webnovel

Berjalan Dalam Tidur

Saat hatinya diliputi rasa bersalah, Emma secara alami menggerakkan tubuhnya dan melayang kembali ke puncak Menara Eiffel.

Kota Paris yang indah kini tidak lagi terlihat, hanya ada kegelapan yang melingkupi sekelilingnya, dan oh... begitu banyak suara yang masuk.

Sekilas pandangannya menyapu ke angkasa dan Emma pun tertegun. Kini, dengan gelapnya seisi kota, dan tidak ada radiasi cahaya dari bumi yang menghalangi orang untuk melihat angkasa malam yang indah, dipenuhi bintang-bintang.

Entah kenapa, Emma dilingkupi perasaan syahdu ketika matanya memperhatikan angkasa.

Sayangnya, suasana khimad itu tidak berlangsung lama. Satu persatu bangunan di Paris mulai tampak diliputi cahaya. Hampir semua gedung besar memiliki generator sendiri untuk situasi darurat seperti ini.

Setelah perasaannya mulai tenang, Emma kemudian mengeluarkan ponselnya dan berusaha menghubungi Haoran. Ia harus menemui pemuda itu dan mencari tahu apa yang terjadi.

Untunglah menara telekomunikasi juga sudah dilengkapi dengan generator yang menyala beberapa menit setelah mati lampu. Ia melihat pelan-pelan ponselnya menunjukkan tanda bersinyal.

Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Kalender di bagian kiri layar menuliskan tanggal 21 Juni 2056. Ia telah kehilangan waktu dua hari.

"Selamat ulang tahun, Emma..." bisik gadis itu kepada dirinya sendiri. Ia mengingat ulang tahunnya, karena ibunya selalu mengatakan ia adalah bayi hadiah pertama musim panas bagi Arreya dan Kaoshin.

[Haoran... apakah kau masih bangun? Ternyata aku tidur berjalan dan sekarang lupa jalan pulang.. dan aku lupa nama hotel tempat kita menginap. Apakah kau bisa memberitahuku?]

Kalau Haoran sudah tertidur dan tidak membalas SMS-nya, Emma akan menunggu di sini sampai pagi tiba.

Hati Emma merasa bergetar ketika satu menit kemudian masuk SMS balasan dari Haoran.

[Kirim lokasimu sekarang, aku akan menjemputmu.]

Gadis itu menatap ponselnya dengan pandangan kaget. Haoran belum tidur... dan malah menawarkan diri menjemputnya!

[Tidak apa-apa, kok. Aku bisa naik taksi. Aku hanya perlu nama hotel kita.]

Begitu ia memencet tombol KIRIM, tiba-tiba Haoran sudah meneleponnya.

"Stardust, ini sudah tengah malam. Tidak aman buat anak perempuan berkeliaran sendirian. Cepat kirim lokasimu, aku sudah di lobi dan hampir naik taksi!"

Saat Emma mendengar suara Haoran di telepon, tiba-tiba saja semua suara ribut di sekitarnya menghilang... seolah tidak ada satu suara pun di dunia ini yang berarti bagi Emma selain suara pemuda itu.

"A... aku ada di Menara Eiffel.." jawab Emma terbata-bata.

"Pak, kita ke Menara Eiffel. Tolong ngebut ya, temanku dalam bahaya..." Terdengar suara Haoran bicara kepada supir taksi. "Stardust.. tunggu di situ. Aku akan segera tiba."

Mendengar kata-kata Haoran, Emma segera tersadar bahwa ia tak dapat membiarkan Haoran curiga kalau tiba-tiba melihatnya ada di ketinggian 320 meter dari permukaan tanah. Dengan cepat gadis itu melompat turun dengan gerakan indah dan mendarat di atas kedua kakinya dengan ringan.

Begitu kakinya mengindak tanah.. tiba-tiba sekilas ingatan kembali ke benak Emma.

Arreya Stardust melayang indah ke atas pohon apel di halaman rumah mereka dan memetik satu butir untuk diberikan kepada Emma, lalu mendarat lembut di atas tanah hampir seperti kapas. Kaoshin yang sedang menggendong Emma kecil tampak menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tetangga mereka tidak ada yang melihat perbuatan Arreya.

"Wajahmu yang kuatir tampak menggemaskan sekali, Jendral Kaoshin Stardust," Arreya menggoda suaminya.

-Bagaimana kalau ada orang yang melihat?- Bibir Kaoshin tidak bergerak tetapi Emma bisa mendengar suara ayahnya.

"Kalau ada yang melihat, aku akan menghilangkan ingatan mereka," jawab Arreya acuh tak acuh.

-Kau jangan menggunakan kekuatanmu untuk hal yang tidak perlu, apalagi kontrol pikiran. Kau masih lemah akibat peristiwa waktu itu.-

Emma kecil hanya menatap ayah dan ibunya bergantian. Mereka berdua tampak mesra sekali. Setiap tatapan Kaoshin pada Arreya dipenuhi dengan rasa cinta yang mendalam.

TUT

TUT

Ingatan Emma segera buyar ketika ponselnya berbunyi dan nama Haoran muncul di layar.

"Aku sudah di Trocadero. Kau ada di mana?"

"Aku ada di salah satu kaki menara."

"Baik. Diam di situ, aku segera berlari ke sana."

Emma memeluk ponselnya dengan dada diluapi perasaan hangat. Air matanya menetes perlahan-lahan, karena barusan ia berhasil mengingat wajah ayah dan ibunya. Ingatan tentang mereka muncul begitu saja dan perasaan rindunya yang demikian dalam, seakan dipuaskan oleh kehadiran wajah mereka dalam ingatannya.

Emma kini menyadari bahwa sesuatu dalam dirinya bangkit begitu usianya menginjak 17 tahun. Kekuatan dan ingatan yang selama ini tersimpan di dalam dirinya, pelan-pelan menyeruak keluar dan mengisi berbagai ruang kosong yang selama ini menggerogoti batinnya.

Ia sungguh berharap ingatan demi ingatannya akan ayah dan ibunya kembali bermunculan, agar ia dapat menemukan jawaban tentang apa yang terjadi sebenarnya di masa lalu mereka, sehingga orang tuanya memilih untuk meninggalkan Emma di panti asuhan dan di mana mereka sekarang berada.

"Stardust...! Kau di sini..." Pikiran Emma seketika tergugah oleh suara Haoran yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara pemuda itu dipenuhi kecemasan dan napasnya memburu karena ia berlari secepatnya dari Trocadero menuju menara.

Tidak lama kemudian, yang empunya suara pun tiba dan dengan terengah-engah ia menghampiri Emma dan kemudian memeluk bahunya.

"Astaga.. berjalan dalam tidur. Kau sungguh membuatku cemas," omelnya dengan nada yang dipenuhi kelegaan. Emma sangat senang mendengar suara Haoran, dan gadis itu secara spontan balas memeluk Haoran.

"Haoran... hari ini adalah ulang tahunku," bisik gadis itu. "Kau tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku?"

"Oh.. benarkah? Maaf, aku tidak tahu." Haoran melepaskan pelukannya dari Emma dan menatap gadis itu dengan penuh perhatian. "Selamat ulang tahun."

Emma mengangguk. "Terima kasih."

"Kau membuatku cemas karena aku tidak berhasil menemukanmu. Waktu mati lampu tadi, tiba-tiba terdengar keributan dari jalan. Ada omongan bahwa peristiwa mati lampu ini adalah perbuatan teroris dan semua orang disuruh segera berkumpul di lobi. Kau satu-satunya siswa yang tidak muncul." Haoran menjelaskan. "Makanya aku menjadi sangat kuatir."

"Apakah memang benar ada perbuatan teroris?" tanya Emma pura-pura penasaran. "Aku tidak tahu apa yang terjadi karena kurasa aku tidur berjalan. Aku tidak tahu mengapa aku ada di menara Eiffel ini."

"Sepertinya tidak ada. Kalau benar itu perbuatan teroris, pasti sekarang sudah ada serangan. Tetapi buktinya tidak ada apa-apa. Ini mungkin hanya mati lampu biasa, yang kebetulan sangat buruk." Haoran mengangkat bahu. "Yang jelas aku senang kau aman. Sebaiknya kita pulang sekarang. Madame Delaval dan Monsieur Thomas pasti sekarang sedang mencari kita."

Emma mengangguk. "Ayo."

Haoran menggandeng Emma dan membawanya melintasi taman di sebelah menara Eiffel menuju jalan raya dan menyetop sebuah taksi. Sepuluh menit kemudian keduanya telah berjalan memasuki lobi Hotel Nobel.

"Aku di kamar berapa?" tanya Emma saat mereka masuk ke dalam lift. Ia melihat Haoran memencet tombol nomor 10. Apakah ini berarti kamar mereka terletak di lantai yang sama?

"Malam ini kau tidur di kamarku agar aku bisa menjagamu. Aku tak bisa mengambil risiko kau kembali berjalan dalam tidur dan berkeliaran sendirian," jawab pemuda itu tegas