webnovel

Taruhan Miliaran

Sepanjang perjalanan usai ujian hari pertama berakhir, Baron tak henti-hentinya mengucap sumpah serapah pada dirinya sendiri dan Vero. Sesekali Baron menjitak kepala temannya itu, pada akhirnya dia menghentikannya sendiri karena merasa kasihan. Bukan apa-apa, teori Vero untuk membangunkannya membuat harga dirinya turun drastis.

"Sekali lagi lo jadi mak combrang, gue kick lo dari bumi!" ancam Baron.

Vero hanya diam sembari menahan tawa. Vero tahu persis bahwa Baron anti cewek. Dia juga sengaja membuat Baron jatuh ke dalam pelukan Agnes —sengaja, dia ingin membuat Baron salah tingkah.

Baron menyeka keringat pada dahinya. Memarahi Vero ternyata menguras tenaganya. Dia harus menghemat tenaga untuk persiapan balapan nanti malam.

"Apa?" Baron kembali mendelik ke arah Vero. "Mau jitakan lagi?"

"Iya-iya, sorry. Lo kalau marah-marah gitu ketahuan salting tahu habis dipeluk sama Agnes. Lo pasti deg-degan, 'kan?"

Pletak!

Satu jitakan kembali mendarat mulus pada pucuk kepala Vero. Sang empu meringis—jitakan Baron benar-benar akan membuat kepalanya setengah bonyok.

"Sakit, Ron!" desisnya. Dia mengusap-usap kepalanya sendiri seraya meringis pelan.

"Makanya!"

Kedua lelaki itu pergi menuju kantin yang situasinya hampir seperti pasar. Ada yang sedang cash on delivery, ada yang bergosip, ada yang sedang joget-joget tidak jelas, dan bahkan ada yang bernegosiasi dengan penjual kantin.

"Sinting," desis Baron ketika melihat para mahasiswa maupun mahasiswi berjoget tak jelas di depan kamera disertai alunan music DJ yang hampir membakar telinga.

Dia mengalihkan pandangan ke arah Vero yang juga memperhatikan mereka yang berjoget dengan raut wajah aneh. Dia pun melayangkan pertanyaan, "Apa? Lo mau gabung sama mereka?"

"Hii, nggak!" Vero bergidik ngeri. "Itu gue lihat Agnes yang makin hari makin cantik," sambungnya. "Ah, gue jadi nyesel udah bikin lo dipeluk dia tadi."

Baron ikut melihat Agnes yang sedang mencari tempat duduk sembari membawa sebuah kotak bekal di kantin bersama Grace dan Qila. Entah mengapa, Baron memang merasa Agnes berubah—bukan seperti dia yang dulu sering membuat onar di kampus.

"Gimana, Ron? Buat gue aja ya?" tanya Vero sekali lagi.

"Terserah!" jawab Baron asal-asalan.

Ada sesuatu yang hilang. Baron merasa sesuatu itu kini telah dianggapnya. Agnes—gadis yang dulu sering bergelayut manja, sering membuatkannya bekal makanan, sering mencari perhatian padanya, kini bahkan tak memandangnya sekali pun. Lihat saja tadi, Agnes bahkan tidak bahagia ketika dia memeluknya.

Mungkin memang inilah jalan yang diinginkan Baron. Tidak terikat dengan wanita manapun.

Untuk saat ini.

~~~

Sore ini Baron memutuskan untuk tidak kembali ke hotel lebih dulu. Dia ingin tidur di perpustakaan, sembari menunggu berjalannya waktu untuk persiapan balapan malam ini. Tenaganya telah habis terkuras karena memarahi si kutu kupret, Vero. Dia harus segera mengisinya sekarang.

Hanya ada seorang penjaga perpustakaan saat ini. Dia bernapas lega, lantas mencari tempat yang pas untuk dijadikannya tempat tidur.

"Kosong semua. Tidur di manapun kayaknya it's oke," gumamnya pelan.

Saat dia menemukan tempat yang pas, di sana terdapat sosok perempuan yang berdiri membelakangi sembari membaca sebuah buku yang cukup tebal. Dari penampilan, dia tahu bahwa ini adalah pakaian yang dipakai Agnes hari ini. Baron ingin menghindar, namun itu bukanlah sifatnya sama sekali.

"Minggir. Gue mau tidur di sini," usir nya begitu saja membuat Ariana memutar badan. Ariana terkejut melihat adanya kantung hitam di pelupuk mata. Meskipun begitu, dia mampu membuat Ariana sedikit berdebar karena jarak mereka saat ini sangatlah dekat.

"Dih, a-apaan? Gue yang lebih dulu di sini, jadi lo aja yang minggir." Ariana melawan.

Kedua manik mata Baron memicing. Langkahnya terus maju—mendekat dan hampir membuat punggung Ariana bersentuhan dengan tembok bercat warna karamel.

"Lo... " Jari telunjuk Baron mengarah tepat pada wajah Ariana. Gadis itu perlahan menutup kedua mata—gugup tentu saja. "Lo coba menggertak karena gue tolak waktu itu, heh?" tanyanya angkuh. Dia masih tak beranjak dari posisi yang dekat itu.

"A-apa?"

"Cih, lo emang sama aja kayak cewek yang lain," ujar Baron lantas pergi begitu saja meninggalkan Ariana yang mematung. Apa maksud perkataan Baron? Itulah pertanyaan  yang terngiang di kepalanya.

~~~

Hujan badai mengguyur kota Jakarta, namun sebuah acara balapan masih tetap berlanjut. Entah mengapa, kaki Ariana terpijak di tanah yang sama dengan Baron. Dia ikut menyaksikan balapan itu bersama Mike, serta bersama hujan yang membasahi bajunya. Gila. Ariana bahkan tidak menyangka bahwa dirinya mau diajak Mike hujan-hujanan seperti ini.

Wanita yang mendapat julukan Grid Girl itu memakai pakaian yang terlalu ketat, sehingga bentuk badannya tercetak jelas di bawah guyuran hujan malam ini. Bukannya malah sepi, namun realita jalanan semakin ramai. Suasana semakin meriah. Ini kali pertama Ariana menyaksikan balapan secara langsung, meskipun novelnya menceritakan seorang pembalap muda.

"Apa? Ada reporter juga di sini yang meliput? Gila!" desis Ariana yang terdengar oleh Mike.

Mike tersenyum sembari menganggukkan kepala, "Mereka akan berebut berita eksklusif tentang Baron, ditambah orang tua dia mau cerai, mereka pasti akan mengulik-ulik kehidupan Baron, anak Pak Mario."

"Benar juga. Tapi... Kenapa gue nggak pernah tahu Baron muncul di televisi?"

"Dia kan bukan artis, Nes. Dia masuk berita pun karena orang tuanya," jelas Mike. "Tapi, dia kayaknya bakal jadi artis kalau besok dia menang balapan lawan Teddy."

"Teddy?" ulang Ariana.

Mike mengangguk, "Iya. Teddy Suharma, pembalap terkenal itu. Dia menantang Baron, mungkin karena ingin adu skill balap sama Baron. Dan lo tahu berapa taruhan yang dia beri? Tiga miliar!"

"Apa?!?" Ariana membulatkan kedua mata, "Serius?"

"Heem. Dia bakal diliput dan pasti ditawari banyak iklan. Orang belum jadi artis aja tawaran dia banyak banget, tapi Baron nggak mau nerima. Nyusahin aja katanya," tutur Mike.

Kalau soal itu, tentu saja Ariana tahu. Dia yang menuliskan adanya semua tawaran itu di dalam novel. Tetapi, tiga miliar ini—entahlah. Ariana belum ada inisiatif untuk membuat Baron menjadi artis sungguhan.

"Lagian lo tahu sendiri kan dia semengerikan apa kalau udah marah? Nanti kalau para crew nggak mau dengerin apa kata dia, udah buyar itu shoot-nya."

Benar apa yang dikatakan Mike. Ariana hampir lupa bahwa dia juga menciptakan Baron dengan watak yang mengerikan. Baron pernah memukuli seorang pria yang terlibat masalah dengan Mike. Pria itu hampir menuju ke ajalnya, dia hampir meninggal karena Baron terus menjajaki perutnya. Sungguh sadis.

"Gue heran banget. Dia itu orang baik atau orang jahat?" Mike bertanya-tanya sendiri. Baik jahatnya Baron, Mike tetap menyukai lelaki itu. Nalurinya terus memberontak bahwa Baron orang baik.

"Dia baik," jawab Ariana.