webnovel

Ayo Pacaran!

Gibran melajukan mobilnya, sesekali ia melirik ke arah Andini. Andini terlihat duduk dengan tidak nyaman, sejak awal dia sudah menolak tawaran Gibran untuk mengantarnya pulang. Tapi Gibran terus berkeras.

"Kau tidak perlu datang kerumah besok." Suara Gibran memecah keheningan didalam mobil.

"Apa? Memangnya kenapa? Aku harus membuatmu paham dengan materi tadi. Kau tidak berniat membuatku berlama-lama menjadi guru lesmu kan?" Tanya Andini curiga, ia memicingkan matanya seolah memberi tekanan pada Gibran.

"Jangan menatapku seperti itu Andini." sahut Gibran dengan tatapan yang fokus kedepan, seolah tanpa menatap langsung pun Gibran bisa tau Andini tengah menatap buruk kearahnya.

Andini terlihat syok, selama ini Gibran memang tidak pernah memanggilnya dengan baik, bahkan ia selalu memanggilnya dengan sebutan pelakor. Tapi ini kali pertama ia memanggil Andini dengan sebutan nama.

"Gibran, aku ini gurumu. Bukankah sebaiknya kau mulai belajar memanggilku dengan panggilan bu Andini?" Andini terlihat marah, rasanya ia seperti tidak dihormati oleh muridnya sendiri.

"Haahh, kita bertemu bukan sebagai murid dan guru. Apa kau lupa?" sergah Gibran.

"Yah tapi tetap saja itu terdengar tidak.."

Ckiiitttt.

Gibran mengerem mobilnya tiba-tiba, membuat Andini menghentikan ucapannya dan kepalanya hampir terbentur bagian depan mobil.

"Kau sudah gila ya?"

Suara klakson menggema di sepanjang jalan, untung saja mobil dibelakang tidak sampai menabrak mobil mereka. Umpatan kasar terdengar dari pemilik kendaraan tersebut sebelum ia menyalip mobil Gibran.

"Ya sepertinya aku memang sudah gila!" Teriak Gibran terdengar frustasi, tapi sesaat kemudian ia kembali berbicara serius. "Andini aku ingin kau jadi pacarku." imbuhnya dengan nada suara tegas, ia bahkan menoleh dan langsung menatap dalam ke arah netra Andini.

Sejak tadi Gibran diam karena memikirkan banyak hal di kepalanya. Inilah alasan Gibran sebenarnya mengapa ia berkeras untuk mengantar Andini pulang. Andini tercengang, jantungnya berdetak tidak karuan. Permintaan konyol itu membuat Andini hampir pingsan.

"Sumpah! kau sudah benar-benar gila Gibran. Kau lupa aku ini siapa?!" Andini tampak tidak habis pikir dengan jalan pikiran Gibran.

"Aku tau kau adalah guruku, meski begitu aku akan tetap memintamu untuk menjadi pacarku." Tandasnya dengan raut penuh keyakinan.

"Kau benar-benar sudah gila." Andini berbalik dan hendak keluar dari mobil tapi dengan cepat Gibran mengunci kembali pintu.

"Sudah ku bilang ini tidak akan selesai dengan mudah dan sebagai ganti karena sudah membohongiku saat itu aku ingin kau menjadi kekasihku." Jelas Gibran seolah memberikan jawaban atas ucapannya beberapa waktu yang lalu dirumah sakit.

"Gibran kau boleh memanggilku pelakor, tapi menjadi pacarmu adalah hal terkonyol yang tidak pernah ku bayangkan." ucap Andini dengan wajah memerah antara menahan malu juga menahan amarah. "Cepat buka pintunya sekarang Gibran!" Bentak Andini.

"Tidak, aku akan mengantarmu pulang. Kau boleh memikirkannya, aku bisa memberikanmu waktu untuk berpikir." Gibran melajukan mobilnya membuat Andini tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap Gibran dengan ekspresi tidak percaya.

Gibran terlihat berbeda dari biasanya, meski ia selalu bersikap tidak ramah pada Andini karena masalah Vino dan Kiran yang juga menyeretnya tapi Gibran tidak pernah segelisah dan seserius ini saat berbicara dengan Andini.

Bahkan sejak awal kedatangan Andini dirumahnya sore tadi ia seolah terus saja mencari masalah dengan Andini. Andini semakin bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di pikiran bocah ini. Tiba-tiba sikapnya berubah sedingin es, lalu kemudian ia meminta Andini untuk menjadi pacarnya.

Jantung Andini berdegup kencang sepanjang perjalanan, wajahnya memerah. Ia sepertinya begitu syok mendengar permintaan Gibran. Membayangkan berpacaran dengan pria yang jauh dibawa usianya saja sudah membuat Andini bergidik ngeri, apalagi ditambah jika dia adalah siswa yang seharusnya diajar olehnya disekolah dan bukan justru malah dipacari.

Andini seolah tidak berani menatap wajah Gibran, ia seperti perempuan yang malu menghadapi pria yang baru saja menyatakan cinta padanya.

"Sadarlah Andini, dia hanya muridmu. Dia pasti punya rencana buruk kepadamu." Batin Andini mencoba merasionalkan pikirannya sendiri.

Ditengah-tengah kegusarannya, lagi-lagi Gibran mengerem mobilnya secara mendadak.

"Ohh tidak, kali ini apalagi Gibran?" tanya Andini marah. Ia memberanikan diri melihat wajah Gibran. Tiba-tiba bayangan Gibran saat menunjukan tubuhnya yang atletis setelah berenang tadi muncul kembali dipikiran Andini, bahkan Andini kini bisa melihat betapa tampan wajah muridnya ini.

Sejurus kemudian Andini langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, ia bahkan menepuk-nepuk kepalanya sendiri seolah apa yang baru saja dipikirkannya adalah sebuah kesalahan.

"Sadarlah Andini!" teriaknya dalam hati.

Gibran menatap tajam ke arah sosok yang berdiri di depan rumah Andini, seorang pria yang dikenalinya dengan sangat baik. Dari raut wajah Gibran yang tidak senang, sepertinya sudah jelas siapa sosok itu. Andini melihat Gibran yang tidak berhenti menatap kedepan, secara spontan Andini ikut menatap ke arah tatapan Gibran tertuju.

"Dimas?" Andini spontan menyebut nama Dimas, seolah terkejut melihat keberadaan Dimas malam ini didepan rumahnya.

"Sebenarnya kau ada hubungan apa dengan dokter itu?" tanya Gibran dengan raut wajah kesal. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya pada Dimas.

"Bukan urusanmu!" Andini langsung membuka pintu mobil, tapi kemudian Gibran menahan tangan Andini.

"Aku akan menunggu jawabanmu, kau harus memikirkannya Andini." jelas Gibran dengan sorot mata penuh keseriusan, Andini tertegun melihat tatapannya, bagaimana bisa seorang anak SMA memberikan tatapan serius bak pria dewasa seperti itu kepadanya.

Tanpa berkata apa-apa Andini menarik tangannya dari genggaman Gibran, ia langsung keluar dari mobil bahkan tanpa mengucapkan Terimakasih.

Dimas melihat Andini keluar dari mobil Gibran, ia bisa melihat bayangan Gibran dari kaca depan mobil. Gibran menatap Dimas dengan dingin dan tajam, begitu pula dengan Dimas yang menatap tidak senang ke arah Gibran. Ditambah Andini yang terlihat turun dari mobil Gibran membuat Dimas semakin panas saja.

"Cihhh, coba lihat tatapan bocah itu. Ingin rasanya ku tonjok saja wajah tengilnya." gumam Dimas pelan, ia menahan emosinya terhadap Gibran. Dengan cepat ia berlari ke arah Andini.

"Andini kau dari mana saja, aku datang untuk menemui..."

"Maaf Dimas, aku benar-benar lelah hari ini, sebaiknya kau pulang saja." kata Andini dengan suara pelan, ia bahkan tidak melihat ke arah Dimas sedikitpun. Andini langsung berjalan melewati Dimas begitu saja.

Dimas terlihat kaget, tidak biasanya Andini terlihat semurung itu. Ia bahkan bisa merasakan mood Andini yang sedang buruk, itu sebabnya dia tidak menahan Andini saat itu. Sedetik kemudian tatapan Dimas beralih ke arah Gibran yang masih memperhatikannya dari dalam mobil.

Saat Dimas akan berjalan mendekatinya, Gibran langsung memutar mobilnya dan berlalu pergi meninggalkan Dimas yang kini diliputi ribuan tanda tanya dalam pikirannya. Dimas lalu berbalik ke arah Andini yang kini sudah menutup pintunya tanpa mengucapkan apapun kepadanya.

"Sebenarnya ada hubungan apa antara kau dengan anak itu Andini?" gumam Dimas dengan tatapan sedih, ia merasa tidak senang dengan kedekatan Andini dan Gibran.

Gibran melajukan mobilnya dengan kencang, sejak tadi ia mencoba terlihat tetap tenang. Tapi sesaat kemudian ia menepikan mobilnya. Ia langsung menyandarkan tubuhnya dan menarik napas dalam. Tampak dia mencoba merilekskan tubuhnya yang terasa tegang sejak tadi.

"Aahh, sudah cukuuupp! ayo tenanglah." ucap Gibran sembari menepuk-nepuk dadanya yang sejak tadi terus berdegup kencang. Debarannya bahkan membuat Gibran bisa mendengar suaranya, untung saja Andini tidak mendengar suara debaran jantung Gibran.

Sejak awal jantungnya sudah tidak normal karena memikirkan bagaimana caranya mengatakan kepada Andini tentang niatnya untuk meminta Andini menjadi kekasihnya. Dan saat berhasil mengatakannya jantung Gibran semakin tidak terkendali. Untung saja ia mampu menutupi kegugupannya sehingga tetap bisa bersikap tenang dan cool didepan Andini.

"Oke! ini adalah keputusan yang tepat Gibran! Sekarang ayo kita menunggu jawaban darinya." gumam Gibran seolah tengah berbincang dengan dirinya sendiri, semakin memikirkan jawaban Andini semakin membuat perasaan Gibran tidak karuan malam itu.