Aku cukup beruntung di masa SMP dulu, karena di sekelilingku banyak teman yang berpikir dewasa. Tepat di kelas yang diunggulkan, jadi ya beginilah hidupku. Dikelilingi anak-anak jenius di bidangnya.
Pernah berpikir untuk mencoba tuk mencinta sahabat sendiri, tapi nyatanya hal itu tak dapat dikehendaki. Ada rasa aneh, dan tak tumbuh cinta di hati.
Sahabat kelas, tak mudah dilupakan dan selalu terngiang pikiranku di masa itu. Di semester kedua, ada satu moment berkunjung ke lempeng samudra. Kebumen, adalah kota di mana ada bekas lempeng samudra yang telah menjelma tanah dataran rendah, Karangsambung. Perjalanan menaiki mikro, bus ukuran kecil, dengan medan yang berliku, dan harus ada yang berkorban tak mendapatkan tempat duduk. Adalah aku, yang merelakan temanku mendapatkan posisi ternyaman. Dan aku, menikmati setiap perjalanan dengan caraku sendiri.
Tak pernah keluargaku mengajak pergi ke suatu tempat, jadi setiap perjalanan sangat kunikmati, dan kuperhatikan. Semua itu moment langka, apalagi ditambah dengan kawan sendiri. Berbagi jajan adalah hal paling wajar, dan aku yang membawa bekal seadanya hanya mampu menyimpannya.
Kawanku menghabiskan banyak bekal di perjalanan, aku pun menikmatinya. Hingga tak terasa waktu berjalan begitu larut. Sampailah di tempat tujuan, seperti asrama. Kami menginap satu malam di sana. Suhu udara berasa panas, membuat kami susah tidur di malam itu. Sebelumnya ada pemberian materi dan sejarah singkat terbentuknya lempeng samudra. Cukup membosankan sebenarnya, tapi ya tetap saja kami nikmati.
Hal yang paling kuingat adalah masjid tempat kami beribadah. Mempunyai arsitek yang megah dan sederhana, karena dilengkapi dengan bebatuan mulia pada dindingnya. Banyak batuan sedimen dan batuan beku yang sengaja di sebar sebagai pajangan di tempat itu. Tapi, bertahan di kamar adalah hal yang paling kami nikmati. Bercanda ria dan berbagi makanan yang tersisa. Makanankulah yang mengambil jatah, karena hanya aku yang menyisakannya. Strategi perang yang kupakai.
Bermain kartu menjadi pilihan, dan kawanku yang kalahan menjadi bahan tertawaan. Sampai jam setengah tiga pagi kami bertahan. Dan yang paling kuingat ketika kawanku menaiki ranjang dengan gaya jumping ala Jet Lee, itulah hal yang cukup greget. Karena ranjang itu sampai rusak papan pada bagian tengahnya. Dan membuat kami cukup panik, hingga diriku harus berpindah tempat tidur. Itu tempatku berbaring, dan sudahlah ia rusak. Semuanya panik dan sudah tak tahu lagi bagaimana nasib tempat itu. Satu setengah jam kami tidur, selanjutnya bangun dan mandi bergantian. Aku pun mengambil giliran, tapi sholat subuh menjadi pilihan utamaku terlebih dahulu, karena harus antre mandi. Ada air yang begitu dingin siap menyapa kulitku. Dilengkapi dengan hawa panas, dan pakaian tipis di keadaan gelap gulita. Mantap sekali rasanya.
***
"Cepet mandinya, jangan kelamaan. Udah siang ini, perutku lapar!" suara temanku terdengar dari kamar mandi.
"Sabar, bentar lagi rampung. Nanggung hampir keluar." temanku menjawab.
"Waduh, lagi ngapain lo? Jangan main-main dong, cepet keluarnya. Gantian sama yang lain."
"Iyaiya, bentar dong, nanggung."
Obrolan yang cukup panas dari kedua temanku. Aku yang sudah mengambil giliran mandi merasa lega. Tinggal bagaimana diriku menjatahkan diri untuk berkemas, karena nanti akan check out dari tempat penuh canda ini.
"Makan, ayo kita ambil jatah yang banyak. Katanya nanti kita jalan jauh lho." temanku membuka pembicaraan.
"Siap, sikat habis makanannya." sang badan besar berkoar dengan celotehnya.
"Kalem brai, inget yang lain. Kami kan juga perlu pasokan amunisi." aku mulai mengikuti alur cerita.
"Siap, tenang aja. Ayo kita serbu! Jangan malu-malu lagi."
"Yosh, ganbate."
Semangat seorang ninja Konoha terpancar di pagi itu, semua bersemangat dan bersemangat. Tak perlu waktu lama, perang pun selesai.
"Akhirnya kenyang juga, setelah perang ninja ke-4 dengan persenjataan seadanya, sendok dan garpu. Musuh sekumpulan paha dan anak buahnya. Menjadi sasaran empuk kita." celotehku.
"Betul sekali, yuk kita keliling! Ada liontin bagus di sana, siapa tahu aja ada yang mau beli." seorang teman mulai berkoar.
"Boleh juga, tapi aku hanya mau lihat. Kamu yang beli ya, hehehe," aku ya jelas, hanya bisa pasrah.
"Baiklah, kalau ada yang pas di kantong."
"Siap."
Begitu lama melihat, dan akhirnya gak jadi beli satu pun. Katanya gak ada yang pas di kantong. Padahal kan ukurannya kecil-kecil, sebesar kelingking.
Ya sudahlah, bus kecil tayo kami juga sudah mau berangkat. Dan kami dikenalkan dengan pemandu wisata seorang cewek berkaca mata.
Tujuan pertama adalah sungai Lok Ulo, yang menjadi tempat pencarian batuan beku oleh segelintir orang. Memang di sana terkenal dengan aliran sungai yang tenang, dan juga batuan sungai yang kecil-kecil dan bagus-bagus. Aku pun tak tertinggal mencari batu yang bagus, dan mendapat batu kecubung es. Awalnya berwarna kuning, tapi setelah dibelah mendapatkan warna bening layaknya es, ajaib.
Daerah yang kami lalui cukup terjal, karena harus turun lereng batuan, yang merupakan bekas aliran larva gunung di dasar laut, katanya. Dan masih ada bekas larva yang membeku, tepat di tempatku berdiri.
Ada juga aliran sungai kecil di celah batu itu. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Masa biru di tepian sungai Lok Ulo yang berair biru, kalau saja warnanya enggak cokelat. Sayangnya cokelat, jadi gak jadi deh air birunya.
Setelah semuanya jelas, lanjutlah kita ke tempat selanjutnya. Lempeng samudra di Karangsambung. Perjalanan cukup panjang dan terik, karena di waktu siang. Di sepanjang perjalanan, aku menikmati liku hidup yang teramat sedap. Ditambah dengan pemandangan sawah dan lautan, simpanan kekayaan. Ada juga batu yang begitu besar sekali, di tengah sawah persis. Hanya batu itu, tak berkawan. mengisyaratkan diriku yang juga serupa dengannya, sendirian, hehehe.
Sampai juga deh di tempat tujuan, namun perjalanan kami harus dilanjut dengan jalan kaki.
"Apa? Haruskah beban ini kupikul sendiri?"
"Kenapa semua ini kau ucapkan dengan begitu ringan?"
"Tak tahukah akan beban hidupku?"
Alay pun keluar dari mulut temanku. Aku pun tak mau ketinggalan dengan mereka.
"Sudahlah, kita nikmati saja. Karena di balik perjuangan yang besar akan ada hasil yang tiada tara."
"Tapi, aku haus."
"Bilang dong, ini aku ada minum. Jangan dihabiskan!"
"Siap, terima kasih."
"Ayo, jangan sampai ketinggalan dengan yang lain!"
Perjalanan mulai kami lewati satu demi satu. Ada pemandangan luar biasa di sana. Belum sampai si, masih di tengah perjalanan. Sekumpulan anak kecil mandi di sungai tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Anak perempuan pun menjadi bahan ledekan.
"Jangan diliatin terus, basah nanti. Kita di jalan yang sempit lho."
"Apa?" seketika menghadap suatu objek yang berada persis di depan sana, dan juga di bawah. Karena sungainya cukup dalam, dan sedang surut.
"Ih, apaan si kamu." sambil menutup mata, tapi dengan jari terbuka.
"Hati-hatilah, jangan salah jalur. Jaga pandangan, nanti basah, wkwk."
"Udah ah, jangan bahas lagi."
Dan terlihat di sekumpulan anak cewek nan jaoh di depan sana tertawa dengan kencang. Mungkin geli atas apa yang mereka lihat. Unyu-unyu, bahasa sekarang untuk menggambarkan anak kecil yang lagi main di sungai itu.
Perjalanan masih jauh. Ada hamparan sawah luas di depan sana, dan itulah jalur kami selanjutnya.
"Hah, yang bener aja kita lewat sawah? Aku kan pake sendal tinggi." sosok wanita yang tak tahu rute apa yang akan dia lalui, akhirnya sadar kalau salah kostum.
"Untung aku pakai sepatu. Makanya jangan kebanyakan gaya, sesuaikan dengan tujuan dong." temannya menimpali.
"Sudah, jangan bertengkar. Cepat jalan, udah panas ini."
Mereka pun turun ke sawah, menyusuri jalan setapak dan pada akhirnya sampai di kebun yang ternyata masih jauh lagi dari tempat itu.
"Sabar, sabar." hatiku harus tegar.
Terdengarlah suara teriakan jauh di belakang.
"Aaaaaaa. . . . .! ! ! !"
Sosok wanita cantik jatuh ke sawah, dan semuanya pun tertawa.
"Hahaha, syukurin. Anak kota si gak pernah main di sawah. Enak kan lumpurnya?" seakan menghujat dan membanggakan diri sendiri.
Dan disusul dengan kejatuhan selanjutnya,
"Sial, aku ikut jatuh juga. Kualat deh, termakan ucapan sendiri."
Semua pun tertawa,
"Hahaha."
Dengan sabar kami menyusuri kebun yang entah kebun apa, karena banyak tanaman, dan enggak satu jenis.
Akhirnya sampailah di bawah lempeng samudra, walau harus turun ke bawah untuk melihat lempengnya. Ada sungai kecil mengalir di bawahnya, dan benar lempengnya sangat tinggi.
To be continue . . .