webnovel

Tresno : Wijaya & Cakra Series

Dunianya hitam. Kelam. Sex adalah makanan keseharian. Alkohol adalah minuman melegakan. Foya-foya adalah tabiat. Dia, Haris Wijaya, lelaki yang tak pernah merasakan rasanya hidup normal. Semua keinginannya teraih. Semua bertekuk lutut padanya. Karena dia salah satu crazyrich kota M. Namun suatu kejadian merubah segalanya. Tampolan duit yang sangat tidak elit. Dan sejak itulah malamnya bergeser, fajar menyingsing. ========== CERITA INI HANYA FANFIKSI DARI WIJAYA CAKRA BAWANG KRIUK DI FB

Deelnefire · LGBT+
Không đủ số lượng người đọc
11 Chs

0 : GLADI RESIK

Suara canda terdengar, bersamaan dengan suara kelakar yang lain. Musik masih menyala diruangan tersebut, menggema. Meninggalkan beberapa sampah kardus dan juga sampah-sampah bekas acara. Gedung yang memang digunakan untuk acara besar disebuah universitas M di kota M sedikit lebih sepi. Acara pembukaan event besar gabungan dua universitas ternama telah usai. Maka, para panitia yang terdiri dari eksekutif mahasiwa (EM) Universitas ini dan universitas depannnya itu akhirnya sampai pada penghujung acara. Olimpiade yang digagas bersama akhirnya mulai diselenggarakan!

Harapannya, tentu acara ini sukses, memberikan pundi-pundi uang yang banyak agar balik modal. Doorprize yang disediakan tidak main-main kau tahu? Universitas depan bahkan menyediakan doorprize jalan-jalan ke Amerika dengan cuma-cuma! Sekarang saja banyak yang memperbincangkan hal itu.

Sedangkan seorang lelaki berhelaian hitam yang sedikit gelombang, tak mendengarkan gosip. Memancarkan aura positif dia bersemangat sekali membantu mengumpulkan sampah, mengangkat polybag kapasitas 25 kg berisi sampah. Membawanya keluar. Berkeringat, ia mengelap bulir-bulir hasil sekresi itu dengan lengannya. Namanya Cakrawala Pangestu. Salah satu anggota EM, bagian humas. Yang sekarang sedang membantu teman-temannya bersih-bersih.

"Tenagamu kayak kuda, Cak," ketua pelaksana acara tertawa, berkelakar. Sedangkan yang dikelakar hanya tertawa kecil, kalem sekali.

Hingga kemudian seorang perempuan mendekati dirinya, tersenyum. Perempuan itu wakil ketua EM. Kakak tingkatnya yang beda setahun. "Cakra, bisa minta tolong antarkan anak perwakilan dari universitas depan? Si Jay itu ..." Tanya perempuan berambut panjang itu, sambil tersenyum. "Sekalian tolong bawain oleh-oleh sisa konsumsi sama kalender tadi ya?"

"Baik, kak," Cakra mengangguk manut, kemudian pamit pada ketupel-nya. Langsung melangkah menuju bagian konsumsi, tak lupa membawa oleh-oleh yang dimaksud. Kemudian lelaki itu mengingat-ngingat. Sepertinya tidak terlalu asing. Memori si manik cokelat itu masih mampu mengingat ciri-ciri si perwakilan yang dimaksud. Rambutnya coklat agak pirang sepertinya. Mungkin disemir? Entahlah... yang jelas, karena dia sangat mencolok, Cakra jadi mengingat lelaki itu.

Kaki Cakra melangkah, keluar dari gedung acara. Mencari-cari si perwakilan tadi. Padahal, si humas itu yakin bahwa Jay, masih ngobrol dengan ketua EM-nya saat ia tengah mengambil kotak konsumsi. Tapi sekarang lelaki itu tak ada. Hilang.

Cakra diam sejenak. Maniknya mengedar. Mencari lelaki berciri-ciri seperti dalam otaknya, berkeliling di sekitar gedung. Tidak ada. Ia masuk lagi, bertanya sana-sini. Tapi tetap tidak ada. Sudah pulang, kah? Masa sudah pulang? Entah apa yang merasukinya, kaki Cakra akhirnya menuntun. Menuju ke dekat gerbang keluar, di sana terdapat sebuah lorong yang dekat pos satpam, menuju gedung milik sastra.

Tapi hey!

Cakra menemukannya. Seorang lelaki perwakilan universitas depan. Membuat Cakra segera membuat seukir senyum, hendak menyapa. "Maaf, permi—"

"Cuk! Siapa sih yang gembok mobil gua?!"

Membuat manik cokelat itu membola. Eh?

Sementara itu, Wijaya bersungut. Bagaimana tidak? Suasana hatinya sudah membaik tadi, memikirkan bahwa dirinya akan pulang kerumah setelah acara. Tidur, di kamarnya yang at least bisa dibuat tidur dengan tenang.

Tapi yang ia dapatkan sekarang?

Ban mobilnya dikunci!

Digembok oleh entah-siapa-yang-jelas-bajingan.

Aargh! Sial! Wijaya semakin badmood.

"Kekunci ya, mas?" hingga seorang lelaki tiba-tiba berada disampingnya, melihat ban mobilnya sambil menenteng sebuah tas untuk oleh-oleh. Wijaya mendengus sebal. 'Ya iyalah kekunci!' Namun tak diutarakan, cukup dalam hati. "Kita ke satpam aja ya? Soalnya masnya sih ... parkir sembarangan."

Manik kelam itu mengernyit. Siapa sih ni orang? Mo minta duit? Apa gimana?

Wijaya menatap lelaki tak dikenal di sampingnya dengan pandangan heran. Lalu berusaha menahan lidahnya yang siap melempar kata pedas, akhirnya dia berkomentar, "Ngapain emangnya?" adalah jawaban dari bibirnya.

Sedangkan Cakra, hanya menatap Wijaya, lalu tertawa kecil. "Ini masnya parkir sembarangan. Makanya mari kita ke satpam, terus minta maaf," lelaki itu menjelaskan dengan sabar. Lalu menatap Wijaya.

Yang bersangkutan akhirnya mengangguk. Mengikuti langkah orang didepannya yang menuju sebuah kantor satpam yang tak jauh dari situ. Dan disana, Wijaya langsung saja kena semprot bapak satpam yang sudah tua. Tepat ketika si panitia kampus ini menjelaskan yang terjadi. Dan terjadilah negosiasi rumit bin panjang. Dimana Cakra berusaha membela si lelaki tamu ini. Menjelaskan bahwa Wijaya bukan mahasiswa di sini. Jadi tidak tahu tentang peraturan parkir.

Sedangkan yang punya mobil, malah duduk berleha-leha. Memandangi kedua orang didepannya yang tengah beradu argumen. Meskipun si lelaki berhelaian hitam sebayanya itu tampak kalem, mengutarakan alasan dengan tenang.

Sebenarnya Wijaya ingin-ingin saja langsung melemparkan uang ke meja. Menyogok si bapak satpam. Tapi ia masih ingin melihat ini lebih jauh lagi. Hingga beberapa menit berlalu, si satpam mengalah. Menghela napas panjang, memberikan kunci untuk membuka gembok. Cakra tersenyum senang, berterima kasih banyak-banyak.

"Ayo, eh ... siapa namamu?" Cakra bertanya, tersenyum sambil melangkahkan kakinya menuju mobil mewah.

"... Haris Wijaya. Biasa dipanggil Jay," dibalas singkat oleh si manik hitam. Dia memandang Cakra menelisik kemudian, "lu?"

"Cakra," sembari tangannya membuka kunci gembok mobil, Cakra menjawab. "Cakrawala Pangestu,"

Cakrawala Pangestu, huh?

"Nah, sudah bisa dibuka, nih. Jadi Wijaya bisa pulang," Cakra tersenyum, mengelap keringatnya. Kemudian ia teringat sesuatu, hendak mengambil oleh-oleh yang sudah diamanati padanya. Sebelum—

"Thanks ya udah bantuin," sebelum Wijaya mengulurkan 5 lembar uang dengan nilai tertinggi. Membuat Cakra melongo. "Nih, dari gue. Buat beli permen," katanya santai kemudian.

Sontak membuat si manik cokelat terkejut, menolak sodoran uang dari sang Wijaya. "Tidak, tidak perlu Wijaya. Aku tidak butuh."

"Haha ..." malah dijawab dengan suara tawa meremehkan, Wijaya mengeluarkan isi dompetnya lagi. Mengambil 5 lembar lagi. "Tau banget lu cara minta duit," desisnya sambil memasang tampang cepet-terima-gua-mo-balik.

Yang membuat telinga lelaki didepannya memanas. HA?! "Sudah kubilang. Aku. Tidak. Butuh!" dengan nada suara yang sedikit naik, Cakra merasa harga dirinya terusik.

Dan dibalas dengan seringai Wijaya. Menambah 10 lembar lagi. Lalu, menarik salah satu tangan Cakra. Memberikan 20 lembar uang merah-merah itu. "Nih, masa ga cukup sih?"

Hilang. Hilang sudah batas kesabaran Cakra. Hingga— PLAAKK! Tangan Cakra menampar pipi lelaki kurang-ajar-tidak-tahu-diri didepannya dengan uang yang baru saja diberi. Tamparan itu mendarat dengan mulus, dan keras tentu saja.

"Ra butuh duitmu aku! Bajingan kowe! (Aku nggak butuh uangmu! Bajingan!)" cecar Cakra kemudian, membuat manik Jay yang membelalak, memandang wajah itu memerah. Menahan marah. Dan juga mata Cakra yang berkilat, seperti hendak mengajak Wijaya beradu pukul.

Tapi jelas. Cakra merasa harga dirinya terinjak. Yang kemudian tas jinjing itu ia dorongkan pada dada Wijaya dengan keras. "Nih! Souvenir dari kami. Terima kasih banyak atas semua bantuan anda."

Kemudian dia melenggang pergi, lelaki bernama Cakrawala Pangestu itu.

Meninggalkan Wijaya yang terhenyak di tempatnya, memandangi punggung menjauh di sana penuh makna.

Sebelum dia menyeringai tipis, heh, ada yang menolak duit nya huh? Menarik.

Dan dimulai dari inilah, seorang Haris Wijaya Antaresa, mulai memperhatikan lelaki universitas depan, seorang Cakrawala Pangestu.

Awalnya hanya karena penasaran. Namun lambat laun ada ketertarikan tersendiri. Cakra ... bukan semut yang menyukai kemanisan maninya untuk segepok uang. Cakra ... bukan manusia murah yang akan ngangkang hanya demi duit jutaan.

Hal yang membuat Wijaya memutuskan untuk mendekati lelaki ini. Terus mendekat. Terus ...

Terus menjerat Cakra dengan 1001 kelicikannya.

Hingga pada masanya, dengan langkah penuh keyakinan dan file di tangan, Wijaya bergerak mantap menghampiri lelaki yang menarik perhatiannya itu. Lalu tanpa ketuk, dia menyelonong masuk ke dalam sebuah ruangan, mengagetkan orang yang tengah serius dengan tumpukan kertas di dalam ruangan.

"... apa kamu tidak diajarkan tata krama, Wijaya?" adalah apa yang diucapkan Cakra dengan wajah tak suka setelah mendengus berat hati. Jengah terlukis jelas di mukanya. Sedangkan yang disindir, hanya tersenyum lebar, sebelum bergerak mendekat tanpa berbicara. Dia meletakkan selembar kertas di meja Cakra kemudian.

"Olimpiade ini kami yang menang, Cak," kata Wijaya sembari menunjukkan score di masing-masing pertandingan yang diselenggarakan dua universitas besar ini. Cakra mengerutkan kening membacanya sebelum mengangkat satu alis, mendongak ke arah Wijaya denga wajah, 'ya terus?'

Pandangan yang membuat Wijaya menarik sebuah senyum miring. Dia kemudian menggeser lembar pertama ke samping, menunjukkan sebuah lembar lain dengan judul: Surat Pernyataan Kesanggupan.

Lembar yang seketika membuat sang Cakrawala tercekat.

Di surat itu tertuliskan kesanggupan Cakrawala Pangestu untuk menjadi kekasih dari Haris Wijaya Antaresa jika Universitas M mengalami kekalahan dalam pertandingan olimpiade yang diselenggarakan pada 25 Juni 2018 hingga 20 Juli 2018. Lalu di bawah surat ini terdapat nama dilengkapi tanda tangannya melengkung di atas materai 6000.

"Kamu ..." tak kuasa berkata, lelaki bersurai hitam itu memandang Wijaya tak percaya. Astaga, kapan dia menandatangani itu?!

Olimpiade kali ini universitasmu yang kalah," Wijaya berkata, pelan dengan penuh penekanan. "Kamu tahu apa artinya itu, Cakrawala Pangestu," lanjutnya seraya memandang lurus mata coklat pria di hadapannya. Dia kemudian menyondongkan tubuhnya, memperdalam pandangan, mengintimidasi telak lelaki di hadapannya. Sampaikan pesan: jadi pacar gua, atau lu nongkrong di penjara —yang jelas bukan pilihan.

Wijaya tahu ini.

Dia menang.

"Tenang," Wijaya berbisik, makin mendekat. "Aku akan tulus mencintaimu, sayang," lanjutnya seraya menangkup wajah Cakra dan mendaratkan ciuman di bibir tipis yang membeku

Dan sejak saat itulah ... Dua kandidat ketua Eksekutif Mahasiswa kampus yang sangat berpengaruh di kota M, menjalin hubungan.

Terpaksa? Tentu.

Wijaya akan memaksa Cakra jatuh cinta padanya. Entah berapa lama yang dibutuhkan. Wijaya akan memaksanya. Menghujani Cakra dengan afeksi dan kasih sayang, tanpa menyerah. Lagipula dia punya segalanya. Ia punya tampang, punya otak, harta. Segalanya.

Wijaya optimis, dan percaya akan berhasil. Seperti menanam apel di gurun sahara. Tentu saja mungkin.

Sama seperti cinta.

Karena cinta dapat dipaksakan.

[]

Like it ? Add to library!

Deelnefirecreators' thoughts