webnovel

Puisi Penderitaan Kekasihku

Cerita ini mempunyai latar percintaan seorang siswi SMA dan seorang siswa yang berbeda jurusan kelas. Mengambil latar belakang tahun 90'an. Percintaan ini berbeda dengan cerita percintaan modern. Dimana kisahnya lebih banyak unsur dramanya. Dimana tokoh utama wanita yang bernama Eva mempunya trauma dengan yang namannya cinta. Sedangkan tokoh wanita laki-laki yang mencintainya yang bernama David adalah seseorang yang mempunya kepala yang keras, hati yang lapang, dan pantang mundur jika ada hal yang diinginkan oleh hatinya. Cerita ini penuh konflik dan drama disetiap bab-nya. Dimana cerita dikemas dalam balutan tulisan-tulisan lembut yang mudah dibaca oleh semua orang. Hingga

ArifJmsh · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
5 Chs

Surat Undangan

HARI-HARI yang berjalan bersama sang waktu, tak urung tuk terus mendekati hari hak acara Pensi. Eva terlihat lebih ceria dari sebelum-sebelumnya. Karna kali ini kelasnya tak mendapat giliran untuk kerja bakti di sekolah. Namun meskipun seperti itu adanya, Ia harus tetap pergi ke sekolah. Karna ia tetap harus mengisi daftar kehadirannya di sekolah. Seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya oleh Kepala sekolahnya. Selama di sekitar lingkungan sekolah, ia hanya menghabiskan waktunya di ruangan perpustakaan. Membaca buku-buku kesukaannya. Dan ketika tangan dan matanya terpaku di buku puisi karya Chairil Anwar yang sedang dibacanya, tiba-tiba suara Sahabatnya muncul dari arah belakangnya. Menggodanya.

Aku adalah aku! Kamu adalah kamu! Aku dan kamu secantik ratu! Karya Elisha Hannys! seru sapa Elisha berkelakar.

"Elisha!" ujar Eva terkejut.

Elisha menarik sebuah bangku di dekat Eva. "Hai! Siang, Va!" salam Elisha sembari duduk, "bagus gak puisiku? Pasti bagus dong?" tanya Elisha sembari tersenyum.

"Iya bagus. Juara satu seanak balita, sedunia." ujar Eva berkelakar.

"Ya, ya, ya, not bad. Daripada gak dapat juara sama sekali!" ujar Elisha sembari tersenyum.

Eva tersenyum. "Lis, kok jam segini baru datang? Dari mana?" Tanya Eva.

"Aku nemenin Nyokap dulu, ke rumah sakit."

Eva terkejut. Panik. "Nyokap kamu kenapa, Lis? Sakit apa?" ujarnya. Nadanya tunjukan kepanikan. "Kamu kok jadi jahat gitu sih, Lis! Kamu gak ngasih tahu aku, kalau Nyokap kamu itu sakit!"

"Tenang Va, tenang dulu! Nyokapku gak kenapa-napa, kok. Nyokap nggak sakit apa-apa! Tapi dia mau ngasih aku adik!" tegas Elisha. Tersenyum penuh isyarat kebahagiaan.

Seketika raut wajah kepanikan Eva berubah menjadi berbinar. "Ooo, aku pikir Nyokap kamu kenapa-napa," ujar Eva lega. Tersenyum. "Kalau ceritanya kayak gitu sih, asik dong. Sebentar lagi kamu punya adik! Selamat ya, Lis! Akhirnya terwujud juga mimpi kamu."

"Ah, baru juga dua minggu. Tapi thanks ya, Va." ujar Elisha sambil tersenyum.

Eva tersenyum.

"Oh iya, hari ini kelihatannya kamu bahagia banget, Va. Ada apa? Bagi-bagi dong bahagianya!" kata Elisha.

"Iya nih, hari ini ada tiga hal yang buat aku bahagia!"

"Apa?"

"Yang pertama; hari ini aku bebas dari kerja bakti! Yang kedua; Sahabatku mau jadi seorang kakak! Dan yang ketiga; Aku bebas dari si pengganggu itu!"

"Si pengganggu? Siapa, Va?"

Ya siapa lagi, kalau bukan si Panda itu!

"Oh my God! Apa Va, kamu masih panggil dia; Panda? Dan kamu masih anggap dia pengganggu?" ujar Elisha terkejut sembari menggelengkan kepalanya.

"Ya terserahlah, lagian aku malas ngebahasnya, Lis!" ujar Eva ketus.

"Tapi Va, kamu gak bisa kayak gitu dong. Dia kan bukan pengganggu! Aku lihat, dia tulus suka sama kamu!"

"Elisha Hannys sahabatku yang cantik, please dech, kayaknya gak penting deh untuk dibahas lagi!" ujar Eva dengan wajah yang masam.

"Iya, iya deh, sorry!" ujar Elisha. Mengalah. "Kalau gitu, sekarang kita bahas soal Trian aja. Gimana?" sambung Elisha.

"Trian? Ada apa sama dia?" tanya Eva bingung, "tumben nih, jangan-jangan ada yang baru berkomitmen pacaran, nih," terka Eva sembari tersenyum dan memain-mainkan kedua alisnya.

Elisha tersenyum. Manggut-manggut.

"Akhirnya sahabatku ini laku juga," ledek Eva, "tadinya kamu mau aku obral di pinggir jalan, lho," sambung Eva.

"Oh my God! Emang sesah ari gaduh rerencangan anu senengna ngaledek wae mah," dumel Elisha dengan nada suara yang amat pelan.

"Kamu ngomong apaan, Lis? Kok pake bawa-bawa nama tuhan segala?" tanya Eva bingung.

"Ah, aku gak ngomong apa-apa kok, Va. Aku cuma bilang; aku kepingin pinjem buku yang lagi kamu baca itu, dan semoga tuhan bisa ngebantu aku," sahut Elisha mengelak.

Eva tersenyum. "Ooh, pinjam buku. Kirain aku kamu udah ngomong apaan gitu, Lis," kata Eva yang sedikit pun tak tahu dirinya sedang dibohongi sahabatnya. Yang sedikit pun tak mengerti tentang bahasa daerah sahabatnya itu.

Elisha menelan ludah. Menghela napas. Tersenyum.

***

Sang fajar berubah menjadi mentari. Sang mentari berubah menjadi matahari. Sang matahari tunjukan kekuatannya berdiri di atas bumi. Tiba saatnya Eva menaruh buku-buku yang telah dipinjamnya. Ditata kembali seperti kesediakalanya berada. Seperti saat ia meminjamnya.

Tatkala ia menyimpan buku terakhirnya ke rak buku. Tiba-tiba di celah-celah buku terlihat David tengah memandangnya dengan raut wajah yang penuh keceriaan dan bibir yang tersenyum.

Hah! Kenapa sih dia selalu ada! Selalu senyum-senyum sama aku kayak gitu, kayak orang gila! Apa dia belum jera? Bisik hati Eva.

Dengan cepat. Eva mengajak Elisha tuk pergi keluar dari dalam ruang perpustakaan. Mereka lari pontang-panting seperti dikejar anjing. Elisha yang tak tahu apa-apa, hanya bisa ikut berlari bersama Eva, dan bertanya-tanya kepada dirinya sendiri; kenapa harus lari ya? Ada apa?

Slammmmeeeeeeet! Akhirnya, sampai juga di luar sekolah! Huh, ini gara-gara dia, nih! Aku harus sampai lari-larian kayak gini! Ya Tuhan! Kenapa sih dia harus ngeganggu aku terus? Bisik hati Eva.

Napas Eva dan Elisha terdengar seperti deruhan ombak yang berlari-larian ke tepian pantai. Elisha tak bisa lagi menahan rasa kepenasarannya. Elisha mencoba menanyakannya kepada Eva.

Va, kenapa sih kita mesti lari-larian kayak tadi? Memangnya ada apa? Ada setan, ya? tanya Elisha penasaran. Tapi, ya masa iya sih, siang-siang kayak gini ada setan!

Eva menceritakannya. Ia yang melihat David di celah-celah rak buku perpustakaan.

***

Ketika Eva selesai bercerita. Sontak, Elisha tertawa terpingkal-pingkal, dan begitupun dengan Eva. Mereka merasa dirinya sempat menjadi orang paling konyol sedunia di hari itu, saat mengingat kembali akan kekonyolannya itu sendiri. Namun tawa mereka seakan perlahan menghilang ketika penjaga sekolah mereka menghampiri mereka. Yang bernama; Bapak Didin.

"Siang, Non!" sapa Pak Didin. Takzim.

"Siang, Pak Didin!" ujar Eva dan Elisha serempak.

"Maaf, ada apa ya, Pak?" tanya Elisha.

"Begini, Non. Apa benar teman Non ini namanya Eva? Evanti Puspita Putri!" tanya Pak Didin kepada Elisha sembari menudingkan Ibu jarinya ke arah Eva dengan penuh kesantunan.

"Iya benar Pak, itu nama saya! Kalau boleh tahu, ada apa ya, Pak?" Sahut Eva.

Elisha tersenyum. Mengangguk-nganggukan kepalanya.

"Ini Non, ada surat dari seseorang untuk Non Eva. Saya tidak tahu dari siapa! Yang pasti surat itu sudah ada di lantai. Di depan pintu kamar saya. Disertakan sehelai kertas yang bertuliskan; Pak tolong berikan surat ini kepada yang namanya Evanti Puspita Putri!" papar Pak Didin.

Eva dan Elisha terdiam. Pikiran dalam kepala mereka menerawang jauh. Mencari siapa nama seseorang yang ada di balik si pengirim surat yang tak tercantumkan nama itu.

" Benar, Pak Didin tidak tahu siapa yang mengirimnya?" tanya Elisha curiga.

"Benar, Non! Berani sumpah deh, Non!"

"Ya udah, Pak. Terima kasih ya Pak." ujar Eva.

"Sama-sama, Non. Kalau begitu, Bapak ke dalam dulu ya, Non."

"Iya Pak, silahkan!" ujar Eva.

"Terima kasih ya Pak, atas suratnya!" sambung Elisha.

Pak Didin bergegas kembali masuk ke dalam gedung sekolah.

"Siapa yang kirim surat itu ya, Va?" tanya Elisha.

"Aku tahu siapa yang kirim surat beramplop biru ini. Tapi aku gak yakin apakah benar dia yang kirim surat ini! Karna yang aku tahu, cuma kamu sama Guru-guru aja yang tahu nama panjangku!" ujar Eva.

"Siapa, Va?" tanya Elisha penuh rasa kepenasaran.

"David! Ya, pasti David Panda!" ujar Eva meyakinkan.

"Pandy, bukan Panda!" tegas Elisha.

"Udah deh Lis, aku gak mau debat soal itu disaat-saat kayak begini!" kata Eva tak senang.

"Iya, iya! Ya udah, sekarang buka surat itu!" pinta Elisha.

Eva membuka amplop surat itu. Mereka tampak kebingungan dengan isi surat itu. Isi surat itu hanya ada tulisan sebuah nama saluran Radio terkemuka di kotanya, dan tulisan beberapa karakter sebuah angka. Yang tak lain itu adalah angka jam.

"Aneh ya, Lis. Tulisannya cuma begini. Apa maksudnya ya, Lis?" tanya Eva sembari mengerutkan keningnya.

"Mungkin si pengirim surat ini minta kamu ngedengerin saluran radio itu, kali. Jam tujuh malam. Kayak yang udah ditulis di situ," prediksi Elisha meyakinkan.

"Iya Lis. Kali ini kamu benar!"

"Yeeeee, aku selalu benar, kali!" kata Elisha sembari tersenyum.

"Iya deh, kamu selalu benar!" kata Eva sembari membalas senyuman Elisha. "Ya udah, sekarang aku mau pulang, nih. Kamu mau ikut gak ke rumah?"

"Thanks. Lain kali aja, deh. Lagian aku udah ada janji sama Trian!" jawab Elisha.

"Duuuh, yang baru jadian. Lagi kagen-kangennya, ya?" goda Eva.

"Ya Gitu deh!" sahut Elisha sembari tersenyum.

"Ya udah deh kalau gitu, aku pulang duluan ya, Lis," tutup Eva.

"Iya, Va. Take care ya," salam pisah Elisha.

Eva memanggil taksi yang tengah melintas di depannya. Di depan gerbang sekolah. Eva terlebih dahulu pulang. Meninggalkan Elisha yang rumahnya berlawanan arah dengan rumahnya.

***