webnovel

Chapter 2. A Big Plan

Suara selembut kain sutra dari bibir pink lelaki pendatang dalam kota tinggal Dewi itu membuat putri yang terbiasa angkuh menjadi sedikit luluh. Sebuah anggukan kepala sebagai isyarat. "Cepat jalan, pak!" perintah tergesa Dewi sembari jemari lentiknya terulur pada sebuah botol untuk menghilangkan rasa dahaganya. Hingga sudah terteguk tiga kali, botol kembali ditutup rapat. "Antarkan saya langsung ke kantor, ya." "Baik, non." Saat setelah mendengar perintah dari majikannya, Masda langsung saja menambah injakan pada pedal gas. Mobil dengan julukan family car melaju dengan kecepatan tinggi, membelah kota Zyalora untuk menuju sebuah Gedung nan menjulang tinggi bertuliskan Wijaya Grup. "Non, silahkan. Anda sudah tiba." Ungkap Masda sembari membukakan pintu mobil. Dan Dewi hanya membalas kalimat sopir pribadinya itu dengan sebuah senyuman tipis. Wedges dengan tinggi lima centimeter memberikan irama pada langkah kaki Dewi. Kedatangan wanita bertubuh bagai biola ke kantor langsung disambut oleh para karyawan, namun tidak sekalipun bibir ranum mengulas senyum. Bibir tipis berpadukan warna merah marun itu masih saja membentuk garis lurus. Permukaan kulit nan putih pucat berhiaskan iras datar tanpa ekspresi, menciptakan rasa mencekam pada setiap mata memandang. Jika tidak mengenal Dewi dengan sangat baik, sudah pasti akan berfkir bahwa di aini adalah wanita angkuh dengan seribu aroganisnya. Tetapi nyatanya tidak seperti itu. Dewi gadis nan lemah lembut, berpendidikan tinggi, sopan dalam bertutur kata, dan juga attitude yang sangat bagusnya itu mampu membuat para lelaki saling berlomba ingin mempersunting seorang putri Wijaya yang merupakan pewaris tahta serta harta tunggal Wijaya Grup. "Namanya juga meeting. Ya, pasti tidak dapat diprediksi kapan selesainya. Bisa cepat, bisa jadi lambat. Tergantung titik permasalahannya. Untuk mencapai kata sepakat itu juga bukan perkara mudah." Hanya itulahpenjelasan yang Dewi berikan pada Adi ketika terus saja mencecar pertanyaan demi pertanyaan pertanyaan. Sangat wajar bagi Adi sebagai orang tua tunggal jika khawatir karena hingga sore hari putri kesayangan baru sampai dikantor padahal dari pukul sembilan pagi sudah meninggalkan Wijaya Grup. "Hem.. iya sudah, ya sudah. Papa 'kan hanya bertanya. Papa khawatir sama kamu, sayang. Kamu ini adalah putri kesayangan papa. Putri satu-satunya, dan sebagai pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Wijaya." Dewi tersenyum tipis. "Dewi ini sudah dewasa, pa, masa iya masih dikhawatirkan seperti anak kecil saja." Tentu irasnya juga berhiaskan sedikit kekesalan. "Untuk papa kamu itu tetap gadis kecil, sayang. Rasanya papa tidak percaya bahwa anak gadis papa ini sudah dewasa dan sebentar lagi mau menikah. Kalau begitu, kapan kamu mau memperkenalkan calon suami-mu pada keluarga?" "Papa, Dewi ini baru saja lulus kuliah dan baru saja masuk kantor di Wijaya Grup. Bahkan belum juga genap satu bulan tapi udah di desak kanapn menikah, kapan menikah terus. Nanti kalau sudah datang waktu yang tepat pasti Dewi juga akan nikah, pa." "Dewi, papa ini sudah semakin tua. Papa tidak bisa selamanya mendampingi kamu mengelola perusahaan, sayang. Kamu perlu pendamping untuk membantu mengelola Wijaya Grup. Ini perusahaan sangat besar. Kamu lambat laun juga akan merasa kewalahan jika mengurusnya sendirian." Jemari Adi digenggam oleh Dewi berirama dengan hembusan nafas berat agar tak di sadari oleh sang papa. "Dewi masih belum siap menikah, pa. Dan Dewi sanggup untuk mengelola perusahaan ini sendiri tanpa siapapun." "Namun, kamu tahu 'kan Dewi, apa syarat untuk menjadi pewaris Wijaya.?" "Tahu, Pa. Dewi sangat tahu dan juga masih ingat dengan pesan-pesan itu. Dewi harus menikah, kan? Dewi nggak lupa, tapi, asal papa tahu bahwa Dewi tidak akan keberatan walaupun tidak mendapat warisan Wijaya. Dewi disini untuk papa, bukan untuk warisan!" Bersamaan dengan itu, Dewi menggelengkan perlahan kepalanya kea rah kanan dan juga kiri. "Oke. Papa tahu, sayang. Tapi bagaimana dengan Opak amu? Opa Wijaya tidak akan pernah mengubah keputusannya. Jika tidak diberikan pada cucu tunggalnya maka seluruh kekayaan keluarga Wijaya akan di hibahkan dan Papa tidak rela. Papa yang membantu Opa-mu membesarkan perusahaan ini hingga buka cabang dimana- mana." Pun Dewi mendesah lelah. Apapun yang coba ia jelaskan tidak akan pernah membuat Adi mengerti bahwa putrinya itu belum siap menikah dalam waktu dekat. Kesal, itulah yang Dewi rasakan pada kakeknya yang membuat peraturan aneh. Ini kan tahun sudah duaribu lebih sebelas, jaman juga sudah modern tapi opa … masih saja berfikir dengan cara yang kuno. Syarat macam ap aitu? Masa iya jika mau menjadi pewaris Wijaya harus menikah terlebih dahulu. Menyebalkan! Dan, entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas sentuhan lembut pada pundak telah membawa kesadarannya kembali. Seketika menolehkan wajahnya hingga beradu tatap dengan sang Papa nan menatap penuh tatapan mendalam juga lama. "Apa yang kamu pikirkan, sayang?" Dewi hanya menggeleng lesu berirama sebuah bisikan lirih. "Tidak apa- apa, pa." Pergelangan dengan jemari kokoh Adi terulur merangkum pipi putrinya dengan penuh rasa sayang. "Paling tidak perkenalkan dahulu calon suami-mu pada papa. Biar papa bisa mengenal lebih jauh dia itu pantas atau tidak untuk mendampingi putri kesayangan papa ini." Dewi semakin tersentak dengan ungkapan-ungkapan dari bibir Adi Wijaya. Pasalnya, Dewi sampai saat ini belum juga memiliki kekasih. Dewi paling anti dengan yang Namanya pacarana. Selama ini, waktunya habis dipakai untuk fokus belajar di Universitas tempatnya kuliah. Lalu, sekarang dirinya harus bagaimana, siapa yang akan dikenalkan sebagai calon suami? Otaknya berfikir dengan keras untuk mengatasi semua masalah ini. Dan seketika pula ingatannya berpusat pada salah satu nama, yaitu Leonard Harvard, teman semasa kuliahnya semasa menempuh penidikan yang kebetulan sedang liburan di kota Zyalora. "Haruskah aku meminta bantuan Leo untuk berpura- pura menjadi calon suami?" Batin Dewi sembari menatap wajah sang papa yang menyirat besar harap padanya. "Namun, apakah seorang Leo mau membantuku?" Pikir Dewi. Tidak mau jika hanya sekedar menebak-nembak, dirinya langsung saja berkirim pesan karena sebelumnya sudah menyimpan nomor ponsel milik lelaki yang tengah menjadi incarannya saat ini. Dan saat ini pun Dewi telah tiba ditempat yang telah dijanjikan. "Hello, maaf jika telah membuatmu menunggu lama." Seketika Dewi mendongakkan wajanya hingga saling beradu tatap dengan iris yang selalu saja menyilau hangat. Dewi hanya tersenyum tipis. "Tidak apa. Aku baru saja tiba. Silahkan duduk, Leo." "Terimakasih, nona Wijaya." Ynag langsung saja dihadiahi dengan pelototan. "Ma-maaf, maksud aku, Dewi." Ralat Leo berpadukan kerlingan mata. "Baiklah. Terimaksih karena kamu sudah mau datang, Leo." "Hei, tidak seharusnya kamu berucap semacam itu. Harusnya akulah yang berkata begitu. Lagian aku yang meminta kamu supaya menemaniku selama berada disini." Yang langsung saja di balas dengan seulas senyum hangat. Dan inilah pemandangan untuk pertama kalinya menulas sebuah senyum lebar. Terlihat aneh memang, tapi bagi Leo hal ini justru semakin memancarkan aura kecantikan dari iras Dewi. Oh, iya. Kamu mau memesan apa untuk minum?" tanya Dewi singkat sembari tangannya meraih ponsel dari dalam tas ransel. "Atau, kamu mau apa?"