Kenyataannya, dihati kamu cuma ada dia seorang...
•-----•
Di sebuah rumah sakit tak jauh dari cafe yang baru saja dikunjungi oleh Sejeong dan Daniel, terlihat ambulan baru saja tiba.
"Vern, kamu harus kuat sayang. Jangan tinggalin mama," ucap sang Ibu Vernon sambil menangisi putranya itu.
Ternyata, beberapa menit lalu telah terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah komplek perumahan Daniel. Saat itu, kebetulan Vernon tengah dalam perjalanan ke rumah sahabatnya itu. Tapi, naas ia ikut menjadi korban.
Kondisi Vernon saat ini tak sadarkan diri. Bahkan darah mengalir dari kepala belakangnya. Siapa pun yang melihatnya, akan merasakan sakit dan juga sedikit mengerikan.
Hingga tak lama kemudian, Vernon ditangani tim dokter unit gawat darurat. Keluarganya tengah menunggu di lobi. Begitu pula dengan Ibu Sejeong yang baru saja tiba, setelah diberitahu oleh Kino.
Juga, Kino telah menghubungi Daniel tapi tidak ada respon. Sampai akhirnya ia mendapat kabar dari Renjun, bahwa Daniel tengah bersama Sejeong.
"Kamu udah ngehubungin Seje, Kin?" tanya Ibu Sejeong.
Kino menggelengkan kepalanya. "Belum tante, Kino nggak punya nomor Sejeong," jawabnya.
"Ya udah biar tante aja yang telepon. Kamu tolong jagain mama Vernon dulu ya," sahut Ibu Sejeong.
"Baik tante." Kino menghampiri Ibu Vernon yang tengah menangis tersedu-sedu dipelukan sang suami.
Ibu Sejeong berjalan sedikit menjauh untuk menghubungi putrinya.
[Assalamu'alaikum.]
Sejeong langsung meresponnya.
[Wa'alaikumsalam sayang. Mama lagi di rumah sakit. Vernon kecelakaan dan dia lagi dioperasi sekarang. Kamu ke sini ya sayang, hati-hati.]
Tanpa menjawab ucapan sang Ibu, Sejeong langsung berlari menuju rumah sakit. Bahkan membuat Daniel yang tengah bersamanya kebingungan.
Di sisi lain.
"Ada apaan 'sih? Kenapa Seje kayak orang panik gitu?" gumam Daniel sambil mengernyitkan dahinya.
Ia beranjak dari duduknya. "Ah, gue ikutin aja kali ya," batinnya.
Daniel mengikutinya, tanpa sepengetahuan Sejeong. Ia sangat penasaran, apa yang membuat gadis itu sampai lari dan terlihat panik.
Hanya butuh beberapa menit, Sejeong dan Daniel dengan jarak yang lumayan jauh, akhirnya tiba di sebuah rumah sakit.
"Lah? Seje ngapain ke rumah sakit?" gumam Daniel.
Ia mengikuti langkah Sejeong yang sedikit terburu-buru. Hingga sampai pada ruang tunggu operasi. Daniel melihat gadis yang selama ini masih singgah di hatinya, menangis dalam dekapan sang Ibu.
"Ada apa 'sih sebenernya? Kenapa Seje nangis?" monolognya pelan.
Ketika Daniel mengedarkan pandangannya, ia melihat Kino yang tengah duduk di samping seorang Ibu. "Lah, itu bukannya Kino? Kok ada mamanya Vernon juga? Ah, parah sih ini ada apaan kok gue nggak tau?" ucapnya bermonolog, sambil mengernyitkan dahinya bingung.
Tiba-tiba ponsel Daniel bergetar, dengan cepat ia melihatnya. Ternyata ada panggilan masuk dari Renjun, adiknya.
[Bang! Gila lo ya, gue teleponin nggak diangkat-angkat!]
Renjun nyerocos tanpa jeda. Membuat Daniel kebingungan.
[Assalamu'alaikum dulu napa. Ada apaan 'sih Jun? Ngomong yang bener!]
[Iya maaf lupa, assalamu'alaikum.]
[Nah gitu, ada apaan?]
[Bang Vernon kecelakaan katanya kritis, bang!]
Daniel diam sebentar dan mencerna ucapan yang dilontarkan oleh Renjun.
[Hah? Kenapa nggak bilang dari tadi sipit!]
Diseberang sana, Renjun tengah menghela napas kasar.
[Serah lu bang! Intinya bang Vernon kecelakaan, tadi bang Kino telepon ke rumah.]
[Ya udah makasih infonya.]
Daniel memutuskan hubungannya dan mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari Kino dan juga Renjun. "Ya Allah, ternyata beneran. Jadi, ini Vernon yang ditangisin sama Sejeong?"
Tiba-tiba saja pandangan mata Kino menemukan Daniel yang tengah menatapnya. "Daniel?" gumamnya.
Kino pun menghampiri sahabatnya itu. "Daniel!" serunya.
Sedang, Daniel seperti orang kebingungan. Ia bergerak gelisah, dan menoleh ke sembarang arah. "Ah, Kin. Sorry nih gue baru sampe. Gimana Vernon?" tanyanya berpura-pura seakan-akan ia baru tiba.
"Masih ditanganin dokter, Niel. Lo ngapain diem di sini? Ayo ikut gue," jawab Kino sambil mengajak Daniel untuk bergabung dengan yang lain.
Daniel menggelengkan kepalanya pelan. "Gue di sini aja Kin, ngomong-ngomong gimana ceritanya Vernon bisa kecelakaan?" Kino menghela napas pelan.
"Vernon dalam perjalanan ke rumah lo Niel. Gue nggak tau pastinya gimana. Intinya, dia mau minta maaf sama lo, soal Seje dan juga taruhan waktu itu," jelas Kino sambil mengingat kembali bagaimana Vernon merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Daniel dan Sejeong.
Memang benar, saat itu Vernon tengah dalam perjalanan menuju rumah Daniel. Ia memikirkan bagaimana harus meminta maaf pada sahabatnya itu. Hingga ia tak sadar jika di depannya ada truk dari arah berlawanan yang melaju cepat.
Daniel terdiam sesaat. "Gue udah maafin Vernon kok. Sebelumnya gue juga udah minta maaf sama Sejeong."
"Lo ke sini bareng Sejeong? Apa gimana?" tanya Kino.
Baru saja Daniel ingin menjawab, pintu ruang operasi terbuka. Orang tua Vernon langsung beranjak dan menghampiri suster tersebut. "Bagaimana keadaan anak kami sus?" tanya sang Ibu.
"Saat ini, pasien tengah kekurangan darah. Dan maaf, stok untuk golongan darah AB di rumah sakit ini sedang habis. Apakah dikeluarganya ada yang sama dengan golongan darah pasien?" tanya suster.
Sang Ibu menoleh ke arah suaminya. "Bagaimana ini? Golongan darahku A dan kau B."
Daniel melangkahkan kakinya menghampiri orang tua Vernon, membuat Kino mengernyitkan dahinya. "Jangan bilang dia mau donorin darahnya? Dia 'kan takut sama jarum suntik!" gumam Kino.
"Permisi om dan tante. Golongan darah saya AB. Silahkan ambil darah saya aja sus," ucap Daniel.
Ibu Vernon menggenggam tangan Daniel. "Kamu serius 'nak?" Daniel mengangguk. "Iya tante, bagaimana pun, Vernon sahabat saya."
"Terima kasih banyak 'nak Daniel. Tante nggak tau lagi harus bilang apa." Sang Ibu menggenggam tangan Daniel erat. Hal itu tidak lepas dari perhatian Sejeong yang berada tak jauh dari sana.
Daniel mengangguk, lalu tersenyum lembut.
"Mari mas ikut saya," ucap suster. Sebelum Daniel mengikuti langkah suster, ia melihat ke arah Sejeong. Iris mereka bertemu, bahkan Sejeong menyunggingkan senyum tipis dan mengangguk.
Saat itu juga, perasaan Daniel membuncah bahagia. Setidaknya ia bisa melihat Sejeong tersenyum ke arahnya, walau karena alasan orang lain. Ia pun mengangguk singkat dan melangkahkan tungkainya mengikuti suster.
"Makasih banyak Daniel..." batin Sejeong, selepas kepergian Daniel.