108 Akhir Hubungan Saudara

"Ya ampun, entah sial atau beruntung aku punya prajurit seperti mereka."

Simian membuka gerbang mansion. Dia berjalan santai di taman bunga yang menghubungkan gerbang itu dengan kamarnya. Seperti yang Laboro informasikan, dia melihat Mascara duduk melamun di tengah malam. Dan seperti yang dia informasikan pula Mascara saat ini sangat membutuhkannya.

"Tugasmu sudah selesai?" Mascara bertanya tanpa menoleh.

"Iya." Simian menjawab singkat. Dia agak terganggu dengan chemise tipis Mascara di antara tumpukan salju di sekitarnya.

Simian langsung menyelimuti tubuh gadis itu dengan mantelnya.

"Ayo tidur. Besok temani aku kerja."

Mascara tidak bergeming. Dia masih diam menatap rembulan.

Simian berharap gadis itu cerewet mempertanyakan dia tidur di mana setiap malamnya. Dia mulai merindukan kecemburuan Mascara yang selalu berujung tuduhan buta. Namun gadis itu hanya diam hingga kecemasan Simian semakin beralasan.

Mascara pasti menutupi isi hatinya dengan keceriaan semu dan senyum palsu. Diam-diam dia meratapi malam-malamnya dengan perasaan kotor. Simian merasa tidak peka. Dia terlalu sibuk memikirkan penolakan Mascara. Dia bahkan baru sadar bahwa gadis itu kehilangan sedikit berat badannya.

Sejenak menghela napas, dia peluk gadis itu dari belakang demi memecah kebekuan.

"Kenapa kamu tidak jujur padaku, Mascara? Kamu tidak membutuhkanku?"

"Tigris lebih membutuhkanmu. Aku tidak mau mengganggu tugasmu."

Jawaban itu nampak sekali memaksakan diri. Simian merasakan isi hati yang sebenarnya saat jemari Mascara meremas jemarinya. Dia mempererat pelukan itu dan mencium pipinya dari belakang.

"Aku bersumpah demi apapun. Tidak sejauh itu Preponte menyentuhmu."

"Kamu mau bersumpah cerita semuanya?" Mascara bertanya pada intinya. Nampak sekali dia ingin mengakhiri kecemasannya sendiri.

"Kamu siap mendengarnya?" tanya Simian meragu.

"Aku tidak tahu. Tapi itu lebih baik daripada aku mengira-ngira sekotor apa aku yang sebenarnya."

Simian melepas pelukan. Dia memutar badan Mascara untuk berhadapan dengannya. Dia langsung bersujud di bawah kaki gadis itu dan melepaskan semua penyesalan.

Semua cerita itu mengalir.

Tidak kurang ... tidak lebih.

Mengalir deras, sederas air mata seorang gadis yang harga dirinya tercabik-cabik. Mascara menutup wajahnya sendiri seakan hidupnya tidak ada artinya lagi.

Simian tidak tahu harus berkata apa. Dia siap menerima semua hukumannya.

"Berdiri, Simian ... lihat aku ... lihat aku yang sudah mempercayaimu, Simian."

Simian Berdiri, dan ...

PLAKKKK!!!

Tamparan itu serius. Simian membiarkan gadis itu meluapkan perasaannya dengan kekerasan. Tamparan demi tamparan pun dia terima sampai Mascara sendiri yang menyudahinya.

"Kamu mau jawabanku, Simian?"

Mascara terisak. Dia masih memberi secuil kepercayaan yang harus dibalas dengan rasa nyaman. Simian membelai rambutnya saat gadis itu membenamkan diri dalam pelukan.

"Aku hafal bau tubuhmu, Simian, hiks ..." Mascara menegadah. Dia menatap mata Simian untuk meluapkan semua kekecewaannya. "Ak—aku malu, Simian ... aku tidak punya muka untuk membalas perasaanmu. Aku kotor ... jang—jangan membohongiku. Aku bisa melihatnya dari matamu!"

Simian menyangga Mascara yang berdiri lemas. Dia mengecup dahinya dan memaksa Mascara untuk bertatapan.

"Apa yang kamu lihat dari mataku, Mascara? Apa seseorang yang hanya ingin menghiburmu? Mengasihanimu?" Simian meraih dagu Mascara dengan jemarinya. Dia berkata, "Ini bukan yang terakhir kali dan kau akan selalu mendengarnya lagi. Aku mencintaimu, Mascara. Aku menginginkanmu."

Mascara terdiam. Dia menatap sayu mata Simian seakan memungut lagi harapan yang tadi dia buang sendiri. Dia tidak menolak ketika Simian perlahan mendekatkan bibirnya, sebagai tanda berakhirnya sebuah hubungan saudara.

Setidaknya, sampai terdengar suara seseorang terpeleset di balik semak-semak.

"Huh? Sejak kapan ayah di situ?" Simian menegur.

"Ehem ... tidak ada apa-apa. Lanjutkan kesibukan kalian.

***

Siang harinya.

"Aku malu sekali ... aku mau mati saja, hiks!"

"Sudahlah, ayah bilang tidak melihat apa-apa. Jangan berlebihan."

"Ini skandal! Skandal besar! Hiks! Aku tak punya muka menghadap ayah, Simian."

"Ayolah, sampai kapan kamu mengunci diri di kamar? Ayo keluar."

Di balik pintu itu Simian menunggu. Dia menenangkan Mascara yang belum bisa menguasai rasa malunya. Gara-gara kejadian semalam, Mascara bersembunyi di kamarnya dan tidak mau sarapan.

"Kita terlalu jauh, Simian. Hiks! Gara-gara kamu terus merayuku!"

"Memangnya kita semalam ngapain? Tidak terjadi apa-apa, Mascara. Toh bibirku cuma nyentuh sedikit saja. Tidak sampai ciuman."

Suasana hening. Simian mendengar derap kaki Mascara mendekati pintu kamar itu. Dia melirik pelan saat pintu itu perlahan terbuka, dan melihat Mascara membawa pentungan besar.

BUKK!

"Tadi kamu bilang apa!? Bilang sekali lagi!!!"

"Kamu cantik!"

BUKK!!

"Bukan yang itu!"

BUKK!!!

Simian secepat mungkin menangkap ayunan selanjutnya. Dia peluk Mascara paksa dan memojokkan badannya ke dinding.

"Kamu mau tahu aku tadi bilang apa?"

Mascara tidak meronta. Dia hanya mengangguk. Dia masih menatap tajam Simian saat pria itu mendekatkan wajahnya.

"Aku berhutang separuh ciuman. Kapan aku bisa melunasi separuhnya?"

"Setelah aku terbiasa dengan hubungan baru kita." Mascara menjawab lugas.

"Ya ampunn, susah sekali merayu gadis secerdas kamu."

"Jangan samakan aku seperti gadis-gadis idiot itu." Mascara mulai ketus. Dia tidak menghindari bibir Simian yang hanya berjarak satu senti saja dari bibirnya. "Separuh ciuman semalam tanda bahwa aku bukan lagi kakakmu, Simian. Jadilah dirimu sendiri dan beri aku waktu untuk memandangmu sebagai laki-laki. Kamu mengerti?"

Simian tersenyum. Dia mengarahkan bibirnya ke dahi gadis itu.

"Iya. Sejak dulu, sekarang dan di masa depan ... aku lelakimu."

avataravatar
Next chapter