"Apapun, Dewi. Apa saja pilihan kamu pasti akan aku minum." Sembari mengerling genit. Dan tak ayal Dewi pun segera mengumpat sumpah serapah karena dia paling anti dengan lelaki seperti itu. Walaupun Leonard sangat tampan, tetapi bagi Dewi wajah nan putih bersinar itu sama sekali tidak bisa memikat sisi hatinya. Sikap Leo lah yang membuat aura ketampanannya meredup seketika. "Dewi, sudah pasti kamu tahu mengenai tempat wisata dalam kota ini, kan? Jadi, aku tidak perlu menyewa jasa toure guide." Ungkapan Leo tersebut hanya di tanggapi dengan senyuman tipis. Sangat tipis sehingga mungkin senyuam Dewi tersebut tidak diketahui sedang tersenyum. "Sekarang masih ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Masalah kamu, itu bis akita bahas nanti, Leo." Wajah Dewi mendadak menegang. Dan langsung saja Leo memutar bola matanya. "Benarkah? Sepenting apa itu?" Dewi, sebagai seorang wanita dari keluarga trepandang mampu membuang ego berselimut gengsi tinggi demi mengelabuhi sang ayah. Bukannya Dewi suka berbohong, hanya saja tidak siap jika harus menikah dalam waktu dekat. Beruntungnya, Leo mau membantu Dewi dengan berpura- pura menjadi sebagai calon suaminya. Sehingga senyum penuh kelegaan mengukir di bibir ranum berselimut rasa bahagia atas kebesaran hati Leo yang mau membantunya tanpa pamrih. "Aku sangat berterima kasih kepada kamu, Leo." "Jangan sungkan. Sama-sama, Dewi. Dengan senang hati aku akan melakukannya." Berpadukan kerlingan mata. Dewi pun kembali mengendus kesal dengan sikap genit yang melekat kuat dalam diri Leo. Tetapi mau bagaimana pun juga, memang seperti itulah seorang Leonard Harvard. Dan Dewi harus membiasakan diri selama dia membutuhkan bantuan dari lelaki itu. Bahkan Dewi tidak mengetahui sampai kapan dirinya akan terus membohongi Adi. Entahlah. Yang jelas, gadis cantik nan berhidung mancung itu tidak ma uterus menerus didesak oleh sang papa atas tekanan dari kakeh Wijaya. Pun sekali lagi ucapan terimakasih terucap terimakasih terucap dari bibir ranum sebelum melenggang meninggalkan Leo. Sementara lelaki bertubuh kekar itu masih saja mengunci tatapannya pada punggung ringkih hingga hilang dari pandangan. Langkah kaki Dewi telah meninggalkan senyuman penuh makna mengukir dibibir kokoh. "Aku tidak pernah hilang semangat pada mimpi- mimpi terbesarku dan itu akan segera terwujud bersama kamu, Dewi." Berpadukan langkah kaki meninggalkan café menuju hotel dimana tempat dirinya menginap selama tinggal di kota Zyalora. Dan sejauh kaki melangkah, selama itu pula senyuman penuh makna masih saja mengukir di bibir kokoh. *** Dalam sebuah kediaman rumah mewan nan ada pada kawasab pust kota telah di sibukkan dengan acara- acara bersar untuk menyambut kedatangan calon suami Dewi yang baru saja terbang dari Nahdem. Itulah yang semua orang pikit, termasuk juga dengan sang kakaek, Wijaya. Sedangkan yang sebenarnya terjadi, Leo sudah berada dalam kota Zyalora sekitar satu minggu yang lalu. Pada usia yang tak lagi muda, Wijaya masih saja terlihat tampan. Begitu juga dengan tenaganya yang juga masih sangat prima karena setiap pagi belia masih rajin berolahraga. Seolah tidak mengenal kata lelah, Wijaya terus saja beraktifitas mengatur persiapan jamuan makan malam. Bagi seorang lelaki yang sangat tersohor, semua harus perfect trerlebih ini adalah sebuah sambutan calon suami dari cucu kesayangan dan juga pewaris tunggal seluruh kekayaan Wijaya Grup. Dan Dewi mendesah lelah bermanjakan Wijaya yang terus saja berjalan modar mandir mengecek apakah semua pelayan menjalankan perinta darinya dengan baik atau tidak. "Honey, kemarilah! Jangan duduk disitu." Pinta dari bibir Wijaya. Bersamaan dengan itu, segera saja Dewi mendekatkan tubuhnya pada samping tubuh sang kakek. "Coba kamu lihat. Akpakah semua ini sudah sempurna atau masih ada yang kurang?" Mendengar pertanyaan seperti itu, hembusan nafas beras mengiringi deru nafas Dewi, bersamaan dengan itu dirinya menjelaskan pada Wijaya bahwa tidak perlu berlebihan. Dia juga berfikir jika kali ini hanya sekedar makan malam biasa. Namun, semua ungkapan dari bibir Dewi langsung dihadang oleh balasan dari Wijaya yang mengatakan tidak boleh ada yang biasa- biasa saja selama itu berhubungan dengan Putri Wijaya. Dan sang kakek juga mengusap pucuk kepala Dewi lalu menambahkan sebuah wejangan. "Penyambutan untuk calon suami kamu itu adalah sebuah hari penentu, jadi semua harus terlihat semewah dan seperfect mungkin, sayang." "Huft, in ikan Cuma suami pura- pura, ngapain disambut sampai semegah ini." Lirih Dewi. Tetapi nasibnya kurang beruntung karena Wijaya masih mampu mendengarkan meskipun hanya samar- samar. "Apa yang kamu katakana barusan?" Tanya Wijaya berpadukan sorotan mata menajam, dan Dewi paling takut bila sang kakek sudah seperti itu. "Bukan apa- apa. Dewi tidak mengatakan apapun. Mungkin saja Opa salah dengar. Toh, disini banyak pelayan. Bisa saja para pelayan yang saling bertukar cerita tetapi ngiranya Dewi. Iya, kan?" sembari mengerling genit mencoba untuk mengelabuhi Kakeknya. Namun, Wijaya tetap saja memberikan sebuah tatapan tajam. Tentu saja seketika bulu roma meremang bersamaan dengan itu, di peluknya sang kakek oleh Dewi berpadukan dengan kecupan di kedua pipi. "Tidak perlu menatap Dewi seperti itu, Opa. Dewi ini cucu Opa. Bukan penjahat yang ingin di adili." Rajuknya dengan manja. Waktu berpuutar dangat cepat dan inilah saat yang paling ditunggu. Pria gagah berwajah tampan dengan menggunakan jas termahal sedang memasuki ruang makan dengan Dewi disisinya yang terlihat tengah mengalungkan tangan pada lengan kekar. Malam ini, Leo terlihat sangat tampan berbalut kemeja putih berpadukan tuxedo serta dasi merah jambu yang semakin menambah ketampanan berkali-kali lipat. Begitu juga dengan Dewi yang berbalut dress warna putih tanpa lengan yang panjangnya menjuntai hingga ke lantai juga menambah kecantikan alaminya berkali- kali lipat hingga seorang Leo dibuat tak berkedip. "Selamat dalang dalm keluarga Wijaya, tuan Leonard." Ungkap Wijaya dengan suara khas nan mendominasi. "Terimakasih atas undangan makan malamnya, tuan Wijaya. Ini sebuah kehormatan bagi saya." Bersamaan dengan itu, Wijaya mempersilahkan Leo untuk segera duduk pada kursi yantg tengah disediakan. Dewi yang tersadar bahwa kursi Adi kosong segera menanyakan kepada kakeknya kemana pergi sang ayah. "Papa ada sdisini, sayang." Dan belum saja Wijaya membalas pertanyaan dari bibir cucunya itu. Suara bariton yang datang dengan tiba- tiba telah menyentak Dewi, begitu juga dengan Leo sehingga langsung menolehkan wajahnya pada arah sumber suara tersebut berasal. Seketika tatapan keduanya bermanjakan senyuman khas mengukir pada bibir kokoh bersamaan dengan itu langkah kaki semakin mendekat. "Maaf, karena sudah membuat putri kesayangan papa ini menunggu lama." Berpadukan kecupan hangat pada puncak kepala. "Duduklah, Adi. Tak baik membuat tamu kita menunggu lama." Perintah Wijaya dengan suara lirih namun penuh perintah tak terbantahkan.
Baik