webnovel

Brave New Age (Bahasa)

Ada bahaya besar di balik kedamaian Benua Meropis. Setelah berakhirnya perang suci 150 tahun lalu, sekali lagi agama menjadi pemicu sebuah pertikaian di masa depan. Karena kenapa? Karena tidak ada perang yang kebetulan. Semua perang itu ternyata diciptakan oleh organisasi yang bernama New Age Order. Para raja tunduk padanya, para bangsawan di bawah kendalinya. Para agamawan menjual agama mereka demi agenda organisasi itu. New Age Order menguasai semuanya di saat manusia merasa hidup mereka baik-baik saja. Celakanya, perang baru itu akan jauh lebih besar. Perang itu New Age Order ciptakan untuk menjajah negeri-negeri kecil yang menentang kekuasaan mereka. Adakah yang bisa melawannya? Ada. Masa depan dunia menjadi berbeda ketika sekelompok orang memanggil kekuatan dari dunia lain. Sebuah kota misterius tiba-tiba muncul di pulau terpencil. Kota yang bernama Maylon itu adalah gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia lain berperadaban maju. Kota Maylon menjadi ancaman nyata di kala mereka mengerahkan militernya. Benda terbang? Senjata yang bisa membunuh dari jarak jauh? Kapal raksasa dari baja? Kota Maylon memilikinya. Teknologi militernya sangat mengerikan hingga panah dan pedang bukanlah lawan sepadan. Dan di saat negeri-negeri kecil itu dilanda putus asa, Kota Maylon datang menawarkan bantuan. Bantuan yang tidak gratis. Kota dari dunia lain itu adalah sekutu terkuat untuk menghadapi hegemoni New Age Order. Namun Maylon sendiri tetaplah kota kecil yang membutuhkan banyak sumberdaya demi bisa menunjukan taringnya. Kota itu pun menawarkan syarat kepada para aliansinya termasuk meminta generasi terbaik mereka. Mascara dan Simian adalah pasangan istimewa yang dipanggil Kota Maylon. Dua bersaudara itu sengaja dibesarkan ayah mereka sebagai ujung tombak menghadapi New Age Order. Mereka pun menjalani takdirnya di sebuah peradaban yang tidak pernah mereka bayangkan. Peradaban yang seperti apakah? Bagaimanakah perjalanan mereka?

Ruddkillz · 军事
分數不夠
109 Chs

Pasukan Kesayangan

12 Oktober 1274 AG - 11:20 Pm

Outpost Camp - 2 km dari Benteng Tigris

—————

Sudah seminggu ini Simian tidak tidur bersama Mascara. Selain banyaknya tugas dari sang ayah, dia masih kesulitan mengatasi rasa canggung. Simian sudah kehilangan muka setelah berkali-kali mendapat penolakan darinya.

'Kurang apa aku sebenarnya?'

Di outpost itu Simian duduk melamun. Dua hari ini dia terpaksa memandang rembulan bersama denging nyamuk yang sesekali dia tepuk. Mantelnya tak sanggup lagi menahan dingin, juga tak sanggup menghangatkan hati yang selalu menggelisahkan seseorang.

Kata-kata Conna masih membebani pikirannya. Terlebih, Mascara tidak lagi cerewet mempertanyakan dia tidur dengan siapa.

"Wajahmu mesum, Komandan." Seseorang menegurnya.

"Berisik."

"Dagingnya sudah masak, tuh."

Simian beranjak dari lamunan. Dia duduk di kotak kayu yang mengelilingi api unggun bersama belasan prajurit penjaga pos. Tanpa banyak bicara dia menikmati daging omegra hidangan mereka.

"Enak, Komandan?"

"Iya."

"Maksudnya perasaan komandan malam ini. Daritadi melamun saja."

Pertanyaan itu hanya Simian jawab lirikan mata. Dia makan lagi daging itu seolah tidak mendengar apapun.

"Aku kuatir, Komandan."

"Iya komandan, kami kuatir!"

"Enggak usah pura-pura! Aku tau kalian cari bahan gosip baru dari mulutku sendiri, bukan? Usaha yang bagus!"

Simian tidak mempedulikan simpati anak buahnya. Dia langsung merebahkan badan begitu perutnya kenyang.

"Ale?"

"Habis komandan!"

"Jangan mengada-ada!" Simian mengulurkan tangan menagih.

Meski ale adalah minuman terlarang bagi prajurit militer, tapi peraturan itu tidak berlaku bagi komandan sebaik Simian. Dengan mata malasnya dia melirik para prajurit itu penuh curiga.

"Baru kemarin aku membantu kalian mencuri ale sitaan. Jangan serakah! Mana bagianku!?"

Belasan prajurit itu saling menoleh dan mengambil beberapa galon besar ale.

"Dasar pembuat onar!"

Simian meneguk minuman terlarang itu setelah menerima satu gelas penuh. Dia teguk seperempat gelas dan memandang malas wajah semua prajuritnya.

"Aku bosan melihat muka kalian."

Para prajurit spontan tersenyum. Seseorang di antara mereka menjawab, "Karena inspirasi dari komandan, kami terbiasa dengan ketidak-adilan! Ini demi kebebasan!"

"Ketidak-adilan apanya? Kebebasan apanya? Kalian yang tidak disiplin!" Simian menatap kesal prajurit itu satu persatu. "Lagi-lagi kalian yang dihukum! Kemarin kalian, sekarang masih saja kalian!" Simian memberi jeda untuk meneguk ale-nya. Dia melirik lagi mereka dengan perasaan semakin jengkel. "Aku heran, bisa-bisanya kalian anggap hukuman jaga luar itu seperti piknik!"

"Kata komandan, kami harus bisa menikmati hidup!"

"Jangan jadikan aku inspirasi yang jelek-jelek! Sejak kapan aku bersantai di saat genting? Tidak pernah!"

Simian memicingkan mata karena tidak ada satu prajurit pun yang menunjukan wajah bersalah. Entah apa yang salah dari kata-katanya. Tapi dia juga tahu percuma juga nasihati para prajurit nakal itu.

"Terserah kalian lah!"

"Ehem, Komandan..." Seorang prajurit menegur. "Bagaimana Nyonya Mascara?"

Simian melirik keheranan. Jelas para tukang gosip itu sudah tahu perubahan hubungannya dengan Mascara saat ini.

Dia tidak mempedulikan mereka. Dia memilih lanjut meminum ale-nya.

"Bukan itu maksud kami komandan." Seorang prajurit mengejar perhatian Simian yang pura-pura cuek. "Kami punya informasi, loh."

Simian yang malas diganggu, akhirnya tidak sabaran saat mendengar suara bisik-bisik diikuti cekikikan para prajurit.

"Kalian ini prajurit apa ibu-ibu? Jangan bergosip yang aneh-aneh!" Dia jitak kepala seorang prajurit yang jadi biang gosip. "Apa perlu aku belikan kosmetik atau gaun, Laboro? Kerja yang benar!"

"Tapi urusan cinta itu tidak mudah, Komandan. Kami siap jadi tempat curhat."

"Memangnya kamu pernah punya pacar?"

Laboro menggelengkan kepala.

Simian mulai curiga untuk hal lain. Dia pun memberi pertanyaan yang sama ke semua prajuritnya. Sesuai dugaan, tidak ada satupun dari mereka yang menganggukan kepala.

"Aku tidak percaya baru saja dinasihati jomblo menyedihkan seperti kalian."

"Aku tahu komandan sedang menggelisahkan Nyonya Mascara." Laboro mulai berbisik. "Ngaku saja, Komandan. Apa dikira kami tidak tahu hubungan kalian akhir-akhir ini? Apa dikira kami tidak tahu komandan peluk-pelukan setiap malam—

BRUSHHH!!!

Simian menyemburkan ale-nya. Skandal kecil yang dianggapnya rapi itu ternyata bocor di telinga prajuritnya sendiri. Dia menatap Laboro dengan wajah tidak percaya.

"Kamu ini dapat firman dari langit ya? Jangan sibuk sama urusan orang!"

Simian berusaha menjaga wajah datar. Tapi Laboro justru semakin agresif.

"Kami juga tahu Komandan ditolak 16 kali."

BRUSHH!!!

"Ganti ale-ku!"

"Apa salahku, Komandan?"

"Mau tahu apa salahmu? Ikut aku!"

Simian mengajak prajurit itu duduk agak jauh. Setelah dirasa aman, Simian mulai berbisik.

"Darimana kalian tahu hubunganku dengan Mascara?"

"Firman dari langit."

Simian menyerahkan 10 copper demi sebuah kebenaran.

"Kami mengamati hubungan kalian. Kami juga mengamati sikap Nona Mascara akhir-akhir ini kepada Komandan."

"Perubahan yang bagaimana?" ujar Simian, diiringi 10 copper lagi dari sakunya.

"Nyonya Mascara sering curi-curi pandang. Kami tahu itu setiap kali menjaga gerbang."

"Benarkan!?" Senyum Simian terukir. Dia mengeluarkan 10 copper ketiga agar informasi itu terus mengalir. "Beri aku informasi terbaru."

Dengan wajah ragu Laboro mendekati telinga komandannya.

"Waktu aku patroli malam, aku melihat Nyonya Mascara diam menatap rembulan." Prajurit itu melirik kanan dan kiri, seakan informasinya sangat rahasia. "Nyonya Mascara bergumam ... hmm... hmmmm... hmmmmmmmmm..."

"Dia bilang apa? Katakan!!!" Simian terburu tidak sabaran. Dia ikut celingukan begitu menyadari teriakan tadi menarik perhatian prajurit lain. Dia berbisik, "Mascara bilang apa?"

"Tapi ini rahasia, Komandan."

"50 copper!"

"Tiba-tiba aku lupa ingatan, Komandan."

"Satu silver, jangan tawar lagi, aku tidak punya uang!"

Koin itu pun berpindah tangan.

Laboro mulai membisikan informasi rahasia itu pada komandannya.

"Pststsastststststst..."

"Huh, singkat sekali? Kamu ini memberi aku informasi atau berpantun?"

Laboro berbisik lagi. Kali ini, informasinya sangat berharga hingga silver kedua mendarat manis ke telapak tangannya.

"Hahahaha, lumayan dapat 10 silver!"

"Huh? 10 silver? Perasaan aku tidak sampai memberimu tiga silver. Uang darimana?"

Laboro langsung melirik rekan-rekannya. Melihat wajah muram beberapa dari mereka, Simian baru sadar urusan cintanya dengan Mascara jadi ajang perjudian.