Keriuhan di aula hotel sedikit mereda begitu seorang pemuda berkacamata naik ke panggung. Dia adalah pembawa acara. Pemuda itu dengan luwes menurunkan suasana tegang dan membuka acara.
"Kami akan mempersembahkan pertunjukkan Tari Jepen, selamat menikmati!" serunya lantang, lalu menyingkir untuk sementara.
Selanjutnya, enam penari dengan kostum khas Melayu berwarna cerah menaiki panggung. Selendang melingkar cantik di pinggang penari wanita. Tari Jepen memang merupakan perpaduan budaya Kutai dan Melayu, juga ada pengaruh kebudayaan Islam.
Para tamu tercengang, termasuk Bimasakti dan komplotannya. Aldi yang sedari tadi dicari-cari keberadaannya malah berada di antara para penari bersama Putri. Hal itulah yang menyebabkan Aldi dan Putri datang seminggu lebih awal. Mereka latihan menari agar bisa menampilkan pertunjukkan yang harmoni.
Saat para tamu masih belum bisa mencerna apa yang terjadi, alunan musik Tingkilan pun terdengar merdu, ada kombinasi suara gambus, ketipung, kendang dan juga biola. Musik Tingkilan merupakan salah satu seni musik khas Kutai. Tak lama kemudian, dua orang penyanyi di sisi kanan panggung saling bersahutan menyanyikan syair-syair yang berisi petuah kehidupan seiring dengan dimulainya pertunjukkan tari.
Para penari bergerak dinamis, atraktif, dan energik, tetapi meninggalkan kesan bersahaja. Tari Jepen yang ditampilkan adalah jenis Eroh, sehingga gerakannya lebih dinamis dengan tetap menyesuaikan gerakan aslinya. Unsur keaslian dalam gerakannya masih ada dan tetap dipakai, misalnya untuk gerakan samba setangan, penghormatan, samba penuh, gelombang, gengsot, ragam anak, dan gerakan lainnya. Berbeda dengan Tari Jepen Genjoh yang ragam geraknya benar-benar murni. Adapun pola lantainya tergolong dalam pola kombinasi, sehingga ragam gerak dan perpindahan yang dihasilkan jauh lebih bervariasi. Namun, ada dua jenis pola lantai yang paling mendominasi yaitu pola melingkar dan pola garis lurus.
Akhirnya, pertunjukkan tari selesai. Para penari memberikan salam penghormatan, lalu meninggalkan panggung dengan diiringi tepuk tangan. Pembawa acara kembali mengambil alih. Dia memberikan sepatah dua patah kata basa-basi, sebelum tiba ke agenda utama, yakni sambutan sekaligus presentasi dari Aldi selaku presiden direktur PT. Karya Abadi. Seharusnya, Kepala Bagian Pemasaran yang melakukan presentasi. Namun, Aldi mengubah agenda setelah terjadi penyebaran foto dan isu mengenai dirinya.
"Kepada Bapak Renaldi Joko Permana, kami persilakan!" seru pembawa acara.
Aldi yang sudah berganti pakaian dengan setelan jas melangkah elegan menaiki panggung. Dia melemparkan pandangan ke arah para tamu untuk beberapa saat sebelum mengucap salam. Balasan salam bersahutan, lalu hening sesaat.
"Selamat pagi, para hadirin yang terhormat," sapa Aldi. "Anda sekalian mungkin kaget melihat saya ikut menampilkan pertunjukkan tadi. Jadi, untuk apa saya ikut serta? Ini ada hubungannya dengan foto dan isu yang baru saja dikirim lawan bisnis saya kepada Anda semua."
Para tamu saling berbisik. Bimasakti, Broto, dan Gilang tersenyum sinis, bahkan seperti sedang menahan tawa. Aldi tetap tenang, lalu memberi isyarat kepada Kepala Bagian Pemasaran.
Tak lama kemudian, layar putih di belakangnya menampilkan sebuah foto. Ya, foto itulah yang tadi disebar Bimasakti, foto Aldi saat mengenakan kostum Tari Lengger Lanang. Namun, gambar layar cepat berubah menjadi sebuah cuplikan video pertunjukan tari berdurasi 2 menit. Para investor menjadi kebingungan sementara wajah Bimasakti dan komplotannya berubah masam.
Aldi tersenyum kecil sebelum melanjutkan sambutannya. "Isu yang Anda dapatkan sebenarnya berasal dari foto ini. Foto itu adalah saat saya menampilkan Tari Lengger Lanang dan kostumnya memang seperti pakaian perempuan. Sewaktu kecil, saya memang seorang penari terutama tari Tradisional. Bahkan, cita-cita saya menjadi penari yang memenangi event internasional agar bisa mengharumkan nama bangsa."
Jeda sejenak. Aldi sengaja memberi waktu kepada para investor untuk mencerna ucapannya. Dia tak mau mereka sampai kebingungan karena informasi yang diberikan secara beruntun.
Setelah suasana terlihat kondusif, Aldi kembali berbicara, "Tapi, impian itu harus terkubur saat terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua saya. Saya harus memimpin perusahaan begitu menyelesaikan pendidikan."
Para investor yang sebelumnya kebingungan berubah iba. Mereka tentu sudah mengetahui profil Aldi dan sepak terjangnya. Pemuda itu telah kehilangan kedua orang tua sekaligus saat remaja. Kematian Dirgantara menyebabkan penurunan drastis di PT. Karya Abadi. Bimasakti yang menggantikan sang kakak tidak kompeten dan menimbulkan banyak masalah. Namun, perubahan besar terjadi saat Aldi kembali.
Selepas pendidikan S2, Aldi mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Dia melakukan banyak pembaharuan sistem dan menyingkirkan benalu-benalu yang menggerogoti perusahaan. Tentu tak mudah, banyak orang-orang Bimasakti menghadang jalannya. Rekan-rekan bisnis pun tak mudah menaruh kepercayaan kepada pemuda yang masih berusia 25 tahun. Namun, pada akhirnya Aldi bisa bahwa membuktikan kerugian bisa berubah menjadi surplus dalam 3 tahun kemimpinannya.
"Meskipun cita-cita saya tidak bisa terlaksana, tapi saya tetap menuangkannya dalam setiap proyek yang ada."
Aldi memberi isyarat lagi kepada Kepala Bagian Pemasaran. Layar putih menampilkan proyek-proyek yang telah selesai secara bergantian. Sementara itu, Aldi menjelaskan unsur-unsur kebudayaan dalam setiap proyeknya. Tampilan terakhir adalah desain resort yang akan dibangun. Aldi mempresentasikan rencana secara mendetail, lugas, dan memukau.
"Ah iya, soal isu penyuka sesama jenis itu, tentu saja tidak benar," celetuk Aldi tiba-tiba. "Saya belum menikah karena sudah lama mencari cinta pertama saya. Dan sekarang, saya sudah menemukannya."
Dia memberi isyarat kepada Putri. Sang kekasih naik ke panggung, melangkah anggun, dan berhenti di sebelah Aldi. Dia membungkukkan badan sedikit, memberi penghormatan kepada para tamu. Bimasakti, Broto, dan Gilang kompak mendecakkan lidah. Aldi dan Putri sempat melihat wajah frustrasi tiga serigala busuk itu. Mereka saling melempar pandang, lalu tersenyum penuh kemenangan.
"Perkenalkan, ini tunangan saya, Putri Nawang Wulan. Mungkin ada merasa mengenal wajahnya."
Beberapa tamu terdengar menggumamkan nama Arunika Saraswati. Aldi tersenyum.
"Iya, betul. Tunangan saya adalah putri dari Arunika Saraswati dan Syailendra Bagaskara. Beliau berdua juga ada guru menari saya dulu. Paling lambat awal tahun depan kami akan menikah. Kami mohon doanya semoga bisa berjalan dengan lancar."
Kata amin bersahutan. Aldi menatap Putri dengan sorot mata penuh cinta. Gilang kebakaran jenggot. Namun, dia hanya bisa meluapkan gejolak dalam dada dengan mencengkeram botol air mineral di meja. Sementara Bimasakti dan Broto menggeram dan mengumpat dalam hati.
"Sekian presentasi dari saya. Saya harap kerja sama ini bisa berjalan lancar dan memberikan manfaat sebesar-besarnya baik bagi kita maupun masyarakat sekitar," tutup Aldi sebelum mengucap salam.
Tepuk tangan membahana. Aldi mengajak Putri menuruni panggung, lalu mendatangi meja investor. Pembicaraan berlangsung tanpa kendala. Para investor memuji proposal Aldi yang bukan hanya memberikan keuntungan bagi mereka, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Pertemuan pun selesai dan diakhiri dengan makan siang bersama. Kesuksesan yang gemilang telah diperoleh Aldi. Bimasakti dan komplotannya langsung pergi dengan menahan rasa malu.
Kini, Aldi dan Putri berjalan-jalan di taman hotel. Rencananya, mereka ingin mengunjungi beberapa tempat wisata sekitar. Namun, ponsel Aldi tiba-tiba berdering. Pemuda itu cepat menerima telepon. Wajahnya seketika berubah pucat.
"Ada apa, Mas? Kok, mukamu jadi pucet?" cecar Putri begitu Aldi selesai menelepon.
"Eyang Sulis masuk rumah sakit," sahut Aldi gamang. Tangannya terlihat gemetar.
"Ayo cepat pesan tiket pesawat, Mas!" seru Putri panik.
"Iya, Put. Tapi, kita tetap baru bisa pulang besok karena penerbangan terakhir sudah 5 menit yang lalu."
Putri mengusap wajah. Matanya sudah berkaca-kaca. Aldi cepat menariknya ke dalam pelukan dan mengusap punggung gadis itu dengan lembut.
"Eyang akan baik-baik saja, Wulan. Eyang akan baik-baik saja," gumam Aldi berulang.
***
Begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Putri dan Aldi bergegas menuju rumah sakit. Mereka langsung disambut oleh tangisan Shinta dan Inem. Putri memeluk mereka dan berusaha menenangkan. Rama berdiri di pojokan dengan kepala tertunduk dan sorot mata sendu.
"Bagaimana kondisi Eyang, Rama?" tanya Aldi.
"Sudah stabil, tapi masih harus dirawat di ICU. Jika sampai sore ini tidak ada masalah, beliau bisa dipindakan ke ruang rawat inap biasa. Pak Dirja sedang menunggui di dalam," jelas Rama.
Aldi menghela napas lega. Melihat wajah lelah sang adik, dia memintanya pulang dulu ke rumah. Awalnya, Shinta menolak, tetapi mau menurut setelah dibujuk Putri. Sementara Inem tak ikut pulang karena baru datang juga. Wanita itu memang tiba di rumah sakit 15 menit sebelum Aldi dan Putri.
"Sambil menunggu giliran dengan Eyang Dirja, kita duduk saja dulu, Mas, Bik," ajak Putri.
Aldi dan Inem mengangguk. Namun, baru saja mereka hendak duduk, dua orang berseragam kepolisian tiba-tiba menghampiri. Petugas tersebut menunjukkan surat tugas untuk penangkapan. Nama Inem tertulis di sana.
"Saudari Inem Marsinah, Anda kami tahan dengan tuduhan meracuni Ibu Sulistyawati."
"Tunggu, Pak! Apa maksud Anda? Bik Inem orang kepercayaan keluarga saya. Tidak mungkin Bik Inem melakukan hal itu," sergah Aldi.
"Mohon maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas. Sudah masuk laporan pengaduan kepada kami dari Bapak Bimasakti Permana," tegas petugas kepolisian.
Pada akhirnya, Aldi tak bisa mencegah para petugas membawa pergi Inem. Asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri itu hanya bisa terisak. Aldi menggeram, lalu meninju tembok rumah sakit.
"Ayo kita temui serigala sial*n itu, Wulan!" geramnya.
Putri merasa khawatir melihat emosi Aldi yang tengah meluap. Sosok seperti Bimasakti tak bisa dihadapi dengan amarah. Jika salah bertindak, lelaki itu bisa membuat situasi menjadi lebih buruk. Namun, Putri juga tak mungkin membiarkan Aldi pergi seorang diri. Akhirnya, dia pun terpaksa mengekor, padahal mereka bahkan belum menemui Sulistyawati.
***