webnovel

Siapa Aku?

[Kau sudah lihat pengumuman hasil ujian kemarin?]

Emma yang baru tiba di kelasnya mengerutkan kening membaca SMS dari Haoran. Ia tidak tahu kalau nilai-nilai ujian minggu lalu sudah diumumkan.

[Belum. Bagaimana hasilnya?]

Haoran mengirim emoticon menangis dan seketika dada Emma terasa sesak.

Gagal?

Ia tidak tahu apakah kegagalan Haoran dan teman-temannya mendapatkan nilai bagus membuatnya sedih karena merasa dirinya bukan guru les yang baik...

Atau kenyataan bahwa ia dan Haoran tidak akan jadi berkencan di Paris karena pemuda itu tidak bisa menyamai nilai-nilai murid kelas 2A.

Ia menatap ponselnya beberapa lama, berusaha memikirkan balasan yang tepat.

[Aku....]

Belum sempat ia menuliskan SMS balasan, terdengar jeritan suara Mary dari pintu kelas. Gadis itu berlari masuk sambil menarik tangan Nadya dan melompat-lompat kegirangan.

"Ya ampuuun... ya ampun... aku senang sekali!! Ya Tuhan... sudah kubilang, Haoran itu sebenarnya pintar.. Kau tidak percaya kepadaku," cetusnya kepada Nadya berkali-kali. Wajah Mary dipenuhi kegembiraan yang berlimpah, seolah ia baru menelan ekstasi.

"Uhm.. ada apa?" tanya Emma keheranan.

Nadya menoleh ke arahnya dengan pandangan tidak percaya. "Emma... kau tidak akan percaya ini. Anak kelas 2F itu.. Haoran nilainya masuk ke 30 besar..."

Emma mengerutkan keningnya. "Aku.. tidak mengerti..."

Mary menghampirinya dan mengguncang bahunya dengan penuh semangat. "Aku sudah bilang, kan? Haoran itu sebenarnya pintar. Akhirnya kali ini ia tidak lagi mengosongkan lembar ujiannya. Nilai-nilai ujian kemarin sudah keluar dan total nilainya ada di ranking 25!!"

Emma menggeleng-gelengkan kepala. Ia hendak menunjukkan SMS dari Haoran berisi emoticon menangis barusan, tetapi untunglah ia segera ingat bahwa ia tidak ingin Mary tahu ia mengenal Haoran dengan baik.

"Oh..." Tiba-tiba ia menatap curiga pada ponselnya.

"Oh, ya nilaimu ada di ranking 1. Kau sangat hebat! Kami bangga padamu," cetus Nadya. "Ada sangat banyak kejutan di semester ini."

"Terima kasih." Emma mengangguk. Baginya, soal-soal ujian yang lalu terasa sangat mudah. IQ-nya lebih cocok untuk mengerjakan soal-soal perguruan tinggi.

Ia lalu membalas SMS Haoran untuk mendapatkan konfirmasi.

[Nilaimu masuk ranking 25. Kenapa kau menipuku dengan mengirim emoticon menangis?] omelnya lewat SMS.

[Aku tidak menipumu. Itu adalah air mata kebahagiaan.] balas Haoran.

Emma tertegun membaca balasan pemuda itu. Astaga... Haoran tadi hampir membuatnya sakit jantung.

Pelan-pelan bibirnya menyunggingkan senyum.

[Aku mau hadiahku. Di Paris.] Haoran mengirim SMS lagi.

Kali ini Emma membalasnya dengan emoticon menangis juga dan membiarkan Haoran menduga-duga apa maksudnya.

***

SMS itu adalah hal terakhir yang diingat Emma. Hal berikutnya yang dia tahu ... dia telah duduk di atas Menara Eiffel, tanpa ingat bagaimana dia sampai di sana.

Apakah ini mimpi?

Gadis itu mencubit dirinya sendiri dan menggelengkan kepalanya dalam kebingungan. Tangannya terasa sakit karena dicubit.

Apa yang baru saja terjadi? Kenapa aku di sini? Bukankah aku di Singapura dan membalas SMS Haoran?

"Aaaaaaaaaaaaaahhh ...." Emma menjerit ketika menyadari ini bukan mimpi.

Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...

Emma bisa mengenali kota Paris entah bagaimana dari sungai Seine yang mengalir membelah kota, dan beberapa landmark seperti Basilika Sacre Coeur, Gereja Notredame yang sudah dibangun kembali, dan museum The Louvre.

"Akhirnya aku kembali ke Paris... Sudah sangat lama aku ingin pulang," bisiknya pada dirinya sendiri. Ketika dia ingat betapa selama belasan tahun ia bermimpi ingin pergi ke Paris, tiba-tiba terbangun di kota yang indah ini membuat jiwanya tersentuh.

Perlahan ... Emma merasakan angin menyentuh wajahnya. Perasaan hangat memenuhi dadanya. Pemandangan dari atas sini sungguh menakjubkan, pikirnya.

Tapi...

Bagaimana aku bisa ada di sini?

Kesadaran itu datang kepada Emma beberapa saat kemudian. Manusia normal seharusnya tidak bisa tahu-tahu berada di puncak Menara Eiffel seperti ini, kan?

Apakah aku bukan manusia normal? Apakah itu sebabnya orang tuaku meninggalkanku di panti asuhan?

Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.

Siapa aku?

"Aaaaaaaaaaaahhh ...." Emma berteriak dengan sekuat tenaga untuk meluapkan perasaan frustrasinya. Kali ini, ia melampiaskan kerinduannya yang tersimpan di hatinya selama tiga belas tahun.

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap karena Paris dilingkupi kegelapan total akibat mati lampu terburuk yang pernah dialami kota ini di abad ke-21.

Emma sangat terkejut dengan apa yang terjadi sehingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dari menara.

"Haoraaannn .... !!!" Gadis itu memejamkan mata dan menjerit saat mengira kematiannya akan segera tiba. Di saat yang demikian mengerikan, nama Haoran adalah satu-satunya hal yang dapat dia ingat.

Namun, ternyata kematian yang ia harapkan tidak pernah datang, karena tubuh Emma tiba-tiba naik ke langit, lebih tinggi .. dan semakin tinggi.. hingga melewati Menara Eiffel.

Dirinya baru menyadari kalau ia bisa terbang.

"Ibu .. ayah ...," bisiknya. "Siapa aku? Kenapa aku memiliki semua kemampuan ini ...? Mengapa kalian meninggalkanku?"

Pikiran cerdasnya tiba-tiba berpikir dan mengambil kesimpulan ketika kenangan-demi kenangan datang dengan cepat dan menyapu pikirannya seperti banjir.

Arreya Stardust memang membaca pikiran suaminya. Sekarang Emma ingat mengapa ayahnya tidak pernah banyak bicara. Kaoshin tidak perlu melakukannya.

Emma ingat karena ... dia sekarang sendiri mendengar ratusan pikiran dari sana. Itu sangat berisik.

Orang-orang mengeluh tentang pemadaman listrik dan mengutuk pemerintah.

Entah bagaimana dia tahu .. pemadaman itu terjadi karena dirinya.

"Maafkan aku ...," bisiknya. "Aku tadi hanya kesal ..."

.