10 Failed Dinner

Kau tahu ini salah, kau juga tahu ini bukan mau hatimu. Tapi kenapa? Kau masih saja meneruskan sandiwaramu ini? Bukan hanya dia yang tersakiti tapi juga dirimu!

•-----•

Gue menundukkan kepala dan menghela napas panjang. Rasanya sakit! Iya, hati gue sakit melihat dia dengan pria lain! Lebih sakitnya lagi, pria itu sahabat gue sendiri!

Kemarin Vernon menjemput Sejeong di rumah gue. Padahal kesempatan untuk lebih dekat dengan Seje terbuka lebar, tapi sekarang? Hhh... apalagi saat Mama bilang 'jodoh nggak akan ke mana bang.' Baiklah, positive thingking.

"Gue tau, seharusnya gue nggak mempermainkan Seje dengan taruhan nggak jelas antara Vernon dan Kino!"

Mungkin ini balasan yang sepatutnya gue dapatkan. Ketika rasa itu mulai tumbuh, dia mengetahui segalanya. Dan berakhir dengan penyesalan terdalam dari gue karena saat itu gue lagi sayang-sayangnya sama dia.

"Gue kena karma kali ya? Kirain cuma ada di film doang gitu..." Gue bergumam tidak jelas.

"Bang! Tuli lo ya? Gue panggilin dari tadi nggak nyahut!" protes Renjun yang sedari tadi memanggil Daniel, tapi tak ada sahutan.

Lah! Anjir! Bacot banget ni bocah!

"Nggak usah teriak sipit!" jawab gue dengan nada tinggi.

Renjun terkekeh mengejek. "Lah, nggak ngaca lo bang? Sipitan mana sama mata lo?!"

Gue menepuk dahi dan menghela napas! Dasar Renjun!

"Diem 'kan lo bang ha ha ha!" Lah anjir diketawain gue!

"Diem lo ah! Ngapain manggil-manggil gue?!"

Renjun beranjak dari duduknya, dia pindah jadi duduk di samping gue. Oh iya, gue sama Renjun tengah menonton televisi di ruang keluarga.

"Dih, apaan 'sih deket-deket!" Iya lah, gue risih tiba-tiba Renjun mepet-mepet ke gue.

"Ya ilah bang! Mau tau sesuatu nggak?" sahut dia sambil menaik-turunkan alisnya.

Apa-apaan 'tuh bocah! Serem iiih.

"Apaan 'sih?" gue bertanya balik. Penasaran juga 'sih gue.

Renjun menunjukkan isi pesannya, dan ternyata..

Today

Jaemin

| Jun, gua udah minta bu Seje dateng ke cafe depan komplek lo

| Semoga aja kali ini berhasil ya nggak?!

===

"Terus apa hubungannya sama gue?"

Gue melihat Renjun menepuk dahinya. "Duh, bukan abang gue lo!"

"Masa gini aja nggak tau! Nggak peka banget, pantesan bu Seje nggak mau sama lo bang!" lanjut Renjun.

Oh geez! Ini bocah mulutnya minta disumpel bakso urat se-kepala bayi ya? Enak banget kalau ngomong.

"Anjir ah, ribet lo! Tinggal jelasin aja apa susahnya dah!" Oke, gue emosi karena ini menyangkut harga diri.

Renjun menghela napas pelan. "Sabar napa! Jadi gini... gue sama yang lain sengaja mau bantuin lo buat deket lagi sama bu Seje bang. Seneng nggak lo?"

What? gue seneng banget dengernya. Tapi, demi menjaga image di depan adik sendiri, gue harus bersikap biasa saja. "Iya gue seneng. Kapan janjiannya?"

"Sekarang, jam tujuh malem di cafe," jawab Renjun santai.

Hah? Sekarang? Tunggu... gue melihat jam di pergelangan tangan. "Gila lo ya! Gue belum siap-siap! Ini udah jam setengah tujuh!"

Sial! Renjun niat membantu tapi malah bikin gue panik seketika. Ya gila kali masa gue nggak mandi? Belum lagi milih baju yang mau gue pakai!

"Lah, udah dibantuin juga lo bang! Gue batalin nih kalau nggak mau!" Renjun mengancam.

Tanpa menjawab ucapan Renjun, gue langsung berlari menuju kamar mandi. Tidak lupa dengan gerutuan gue yang seperti bersenandung. Untung lo adek gue Jun!

Renjun hanya menggelengkan kepalanya. "Ribet si abang mah! Udah kayak anak abege mau kencan pertama kali aja."

19.10

"Sebenernya mau ngapain sih, Jaemin nyuruh ke sini?" gumam gue sambil melirik ruangan yang terbilang cukup sepi. Hanya ada lampu temaram, dengan suasana yang romantis?

Aneh!

Duh, di mana 'sih? Udah kayak orang bener aja gue sendirian di sini.

Gue melirik jam di pergelangan tangan. "Parah ini mah, udah lewat lima belas menit. Balik aja kali ya hhh."

Tapi, baru saja gue ingin beranjak, ada sebuah tangan yang menahan gue untuk kembali duduk. Gue pun menoleh. "Lah?"

Ya, di hadapan gue sekarang ada Daniel Dirgantara. Seseorang yang sudah menyakiti gue di masalalu. Sungguh rasanya ingin langsung pergi dari sini. Tapi, untuk sekarang gue ingin berdamai dengannya.

"Mau ke mana?" tanya Daniel seraya berjalan memutari meja dan duduk di kursi berseberangan dengan gue.

Oke, gue bingung sekarang. Untuk apa Daniel bertanya seperti itu? "Mau pulang 'lah!" jawab gue sedikit ketus.

"Maaf kalau aku terlambat." Daniel tersenyum.

Hah? Tunggu...

Apa maksudnya? Terlambat?

"Maksudnya gimana? Sumpah aku nggak ngerti Niel. Aku di sini janjian sama Jaemin. Dia bilang mau minta tolong hal penting. Tapi, aku nggak tau kenapa tempat ketemuannya roman..." Gue terdiam sesaat.

Oh geez! Gue paham sekarang! Pasti Jaemin yang sudah mengatur ini semua. Suasana restoran yang romantis, bahkan meja pun telah dihiasi dengan lilin aroma, juga ada sebotol wine.

Please Seje! Lo kelamaan mikirnya. Harusnya lo sadar dari tadi!

"Jangan bilang ini semua rencana kamu ya Niel?" tanya gue.

Daniel menggeleng pelan. "Bukan, aku juga baru tau dari Renjun tadi setengah jam sebelum ini."

"Oh, jadi bener ya? Ini rencana mereka ck. Maaf Niel, aku—"

"Nggak perlu diterusin Seje ucapannya. Nikmatin aja yang udah tersedia di sini. Hargai usaha murid-murid kamu. Dan... ada yang mau aku jelasin juga," ucap Daniel memotong ucapan gue.

Sontak gue mengernyitkan dahi. "Mau ngejelasin apa?"

Gue melihat Daniel menghela napas pelan, lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu soal..."

Baiklah, gue akan mendengarkan penjelasan Daniel. Setidaknya, dengan begini gue bisa memaafkan dia dan diri gue sendiri karena mudah dibohongi dan disakiti, dulu.

"... beberapa bulan lalu. Jujur, aku nggak maksud nyakitin kamu apalagi jadiin kamu taruhan nggak jelas yang Kino dan Vernon buat. Bahkan, aku baru tau kalau kamu sama Vernon sahabatan."

Daniel menundukkan kepalanya, lalu kembali menatap lurus tepat ke iris Sejeong. "Aku beneran sayang sama kamu Seje... perasaan ini nggak main-main, apalagi karena taruhan. Tapi, kayaknya udah telat ya," lanjutnya sambil tersenyum miris.

Gue menghela napas sejenak. Sejujurnya di dalam hati ini masih ada sedikit rasa sayang untuk Daniel, tapi rasa kecewa masih dominan untuk saat ini.

Padahal sejak awal gue suka sama Vernon. Tapi, kenapa rasa kecewa gue malah lebih besar terhadap Daniel? Seharusnya, gue bersikap sama dengan Vernon karena dia dalang dibalik taruhan itu.

Apa karena Vernon sahabat dari kecil gue? Atau, rasa sayang gue sudah sepenuhnya beralih ke Daniel?

Makanya, saat tahu kalau gue dijadikan bahan taruhan oleh Daniel... sakit! Satu kata yang menggambarkan gue saat itu.

"Seje?..." Daniel membuyarkan lamunan gue.

Sejeong menaikkan sebelah alis matanya. "Hah? Kenapa?"

"Dari tadi nggak dengerin omongan aku?" tanya Daniel.

"Lah? Emang ngomong apa?" Please Seje! Kenapa lo jadi lemot?!

Daniel membuang napas kasar. "Oke, aku udah tau jawabannya."

Lah? Dia ngomong apaan emang?

Baru saja gue mau bertanya, ponsel di dalam tas gue berdering.

[Assalamu'alaikum.]

[Wa'alaikumsalam sayang. Mama lagi di rumah sakit...]

Mama mulai menceritakan sesuatu yang membuat gue menjatuhkan ponsel yang tengah menempel di telinga kiri.

"Kenapa Se?" tanya Daniel bingung, karena dia melihat wajah gue memucat.

Tanpa menjawab ucapan Daniel, gue langsung meraih ponsel, tas dan beranjak dari duduk lalu berlari menuju parkiran.

Gue tidak peduli dengan teriakan Daniel, karena informasi dari Mama itu lebih penting.

avataravatar
Next chapter