12 Move On Failed

Semakin kau berusaha untuk move on, atau melupakannya. Justru kenangan tentangnya semakin kau ingat. Jadi, biarkan saja waktu yang mengaturnya.

Kau Membuatku Gagal Move On!

•-----•

Sudah lebih dari enam jam, aku menunggu di luar ruang operasi dengan khawatir juga ketakutan. Hingga akhirnya operasi berjalan lancar dan aku diperbolehkan untuk bertemu dengannya —sahabat baikku.

Aku masuk ke ruangan dengan nuansa serba putih. Kulihat dari ambang pintu seseorang yang selama ini selalu bersamaku terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang. Terdapat selang yang terhubung ke hidung serta telapak tangannya.

Wajahnya begitu pucat, bahkan bibirnya pun terlihat kering serta memutih. Begitu damai melihatnya terpejam dengan napas yang teratur. Dengan perlahan, aku menghampirinya seraya menahan tangisku.

Dengan jubah khusus dan masker yang kukenakan, aku menyapanya dengan suara pelan. "Assalamu'alaikum Vern. Ini gue... Sejeong."

Tak ada sahutan darinya. Tak ada canda tawa yang biasa ia lakukan ketika bertemu denganku. Juga, tak ada senyum ceria yang selalu ia tunjukkan padaku. Tingkah jahilnya pun, aku rindu.

"Lo kenapa jadi gini sih Vern? Makanya, kalau nyetir mobil tuh jangan sambil ngelamun," kataku dengan air mata yang sudah tak sanggup untuk aku tampung. Ia mengalir begitu saja melalui ekor mataku.

Hening. Sampai-sampai, hanya terdengar suara mesin berukuran kecil yang terdapat di sisi ranjang Vernon. Terlihat garis yang tak beraturan di sana. Aku pun hanya memandangnya dengan kesedihan.

Bagaimana bisa Vernon berakhir seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa harus dia? Seketika, aku menangis sesegukan karena menyadari bahwa Vernon sangat kesakitan saat ini.

Kuraih pergelangan tangannya yang tak ada jarum infus. Lalu kugenggam dan mengusapnya lembut. "Vern, bangun. Lo nggak kangen sama gue?... tante dan Om nungguin lo di luar. Kita nggak bisa jenguk lo bareng-bareng soalnya."

Secerewet apa pun aku mengoceh. Nyatanya, Vernon tak bisa menyahutiku. Itu semakin membuatku merasa sedih. Kalau saja Vernon tahu aku menangis seperti ini, sebuah jitakan atau pelukan pasti dia berikan untuk menenangkanku. Tapi, tidak untuk saat ini.

"Vern, lo tau nggak? Daniel ngedonorin darahnya buat lo." Sejujurnya, aku sangat tahu kalau laki-laki itu memiliki trauma dengan darah. Melihatnya rela mendonorkan darahnya untuk Vernon, membuat hatiku merasa tersentuh.

Ah, iya...

bagaimana keadaan Daniel sekarang ya? Haruskah aku menengoknya? Ia pasti sedang beristirahat di ruang inap.

Baiklah, karena di luar sana masih banyak orang yang menunggu untuk menjenguk Vernon, lebih baik aku tidak berlama-lama di dalam sini. "Vern, nggak apa-apa ya gue tinggal? Janji, nanti gue ke sini lagi. Kasian yang udah pada nungguin di luar sana."

Aku meletakkan kembali tangan Vernon yang sempat kugenggam. Sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangan ini, sebuah kecupan mendarat di kening Vernon. Sungguh, aku sangat menyayangi laki-laki di depanku ini.

"Cepat sembuh ya Vern. Gue pergi, assalamu'alaikum," kataku, lalu pergi meninggalkan Vernon sendiri.

Setelah aku melepas jubah dan juga masker yang kukenakan tadi, Kino menghampiriku dan berkata, "Seje, kayaknya lo harus nemuin Daniel deh. Dia sempet pingsan tadi karna traumanya."

"Hah? Serius Kin? Ya udah, gue titip Vernon ya." Aku melangkahkan tungkaiku. Ah, aku lupa di mana ruangan Daniel. "Ruangannya di mana?" tanyaku pada Kino yang masih ada di tempatnya.

Kulihat Kino menepuk dahinya. "Kirain udah tau. Itu di ruangan Dahlia deket laboratorium," jawabnya.

"Oke, makasih Kin!" seruku, dan langsung berjalan cepat menuju ruangan yang disebutkan oleh Kino tadi.

Dahlia, 101.

"Hhh...hhhh..."

Aku tiba di depan pintu ruangan Daniel dengan napas yang sedikit memburu. Pasalnya aku menaiki tangga untuk sampai di lantai dua. Karena lift selalu penuh dan aku tak sabar menunggu.

Knop pintu kuputar, lalu aku menyembulkan kepalaku dari balik pintu. "Di mana Daniel?" gumamku ketika tak mendapati laki-laki bermata sipit itu di ranjangnya.

Ketika aku hendak menerobos masuk, ada yang menepukku dari belakang. "Astaga!" Ternyata Daniel pelakunya.

"Ya ampun Daniel! Gue kira siapa! Ih katanya tadi pingsan, terus kenapa sekarang udah jalan-jalan?" ocehku ketika mendapati Daniel yang baik-baik saja.

Daniel menaikkan sebelah alis matanya. "Kata siapa? Aku baik-baik aja. Ah, gue maksudnya. Maaf kebiasaan ngomong sama lo pake aku-kamu."

Oh, ayolah Niel. Kamu mengingatkan aku bagaimana kita beberapa bulan lalu. Aku ingin move on dari kamu. Kalau seperti ini semua usahaku akan sia-sia. "Iya nggak apa-apa. Senyamannya lo aja."

"Ih itu, tadi kata Kino. Wah jangan-jangan gue dikerjain Kino nih!" gerutuku ketika menyadari kalau Kino sudah mengerjaiku. "Awas aja tuh anak!"

Kulihat dari ekor mataku, bahwa Daniel tersenyum simpul. Karena tak ingin membuatnya menunggu di depan pintu, aku mundur selangkah agar ia bisa masuk dan berbaring di ranjangnya. "Ngapain diem? Udah sana masuk. Tiduran lagi. Emangnya udah lebih baik?"

Daniel, bukannya masuk ke dalam ruangan. Ia malah berkata, "cie perhatian. Jadi seneng."

"Lah, bocah ngapa ya?" ledekku, karena faktanya aku merasakan deg-degan.

"Kita udah temenan lagi 'kan? Makanya kamu ngeledekin aku." Daniel mulai terbiasa dengan menggunakan aku-kamu, jadi aku biarkan saja.

Aku mengangguk. "Iya, iya. Ya udah ih sana masuk. Tiduran lagi. Itu liat infusan aja belom dilepas. Eh, tapi kok sampe diinfus sih Niel?"

"Dehidrasi kata susternya tadi. Soalnya pas operasi, Vernon butuh banyak darah. Ya udah jadi aku diinfus," jawab Daniel sambil melangkah masuk dan dududk di tepi ranjang. Aku pun mengikutinya dan berdiri di depannya.

"Oh, gitu. Terus lo nginep di sini atau gimana?" tanyaku.

"Nginep sehari Se. Kenapa? Mau nemenin aku?" sahut Daniel. Aku tahu, ia sedang bercanda. Tapi, kalau kupikir lagi... apa salahnya menemaninya sampai Ibu dan adiknya datang. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasihku karena ia sudah mendonorkan darahnya untuk Vernon.

"Ya udah, gue temenin sampe ada yang dateng. Renjun udah dihubungin? Ibu lo gimana?"

"Udah kok. Mereka dalam perjalanan ke sini. Eh, ini beneran mau nungguin?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk pelan, tanpa keraguan. Terlihat semburat merah di telinga Daniel. Aku tahu betul, tandanya ia tengah malu sekaligus senang.

"Oh iya Se, gimana keadaan Vernon? Pasti udah nengokin 'kan?" lanjutnya bertanya.

"Iya, gue baru aja dari sana. Vernon belum siuman, masih di ICU. Gue..." Ayolah, jangan menangis di depan Daniel. Tapi, air mataku tak bisa kukontrol lagi.

Kulihat Daniel menatapku bingung. "Duh, jangan nangis dong Se. Nanti dikira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Sini duduk, minum dulu gimana?" Ia meraih segelas air mineral yang ada di sisi ranjangnya. "Tenang aja, belum aku sentuh gelasnya. Maksudnya belum aku minum. Nih, minum dulu."

Aku menerimanya dan meneguk air mineral itu. Sejujurnya, aku memang sedang haus. "Makasih Niel." Kuletakkan gelasnya kembali.

"Kamu yang sabar ya Se. Aku tau, kamu pasti sedih banget. Begitu pun aku, karna mau gimana pun Vernon juga sahabat aku."

"Iya, Niel. Maaf ya. Ya udah tidur gih. Gue duduk di sana ya. Kalau butuh apa-apa bilang aja," sahutku sambil menunjuk sofa tidur yang ada di pojok sana.

Kulihat Daniel mengangguk dan tersenyum. "Makasih juga udah mau nemenin aku, Se."

"Iya Niel," sahutku, lalu aku duduk di sofa yang kusebutkan tadi.

Terima kasih Daniel, berkat pertolonganmu Vernon bisa melewati operasinya dengan lancar. Walaupun belum ada kabar kapan ia akan siuman, setidaknya nyawanya dapat diselamatkan.

Kuharap, usahaku untuk move on darimu tidak sia-sia Niel karena semua kejadian ini. Aku masih tetap ingin meyakinkan hatiku, kalau aku sudah tidak menaruh hati lagi padamu.

avataravatar
Next chapter