webnovel

Asmara Sang Perindu

Hari menjelma tahun yang telah berlalu. Meninggalkan kita di sepucuk kisah baru. Walau semua ini nyata dan pernah membahagiakan kita, itu dulu. Setiap detik menanam sejuta rindu, mengukir senyum candu, yang tak mungkin kulupa di sepanjang jalan itu. Semua masih sama, dan tersimpan di dalam memoriku. Kuharap dirimu juga membaca kisah ini, di mana ada cinta yang pernah tumbuh di tanah pertiwi, tepat di bawah hati, di dasar jiwa ini.

AidySan · Realistic
Not enough ratings
12 Chs

Lempeng cinta

Sesampainya di sana, kami takjub dengan bebatuan yang ada di sungai. Cantik dan berwarna indah, dengan aliran sungai yang tenang menambah sensasi yang damai. Melepas lelah dengan bermain air, laki-laki dan perempuan. Semuanya senang karena lelah terbayarkan. Aku asik melihat batuan yang ada di sana, karena dirikulah yang paling antusias kalau bicara tentang batu.

Dikisahkan bahwa lempeng ini merupakan tumbukan antara lempeng samudra dan lempeng benua, kalau gak salah. Yang pada masanya mengalami masa tumbukan dahsyat hingga mengakibatkan terangkatnya samudra ke permukaan, jadilah Karangsambung. Dulu, di tempatku berpijak, adalah dasar samudra. Beribu juta tahun yang lalu, mungkin zaman purbakala.

Dan lempeng itu pun terangkat dalam waktu yang lama, tak serta merta menjadi daratan. Banyak peneliti yang mencari tahu bagaimana tercipta hal itu. Kelihatannya aneh sih, tapi nyata sekali, dan aku sudah melihatnya.

Terbayar lelah perjalanan dan dahagaku. Sembari membasuh muka dengan air sungai yang segar, dan bermain dengan teman-teman.

"Isi botol minummu, mumpung banyak air."

Q : "Kamu ada-ada saja, gak ah nanti aku yang lupa minum."

"Hahaha, kan asik."

Q : "Asik gundulmu."

"Kita kan gundul semua,"

Q : "Ya kan kamu juga gundul."

R : "Heh, kita dipanggil, sudah habis waktu tour-nya, sekarang saatnya pulang."

Q : "Enggak bisa lebih lama lagi? Masih betah ini."

"Inget, perjalananmu masih panjang."

Q : "Iya juga ya, ya sudahlah. Ayo kawan-kawan kita muleh."

"Ayoo."

Melalui jalan yang berbeda dari sebelumnya, lebih mulus si jalannya. Tapi naiknya minta ampun, tinggi banget cui. Ya gak papa lah, sudah terbayar tadi di sana. Sudah lega rasanya, dan juga banyak  ilmu yang kami dapatkan, terutama aku.

Perjalanan pulang dengan menaiki bus kecil tayo, harus ditemani dengah hujan lebat dan tidur di sepanjang jalan, tapi untuk temanku. Aku yang duduk di bawah susah tidur, tepat di lantai bus, memang nasib. Tapi asik kok, jadi pas ada sesuatu, aku bisa lihat. Terutama ekspresi tidur semua kawanku, sangat mengundang gelak tawa. Aku yang tak punya HP secanggih mereka pun hanya tertunduk. Menikmati tiap yang kami lalui. Dan ketika bus kami melakukan rem mendadak, temanku terbangun semua.

"Aduh, ada apa ini?"

Q : "Gak papa, tidur lagi aja, masih jauh kok."

"Zzzzzz,"

Begitu mudahnya dia tertidur lagi. Aku hanya ditemani hujan yang menyapa bergantian. Tak pernah berhenti di sepanjang jalan. Kadang juga mengganas, dan melunak tak beraturan.

Sesampainya di sekolah, aku pulang dan akhirnya tertidur. Hal yang paling tidak kusuka adalah besok harus berangkat sekolah, sungguh nasib.

Sesuai dengan perkiraanku, hanya segelintir anak yang berangkat sekolah, sekitar 14 dari 34 siswa yang berangkat. Ya kelihatan miris si sebenernya, tapi mending lah, daripada kelas yang lain. Ada yang mengirimkan pemain inti mereka, dan itu pun ada yang sudah di kartu merah dua, sisalah 9 anak saja.

Begitulah hari itu, berlalu dengan begitu cepat. Dan terasa sunyi, karena banyak yang tak memberi kabar.

Jangan-jangan kalian juga pernah mengalaminya?

Jangan ditiru, karena sesungguhnya aku pun akan merindukan zaman di mana semua itu menjadi nyata, bukan sebatas ingatan yang tak mampu dilihat mata.

Kehidupan sekolah yang flat, datar, dan flat, dan datar. Tapi cukup berliku jika di bahas dalam sudut pandang para pecinta tugas, begitu mantap dan sedap. LKS IPS hanya berjumlah 4 buah di satu semester, apakah itu baru hidangan pembuka?

Belum lagi pelajaran fisika dengan segala molekul dan penalaran yang bisa dibilang aku suka. Tentang matematika, jangan dibilang deh, favoritku soalnya.

*

Ujian Kenaikan Kelas, tak begitu buruk ketika aku sendiri telah mengalaminya. Yang lebih buruk dari itu adalah ketika menjelang ujian. Di mana setiap kepala haruslah bros dan itu harus. Jika tidak ya otomatis potong di tempat ketika upacara bendera selesai. Aku adalah langganan tukang kebun SMP. Untung saja beliau punya alat potong rambut, kalau enggak kan alat potong rumput bisa jadi senjatanya. Bisa-bisa kepalaku yang hilang, tak hanya sebatas bulu halus di kepalaku ini.

Tapi, itu semua berlaku hanya untuk pria. Jika wanita, hanya disuruh memilih pakai kerudung atau berpita kucir dua, hanya itu. Tak ketinggalan kuku tangan pun menjadi korban jika sudah detik-detik ujian tiba. Tak ada yang tersisa satu pun. Begitulah SMPku, SMP tercinta yang difavoritkan banyak orang, dan terkenal disiplin.

Class meeting, aku hanya sebagai penikmat saja. Temanku yang menikmati permainan, aku yang menyaksikan. Irit tenaga juga, lumayan gak capek.

Ketika rapor hampir di bagi, tak lupa juara class meeting pun diumumkan ke seluruh siswa, hanya saja kelasku belumlah mendapat yang terbaik, paling mentok di voly putri dan basket putri. Sekolahku, cukup lengkap untuk hal lapangan olahraga, hanya kolam renang yang belum dimiliki.

Hari di mana pembagian rapor pun tiba.

Tiap orang tua mengunjungi kelas daripada anak mereka masing-masing. Sosok ibu yang pada tiap saat pengambilan raporku akhirnya tiba juga. Ibu yang selalu menyempatkan waktunya untukku. Mengambil rapor yang entah apa dan bagaimana hasilnya. Aku pun ragu dengan diriku sendiri, tapi hasil selalu mengudarakan namaku. Ya karena hanya namaku yang mampu mereka banggakan, saat itu.

Aku tak begitu berprestasi, tapi nilaiku selalu di atas rata-rata, dan masih bisa membanggakan orang tua. Naiklah sudah diriku menuju kelas 8. Dan libur pun telah tiba, aku biasa saja.

Hal pertama yang kulakukan adalah memanfaatkan hobiku, menggambar. Potret wanita yang menjadi cinta pertama, adalah yang kuabadikan di selembar kertas putih itu. Sampai sekarang pun potret itu masih menghiasi dinding rumahku. Hari libur yang begitu singkat menghadirkan rasa kurang puas di hatiku. Dan ada rasa mau nambah sendiri liburnya. Yang paling kusesali adalah berdiam diri di rumah, paling main ke rumah teman, dan masih satu desa. Karena begitulah aku, dengan latar keluarga sederhana. Orang tuaku bekerja tak kenal lelah, dan tak kenal waktu. Tak ada hari libur untuk mereka.

Dan berlanjutlah kisah ini di hari pertama diriku menginjak kelas 8. Beserta kisah asmaraku yang nantinya pun putus di tengah jalan. Setidaknya, cinta ini bukan sekadar cinta monyet, dan ada sesuatu yang berbeda dari kisah ini.

**

Hari pertama di semester ke-3, kelas 8A adalah tempatku. Mencari tempat duduk adalah hal yang begitu wajar bagi setiap siswa di hari pertama. Ya jelas karena mereka diacak setelah naik tingkat, dan berganti teman tentunya. Nikmatnya, aku masih di kelas yang diunggulkan di SMP. Ini semua berkat nilaiku yang cukup membanggakan itu.

Hari pertama, banyak kelas 7 yang begitu polos mengenakan seragam Putih Merah yang sudah kekecilan. Walau banyak juga anak laki-laki yang gak polos lagi, bahkan suka pecicilan. Tak sedikit juga ada yang lumayan menawan dari muka-muka polos mereka. Seorang wanita yang begitu mungil, masih mengenakan seragam kebanggaan almamater SD mereka. Walaupun kubilang mungil, wajahnya cukup dewasa untuk anak seusianya. Tapi sayang, aku belum suka padanya.

Ada upacara di hari itu, memperingati awal tahun ajaran baru. Setiap sekolah mengadakan upacara bendera, terutama yang negeri. Dan tempatku saat ini adalah SMP favorit, gengsi dong kalau gak upacara. Upacara berlangsung, setiap siswa mengikuti dengan khidmat, ya tentunya bagi mereka siswa baru. tentang kami yang senior, jangan ditanya lagi deh. Dan waktu pun berlalu begitu cepat, upacara selesai.

Perjalanan menuju kelas menjadi waktu yang tepat untuk merenung, bagiku. Timbul sedikit rasa yang begitu aneh menyelimuti hati, seakan rasa itu ingin keluar, tapi tak bisa. Aku, seorang anak polos yang suka coba-coba di masa remaja. Menjadi kakak kelas yang harus memberi contoh baik untuk adik-adiknya. Apa gak salah? Ya begitulah kenyataannya. Ada sedikit rasa bangga, karena sudah mampu menjadi kakak kelas, walau bukan yang baik.

To be continue . . .