Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?
Hanjo memegang papan kayu yang tertegak miring. Belum kokoh betul pemasangannya. Dengan memegang ujung papan yang agak runcing, Hanjo memadatkan tanah merah di bawah papan kayu. Dipukul dan ditekannya dengan cangkul besi kecil.
Sedikit lebih kokoh. Saat digoyangkan lagi, tidak banyak lagi geraknya. Belum ada tertulis apa-apa di bagian atas papan kayu itu. Hanjo meletakkan cangkul kecil seraya menggosokkan kedua telapak tangan. Membersihkan tangannya dari butiran tanah. Meski begitu telapak tangannya tetap dipenuhi tanah yang lengket dan sudah mengering.
Hanjo melirik. Tidak ada lagi orang di sekitarnya. Tinggal ia sendirian.
Hanjo memperbaiki posisi jongkok. Ia beringsut agak ke depan. Mendekat dengan papan kayu yang tertegak miring. Ia menengadahkan kedua tangan. Menundukkan kepala. Ia berdoa. Berdoa semoga Mamoi tenang di alam sana dan amal baiknya diterima Yang Maha Kuasa.
Beberapa menit kemudian, pria berusia 30 tahun itu berdiri. Benar-benar ia sendirian. Sudah terlihat kosong kawasan tersebut. Hamparan tanah dipenuhi gundukkan dan batu nisan serta beton pertanda kuburan yang terlihat. Pada bagian pinggiran lahan tampak pohon-pohon tumbuh berbaris di depan pagar tembok setinggi dua meter lebih.
Hanjo berjalan di antara kuburan yang sudah berbeton marmer menuju gerbang. Tidak kelihatan matahari. Namun Hanjo merasa panas. Badannya berkeringat. Hanjo mengeluarkan sapu tangan dan melap mukanya.
Di balik gerbang di halaman parkiran ternyata masih ramai. Sejumlah mobil belum bergerak. Hanjo membalas lambaian tangan beberapa orang. Juga menyalami beberapa orang yang mendekat mengulurkan tangan.
Sejumlah pria dan wanita muda berbaju seragam menyapa dengan anggukan kepala. Hanjo hanya menanggapi dengan lirikan. Ia tidak mengurangi langkah.
Ia baru menghentikan langkah setelah berada tepat di depan mobil berwarna hitam. Mobil rubycom keluaran terbaru. Ia berdiri kaku menunggu. Karim yang sudah stand by secepat kilat membukakan pintu mobil.
Hanjo tidak bergerak. "Ambilkan air mineral," ujarnya tanpa menoleh.
Karim berlari ke belakang mobil. Mengeluarkan botol air mineral yang besar. Bergegas lagi ia mendekati majikannya. "Ini, Pak," ujarnya menyerahkan botol.
Hanjo membersihkan tangan. Terutama telapak tangannya yang berlepotan dengan tanah.
Meski tidak disuruh, Karim mengambil sebotol lagi. Ia khawatir sebotol tidak cukup. Ditunggunya Hanjo membersihkan tangan dengan kepala tertunduk. Ternyata cukup satu botol. Bahkan tidak habis semua. Karim kembali mengambil botol yang disodorkan Hanjo dengan tangan kiri.
Saat majikannya melepaskan lipatan lengan kemeja panjang, Karim memutar ke belakang. Meletakkan botol air mineral ia lalu berlari ke depan.
"Kita pulang ke rumah, Pak?" tanya Karim setelah ia berada di depan setir. Ia memutar kepala ke samping kiri. Pria muda berbadan atletis namun sedikit gemuk yang duduk di belakang, menjawab dengan anggukan.
Hanjo menghela nafas. Ia baru saja ditinggal pergi Mami Moina, istrinya. Istrinya meninggal setelah menjalani perawatan selama dua hari di rumah sakit. Keterangan dokter, istrinya mengalami sakit gagal jantung.
Meski sudah ditanggani dokter terbaik di rumah sakit berkelas, namun nyawa Mamoi --begitu Hanjo memanggil istrinya, tidak tertolong. Hanjo tidak habis pikir juga kenapa istrinya tiba-tiba mendapatkan serangan penyakit itu. Padahal, dua bulan sebelumnya saat melakukan check up di Singapura, hasilnya clear semua. Tidak ada sakit apa-apa.
Hanjo menerima saja penjelasan dokter demikian. Ia tidak mau bertanya lebih banyak. Ia tidak mau menjelaskan kalau Mamoi masih suka minum minuman beralkohol. Padahal usianya sudah lebih 42 tahun. Dua hari sebelum dilarikan ke rumah sakit, ia ikut pesta ulang tahun rekan bisnis. Meski Hanjo tidak ikut, namun ia tahu jenis pesta macam apa yang diikuti istrinya.
Dalam pikiran Hanjo, dokter pasti tahu istrinya yang akrab dengan minuman beralkohol. Mungkin saja mereka segan membicarakan. Atau bisa jadi pula penyakit yang dialami istrinya tidak berhubungan dengan miniuman alkohol. Apa pun itu, Hanjo lebih suka karena dokter tidak bertanya banyak.
Hanya Lucya dan Melina yang bertanya banyak tentang kematian Mami mereka. Bukan kepada Hanjo. Melainkan kepada dokter di rumah sakit. Dan kepada Bik Sumi, Parman dan Karim yang tinggal di rumah.
Semenjak menjadi suami Mamoi lima tahun lalu, hubungan Hanjo dengan kedua anak tirinya itu memang tidak harmonis. Bukan sering terlibat pertengkaran. Mereka malah lebih banyak saling diam. Diam seperti api dalam sekam. Panas dan bergejolak di dalam.
Jarak mungkin juga menjadi penyebab pertikaian mereka tidak tampak ke permukaan. Lucya selaku anak tertua tinggal di Surabaya bersama suami dan anak-anaknya. Sementara Melina yang belum berkeluarga dan masih single tinggal di Batam. Jadi, mereka memang tidak berjumpa setiap saat. Paling banyak tiga hingga lima kali dalam setahun.
Namun semenjak kedatangan Lucya dan Melina bersama suami mereka sehari sebelum Mamoi meninggal, Hanjo merasakan hawa panas tatkala berjumpa. Ia sudah berusaha menekan hati untuk mencoba bersikap baik. Namun keduanya seakan tidak melihat keberadaan Hanjo selaku suami Mami mereka. Suami ketiga menggantikan posisi Papi mereka sebagai suami pertama dan seorang pria yang tidak dikenalnya sebagai suami kedua.
Bagi Hanjo tidak masalah pula sikap anak-anak Mamoi itu. Baginya yang penting Mamoi masih memerlukan dirinya sebagai pria yang mampu memberikan keinginan yang diharapkannya. Dan keinginannya sebagai CEO grup perusahaan Moyona Corp disetujui Mamoi sebagai salah persyaratan yang diajukannya.
Biarlah anjing mengonggong, asal tidak menggigit, begitu prinsip yang dipakai Hanjo.
Dan Hanjo tetap tidak peduli dengan gonggongan yang kembali terdengar ketika ia masuk rumah. Ia hanya menoleh sekilas seraya memberikan sedikit anggukan. Hanjo menarik-menarik ujung kancing baju seakan memberikan kode kepanasan dan ingin mandi. Ia melebarkan langkah menuju tangga ke lantai dua.
Berada dalam kamar, Hanjo melepas baju dan celana. Menuju kamar mandi. Namun di ujung pintu ia berbelok ke kanan. Ia meloncat ke atas spring bed. Lebih baik tidur sebelum membersihkan badan, desisnya.
Tapi sekarang Mamoi sudah meninggal. Tidakkah posisinya akan terancam? Sebab tidak ada lagi orang yang memerlukan dirinya. Sudah tidak ada lagi ikatan yang mengikat dirinya sebagai seorang suami. Menjadi pemikiran juga bagi Hanjo.
Hanjo adalah pria berpenampilan macho. Rauh wajahnya dengan dinilai di atas rata-rata. Meski lahir dan besar di Bandung, tapi ia blasteran juga. Kakeknya adalah warga Perancis. Tidak heran bila kulit dan raut wajahnya mengikuti kakeknya itu. Juga jambang yang cepat tumbuh di rahangnya.
Sempat kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Fakultas Ekonomi. Tapi hanya sampai tahun ketiga. Ia kencantol dengan Moina, janda kaya punya banyak perusahaan. Kemudian ia memutuskan menikahi wanita berusia belasan tahun di atasnya itu. Meninggalkan kuliah, fokus ke usaha. Hingga ia menjabat CEO pada tahun kedua pernikahannya dengan Moina.