Begitu polos diriku sampai tak terpikirkan di masa itu. Tentang aku yang penuh dengan perasaan bangga dan meninggikan diri atas segala yang ada padaku.
Peringkat 9 paralel, dengan nilai UN 27 koma sekian menjadikanku mudah masuk SMP favorit, SMPN 2 di kota asal ku. Saat pertama aku masuk, tak ada bedanya dengan murid lain, karena semuanya dianggap setara di mata kakak kelas. Syukurnya, saat itu sedang bulan puasa, jadi fisik dan perpeloncoan tak dikembangbiakkan.
Dan terdiam diriku atas setiap tindakan, karena semua itu adalah hal yang tak sepantasnya kulakukan.
Aku masih saja membingungkan semua ini. Aku harus bagaimana? Apa yang sepantasnya ku tulis di lembaran kisah ku?
Entahlah, aku harus merubah sikap. Aku di sini bukan sebagai anak yang angkuh. Ayah dan ibu selalu mengajarkanku untuk sopan kepada siapa pun.
Ibu, mungkin ini adalah kisah termanis ku. Memberikan kenangan indah untukmu di saat aku masih polos dengan tiap pemikiran ku.
Memberi bangga untukmu, atas pencapaian ku meraih peringkat 1 di kelas dulu. Dan membuatmu dipuji tiap mulut yang berlalu di sepanjang jalan itu.
*
Masa SMP, aku punya seorang teman bernama Yana. Dia seorang pria, dan punya saudara perempuan yang di dalam kisah ini menjadi sosok yang kucinta di saat usia 13 tahun. Cinta monyet yang menyergap di dalam hati remaja yang termakan zaman yang semakin menggila.
Suatu kebanggaan yang melanda umat tak berdosa yang mulai mencoba bagaimana rasanya berdosa dengan membuat buih-buih cinta di lembaran hidupnya.
Ibu, apakah aku bersalah?
Bukankah aku sudah membanggakan mu?
Aku hanya ingin seperti yang lain, merasakan bahagia.
Remaja, belum mempunyai jati diri, yang lebih banyak iri. Atas apa pun, dan kepada siapa pun. Termasuk halnya pasangan, yang masih sebatas teman bercerita, berbagi pemikiran dan cinta.
Begitu aneh jika diingat, cinta pertama yang seolah-olah menjadi cinta selamanya, dan hanya bertahan satu bulan saja. Sampai panggilan ayah bunda pun menjadi bahan yang tak habis ditertawakan di kemudian hari. Hingga sekarang pun aku merasa miris terhadap para remaja yang baru menginjakkan kaki mereka di bangku SMP yang sudah bermesraan dengan pasangannya. Di manakah peran orang tua? Guru? Dan orang dewasa lainnya?
Acuh, adalah hal yang sudah lumrah. Begitu juga dengan yang kurasakan dulu. Asik saja, toh gak ada yang marah. Dunia seakan milik sendiri, tapi sementara. Setelah itu, seolah dunia runtuh dan tak berbekas. Mau nangis, tapi kan sudah besar. Dan tentang masa SMP, begitu polosnya aku hingga menerima setiap yang dikatakan teman, tanpa berpikir menyaringnya dulu.
Peran teman begitu penting dalam membangun kemajuan kita. Entah bidang percintaan, pernakalan, bahkan peremajaan. Dan aku termasuk yang beruntung dalam bidang percintaan, banyak belajar dari kawan. Tentang remaja pun sama, saling berbagi motivasi dengan kawan yang lebih senior.
Pernah terlintas tentang pergaulan bebas seperti halnya merokok dan mempunyai banyak pacar. Tapi, kawanku berprinsip bahwa wanita adalah ibu, dari kita dan juga anak-anak kita. Jadi, jangan sampai ada tangis mengalir dari pelupuk matanya. Boleh nakal, tapi tetap kejujuran dan rasa menghargai yang utama.
Aku adalah perokok, aktif. Dan tak pernah beli, karena teman yang membelinya. Tinggal sedia korek dan juga tempat untuk berbagi cerita, dan siap dengan semua permintaannya. Temanku tak suka macam-macam, dia hanya suka bercerita tentang cintanya.
Aku yang notabene pernah berpacaran, tapi hanya sekali dan sebulan merasakan iri dengannya. Tapi dari situ, banyak pelajaran yang kupetik. Dari kisah masa SD ku yang suka dengan seseorang, tapi tetap saja tak pernah dia pedulikan. Bahkan dirinya memilih temanku sendiri untuk menjadi pacarnya, aku dicampakkan. Dosa apa yang pernah kubuat, sampai dia sekejam itu. Tak apa, semua sudah berlalu.
Masa SMP, dengan seorang sahabat sejati. Dia memang tak begitu baik, tapi dia punya pendirian dan prinsip yang kukuh serta taat beragama.
"Semua yang kita lakukan harus siap kita pertanggungjawabkan." itulah katanya.
Walau mengajariku merokok, aku banyak belajar arti hidup darinya. Dan juga lebih berpikir dewasa. Selepas berpacaran dengan sosok wanita pada cinta pandangan pertama, aku tak ingin membuat banyak derita. Sudah cukup, karena prinsipku adalah setia. Nikmati saja semua.
Mendengar kisah kawanku yang begitu lama menjalin cinta, dan cara-cara membahagiakan wanita,sudah cukup membuatku termotivasi.
Masa remaja SMP, kelas 7 dengan usia 13 tahun sudah banyak kisah cinta. Begitulah diriku, dan ya cinta sebatas monyet. Banyak waktu kubuang dengan kawan, tak peduli lagi untuk urusan hati, nanti pasti ada yang datang menghampiri.
Tentang prestasi, tak pasti lagi, karena perubahan yang drastis dari masa SD yang sangat rajin dalam urusan belajar materi. Di SMP lebih banyak belajar mencari jati diri dan arti hidup agar menjadi lebih dewasa lagi.
Cinta monyet, sebatas chating di medsos. Kalau dulu masih primitif, pakainya SMS. Modal pulsa dan beli kartu yang banyak gratisannya. Strategi berpacaran yang sangat jitu untuk anak muda. Dan begitulah kisah ku dengan cinta pertama. Hanya pernah bertemu sekali, dan jatuh cinta. Selanjutnya, sebatas lewat pesan singkat yang berujung pada kata pisah yang ia sampaikan kepadaku. Aku masih cinta, dan dia meninggalkanku begitu saja.
Dunia memang adil, menunjukkan mana yang hendak bertahan, dan mana yang mengusahakan untuk bisa merelakan. Aku bersyukur pernah merasakan cinta pertama, walau tak sampai akhir. Tapi yang pasti pernah merasakan panggilan ayah bunda.
Berjalan begitu saja, tanpa ada penyesalan yang berlebihan. Walau terkadang, merasakan kesendirian. Sunyi yang melebihi sepi di saat-saat menjelang tidur.
Tak ada kawan, dan rasa yang lainnya. Aneh kalau dirasakan, intinya kosong dan hampa.
Hisapan rokok di masa remaja setelah putus cinta adalah bentuk pelampiasan yang membuat sejuta bangga. Seakan pikiran merasakan lega, dan tak lagi peduli dengan semuanya. Itulah mengapa jangan salahkan perokok jika mereka merokok. Karena, kalian sendirilah yang mengacuhkan mereka. Hingga mereka memilih jalan sendiri untuk melampiaskan rasa yang tak dapat disalurkan.
Tiap hisapan adalah senyum sejuta derita. Melenyapkan tangis yang perlahan mendesak tuk basahi mata.
Berkisah teruntuk kawanku, dia begitu menghargai wanita, dan sangat memahami perasaan serta hati wanita. Aku pun banyak belajar darinya. Dari hal sederhana, wanita akan merasakan cinta tulus tanpa perlu dikata dengan ucapan yang dibuat bergaya. Karena jika cinta, tak perlu lagi sebuah alasan untuk mengatakan tidak atas setiap hal kecil yang pasti melahirkan bahagia.
Wahai pemuda, yakinlah bahwa cintamu akan memilihmu dengan sendirinya, dan akan menghargaimu tanpa meminta apa yang tak kaupunya. Berbanggalah karena telah menjadi cinta untuk orang yang kaucinta.
To be continue . . .