Alma" ucap bapak mengelus bahu Ana.

"Kamu kenapa, nak? Ada masalah apa?" tanya bapak mengkhawatirkan Ana.

"Nggak papa, pak" jawab Ana mencoba berbohong.

"Bapak memang bukan bapak kandung kamu, An. Tapi bapak tau gimana kamu, kamu nggak mungkin seperti ini kalau nggak ada masalah yang bener-bener berat buat kamu" jelas bapak mencoba duduk disebelah Ana.

"Atau gara-gara itu? Kamu jadi ambil kesempatan itu? Kalau kamu bingung, mending nggak usah nak" jelas bapak menebak masalah Ana.

"Ah, iya. Bukan itu pak. Tapi kalau aku jadi ambil kesempatan itu gimana, pak? Apa bapak nggak papa dirumah sama Alma?" tanya Ana teringat sesuatu dan kemudian mengkhawatirkan bapak dengan adiknya.

"Nggak papa, kalau menurut kamu bener. Kenapa nggak kamu ambil aja, nak? Lagian persiapan mu udah sejauh ini, kamu nggak usah khawatirin bapak sama Alma. Toh bapak juga udah sembuh, bapak juga bakal lanjutin usaha angkringan kamu. Tapi bapak minta, gaji bapak dianikin ya?" ucap bapak mencoba mencarikan suasana.

"Hahaha, gaji apaan sih pak?" ucap Ana tertawa masam.

"Nah, gitu dong ketawa. Kan anak bapak cantik kalau senyum gitu, anak bapak kan pengusaha angkringan sukses" ucap bapak memeluk Ana.

Kalimat itu pun hanya diaminkan Ana dan keduanya hanyut dalam pembahasan yang tidak ada habisnya meskipun jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB.