webnovel

Bagian 72

Mobil Aldi berhenti di halaman rumah Bimasakti. Aldi membuka pintu dengan kasar dan tergesa-gesa keluar. Putri mengekor sambil terus berusaha menyabarkan. Saat memasuki rumah, mereka sempat berpapasan dengan Gilang yang tengah memeluk dua gadis berpakaian seksi.

"Hai, sepupu tersayang, serius beudh mukanya," ledek Gilang.

Aldi tak mengacuhkan. Namun, bukan Gilang namanya jika tak membuat masalah. Dia tiba-tiba melepas lengan dari pinggang gadis-gadis mainannya, lalu menghampiri Putri.

"Gue benar-benar penasaran bagaimana rasanya olahraga malam denganmu, Manis. Ayolah, Put, jangan cuma ngasih jatah Aldi doang. Gue janji bakal bayar lebih mahal."

Buk!

Gilang terhempas saat tinju Aldi menghantam wajahnya. Dua gadis seksi simpanannya tadi menghampiri. Mereka berebutan menyeka darah di sudut bibir Gilang. Aldi mendelik tajam dengan dada yang turun naik.

Bukannya instrospeksi diri, Gilang malah semakin menjadi. Dia terus menerus memancing amarah lawan bicara. Aldi benar-benar tersulut. Wajahnya merah padam siap menghajar Gilang.

Putri cepat menepuk pundak sang kekasih. Dia memberi isyarat, "serahkan padaku" lewat kerlingan mata. Amarah Aldi pun surut. Kepalan tangannya melonggarkan. Sementara Putri mendekati Gilang.

"Anda bilang mau bayar lebih mahal?" Putri tertawa sinis. "Mana mungkin saya percaya, Mas Joko seorang CEO kompoten dan juga punya banyak penghasilan sampingan di luar perusahaan, sedangkan Anda cuma beban keluarga yang tidak becus bekerja," ejek Putri.

Gilang melotot. Namun, Putri malah semakin gencar menyebutkan satu per satu fakta ketidakbecusan Gilang. Aldi yang tadi berwajah masam kini menjadi sedikit semringah.

"Dan satu lagi, ya, Pak Gilang. Dilihat dari postur saja, badan Mas Joko lebih seksi. Jadi, buat apa saya berhubungan dengan playboy celup sana celup sini dan mengambil resiko penyakit menular seksual kalo sudah puas dengan kekasih saya yang setia dengan satu pasangan?" sindir Putri pedas.

"Sial*n! Dasar lont* murahan!"

"Yang murahan itu Anda lho, Pak. Kan, celup sana celup sini?"

Gilang kehilangan kata-kata. Putri memeluk lengan Aldi dengan mesra. Sempat-sempatnya dia melirik sinis dan tersenyum meremehkan ke arah Gilang.

"Ayo, Mas Joko! Kita perlu bicara sama Pak Bima, 'kan?" ajak Putri.

Aldi tersedak dengan wajah memerah. Dia cukup syok dengan kata-kata Putri yang sangat berani dan ambigu. Gadis itu juga mengesankan bahwa mereka sudah melebihi batas, padahal mau mencium saja langsung kena jewer Sulistyawati.

Setelah berhasil menenangkan gejolak dalam dada, Aldi membawa Putri ke ruang kerja Bimasakti. Sang paman tertawa lepas, seolah memang sudah menunggu-nunggu kedatangan keponakannya. Amarah Aldi yang sudah surut kembali terbangkitkan.

"Ada apa, Aldi? Apa kau ingin menanyakan soal racun yang membuat eyangmu pingsan?" tanya Bimasakti dengan nada mengejek.

Aldi menggeram. "Apa benar ini rencana Om juga? Aku harap tidak! Aku benar-benar berharap Om tidak seburuk itu!" serunya dengan suara bergetar.

"Itu adalah peringatan untukmu. Jangan menghalangi jalanku. Lagi pula racun itu tidak akan sampai menyebabkan kematian, paling buruk hanya kecacatan," sahut Bimasakti tanpa beban.

Emosi Aldi menyeruak. "Kenapa Om tega melakukannya? Eyang Sulis itu ibu kandung Om. Ibu yang melahirkan Om!" cecarnya.

"Apakah eyangmu itu pernah menganggapku anak yang hebat seperti papamu, hah?"

Bimasakti tertawa sinis. Sorot matanya memancarkan kebencian mendalam. Putri merasa bulu kuduknya berdiri. Sementara Aldi balas menatap nyalang.

"Dirgantara Permana, kebanggaan keluarga yang selalu juara 1 sedangkan Bimasakti hanya tukang buat onar," geram Bimasakti dengan mata berkilat marah.

"Eyang tidak pernah membedakan Om dan Papa. Eyang selalu bangga karena dulu Om Bima juga berprestasi di bidang olahraga. Tapi Om berubah sejak bergaul dengan anak-anak berandal," sahut Aldi.

Dia masih ingat Sulistyawati sering menceritakan prestasi Bimasakti. Pamannya itu memang beberapa kali meraih juara di berbagai cabang olahraga. Sorot mata bangga sang nenek masih terekam jelas dalam ingatan.

Bahkan, Aldi dengan berani ingin menjadi penari hebat karena terinspirasi dari prestasi Bimasakti. Kehebatan sang paman membuatnya berpikir bahwa prestasi bukan hanya bisa diperoleh dalam bidang akademik. Aldi tak peduli dengan ejekan banci. Namun, ternyata Bimasakti yang justru memandang rendah dirinya karena tak berprestasi dalam bidang akademik.

Bimasakti mendecakkan lidah. "Cih! Kamu yang juga selalu dipuji-puji orang lain karena.juara sekolah tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi bayang-bayang kakak sendiri."

Rasa iri dengki bagaikan api yang membakar kayu. Begitulah penyakit hati yang dimiliki Bimasakti sudah meluluhlantakkan semuanya. Sanak saudara dan tetangga mempunyai andil besar dalam menghancurkan tali persaudaraan Bimasakti dan Dirgantara. Dirja dan Sulistyawati tidak pernah membeda-bedakan anak. Mereka bahkan memberikan fasilitas terbaik untuk mengembangkan minat dan bakat. Sayangnya, orang-orang sekitar suka sekali membandingkan. Bimasakti semakin lama semakin terpuruk dan pada akhirnya terjebak pergaulan yang salah.

"Aku tidak butuh ceramah anak bau kencur! Kalian juga tidak punya bukti kalo aku pelakunya." Bimasakti menyeringai. "Oh ya, soal pelayan setia sial*n itu, aku bisa membantunya bebas, tentu saja ada syaratnya." Dia menunjuk wajah Aldi. "Kamu lepaskan hak penerus Keluarga Permana. Keluar dari PT. Karya Abadi dan serahkan jabatanmu kepada putraku. Aku baru akan puas jika bisa merebut semua milik Bang Dirga!"

Aldi ingin mendebat. Namun, Putri malah menariknya dengan cepat keluar. Gadis itu meminta Aldi agar tidak terpancing karena mencecar Bimasakti tak akan menyelesaikan masalah. Prioritas mereka saat ini adalah membebaskan Inem yang tidak bersalah.

"Soal Pak Bima urusan belakangan, Mas. Kita harus tolong Bik Inem dulu," cetus Putri saat mereka sudah berada di mobil lagi.

"Tapi, bagaimana caranya, Wulan? Jika polisi sampai melakukan penahanan berarti Om Bima sudah menyerahkan bukti dan saksi palsu. Dia juga pasti sudah menyabotase CCTV di rumah Eyang Dirja," keluh Aldi.

"Kamu tenang saja, Mas. Sebenarnya, aku sama Eyang Dirja sudah merasakan firasat buruk dan curiga dengan salah seorang pekerja di rumah Eyang. Jadi, kami melakukan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk," jelas Putri.

"Persiapan?"

Putri hendak menjawab, tetapi urung. Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nama Shinta tertera di layar. Dia pun cepat menerima panggilan.

"Kak? Kak Putri? Beneran Bik Inem dipenjara, Kak? Bilang kalo itu cuma hoax, Kak?" cerocos Shinta begitu panggilan tersambung.

Putri menghela napas berat. "Itu bener, Shin. Pak Bima yang melaporkan. Tapi, pelaku sebenarnya aku yakin masih belum pergi dari rumah Eyang. Jadi, aku perlu bantuan kamu."

"Bantuan apa, Kak? Aku siap!" seru Shinta antusias.

"Jadi begini ...."

***

Shinta mengakhiri panggilan. Tangannya terkepal kuat, lalu meninju udara. Beberapa saat yang lalu, dia histeris karena mendapat kabar Inem ditahan polisi. Shinta sempat ingin ikut Rama ke kantor polisi, tetapi pemuda itu memintanya tetap tinggal di rumah.

Saat-saat gelisah, Shinta terpikir menelepon Putri. Keputusan tersebut sangat tepat. Ternyata, Putri dan Dirja sudah melakukan banyak antisipasi. Berbekal informasi dari Putri, Shinta segera berkeliling rumah untuk mengambil belasan kamera yang dipasang di beberapa tempat strategis. Posisinya sangat natural, sehingga tak tampak jika tidak jeli dalam mencarinya.

Pengumpulan kamera telah selesai. Shinta segera masuk ke kamar dan menghubungi Rama meminta untuk dijemput. Selama menunggu pemuda itu, dia memindahkan hasil rekaman kamera ke laptop, lalu menontonnya. Amarah seketika menyeruak. Pelaku sebenarnya telah ditemukan, salah seorang pelayan dapur,

Shinta menggemeletukkan gigi saat layar laptopnya menampilkan si pelayan diam-diam menyelinap ke dapur dan memasukkan serbuk ke mangkuk bubur Sulistyawati. Adapun dari kamera di koridor, bisa terlihat pelayan itu memasuki kamar Inem. Kemungkinan, dia melakukannya untuk menyembunyikan barang bukti di sana agar Inem menjadi tersangka.

"Dek? Dek Shinta?" Suara Rama yang memanggil-manggil, membuyarkan lamunan Shinta.

Dia segera memindahkan file rekaman dari laptop ke dalam flashdisk. Selanjutnya, Shinta ke luar kamar dan mengajak Rama ke kantor polisi dengan paksa. Rama yang terus didesak akhirnya menyerah. Mereka pun berangkat ke kantor polisi. Setelah mobil meninggalkan rumah sekitar 100 meter barulah, Shinta menjelaskan barang bukti yang ditemukannya.

"Aku benar-benar berhutang sama Kak Putri," gumam Rama dengan penuh haru.

Akhirnya, mereka sampai di kantor polisi, tiba bersamaan dengan Aldi dan Putri. Barang bukti baru pun diserahkan. Mereka menunggu dalam kecemasan yang mencekik.

Setelah pemeriksaan hampir 1 jam lamanya, Inem dibebaskan. Wanita paruh baya itu seketika menangis haru. Dia memeluk Putri dengan erat.

"Terima kasih, terima kasih sudah menolong Bibik, Wulan ...," tutur Inem dengan suara bergetar hebat sebelum mendadak pingsan.

"Bik? Ya ampun, Bik Inem pingsan!" seru Putri.

Rama segera mengambil alih ibunya. Ternyata, Inem mengalami demam tinggi. Aldi meminta Rama agar membawa Inem ke rumah sakit. Shinta ikut menemani. Sementara itu, Aldi dan Putri akan pergi bersama polisi ke kediaman Dirja untuk menjerat si pelaku sebenarnya.

Penahanan berjalan tanpa kendala. Si pelaku yang merasa sangat aman karena sudah mengkambinghitamkan Inem dengan santainya tetap beraktivitas seperti biasa. Mereka pun bisa menciduknya dengan mudah.

"Siapa yang menyuruhmu? Katakanlah, kami akan mempertimbangkan untuk meringankan hukumanmu," bujuk Aldi.

"Tidak ada yang menyuruh. Saya melakukannya karena kesal dengan Nyonya Sulis! Nyonya itu kalo marah mulutnya pedas sekali. Saya sakit hati! Sakit hati!" tegas si pelayan.

Aldi terus mencecarnya. Namun, dia kukuh tak menyebut nama siapa pun seolah-olah perbuatan jahat itu memang benar-benar idenya sendiri. Akhirnya, mereka tak berhasil menyeret Bimasakti. Aldi terpaksa membiarkan si pelayan dibawa oleh petugas.

"Ck! Kadal licik itu selalu tahu cara memotong ekornya di saat yang tepat!" geramnya.

***

Waktu penentuan penerus semakin dekat. Proyek di Berau benar-benar menjadi nilai tambah bagi Aldi. Bimasakti seperti kebakaran jenggot. Terlebih, ancamannya tak berhasil karena Inem bisa bebas, malah mata-matanya yang terjerat. Sengketa tanah panti asuhan juga tidak bisa digunakan karena para penghuni panti sudah pindah sejak Putri resign. Oleh karena itu, dia kembali berkumpul dengan Broto dan Gilang untuk merencanakan ide jahat lainnya.

"Kau punya ide bagus lagi, Broto?" celetuk Bimasakti setengah frustrasi.

"Ada beberapa ide. Tapi, kita akan mulai dengan merusak reputasi Aldi dulu," sahut Broto dengan seringaian jahat di bibir.

Lalu, dia menjentikkan jari. Pintu terbuka. Empat gadis berpakaian minim memasuki ruangan. Bimasakti dan Gilang kompak mengerutkan kening. Salah seorang gadis yang tampak seperti pemimpin para tuna susila itu menyapa dengan sopan.

"Jadi, apa yang harus kami lakuin, Mas Broto?" tanyanya setelah selesai memberikan salam.

"Besok target kalian akan ke luar kota. Kami menyabotase beberapa hal agar menginap di salah satu hotelku. Aku akan beri kalian kunci kamarnya. Nanti kalian buat dia seolah-olah melakukan hubungan terlarang dengan banyak perempuan. Dia akan diberi obat tidur jadi tidak akan menimbulkan masalah," jelas Broto panjang lebar sambil menunjukkan foto Aldi.

Si gadis tadi seketika menceringai. "Hanya seolah-olah atau boleh dinikmati juga nih?" tawarnya.

Broto tergelak. "Ah kalian ini tidak bisa melihat yang bening, ya?"

"Yah, namanya juga punya mata, Mas. Ada yang menggoda kenapa enggak?" sahut si gadis sembari mengedipkan mata.

"Ya, ya, bolehlah. Biarlah lebih real, kan, kelihatannya," sahut Broto sambil mengelus-elus dagu. Dia mengalihkan pandagan kepada Bimasakti dan Gilang. "Kalian setuju dengan rencana ini?" tanyanya.

"Tentu saja. Ini ide yang bagus sekali," timpal Bimasakti.

Dia tergelak bersama Broto. Sementara itu, Gilang menyeringai. Dia tengah membayangkan menyusup ke kamar Putri. Akses kunci pasti mudah didapatkan karena hotel tersebut adalah milik Broto.

***