webnovel

My Destiny from the Dream

[PROSES REVISI] Ini merupakan mimpi-mimpi kematian yang dibawa oleh seorang gadis bernama Aya. Siapapun yang mengenalnya, akan mendapatkan kematian melalui kejadian yang menjadi kenyataan dari mimpi Aya. Ini merupakan kisah dimana Aya sang gadis kutukan mimpi yang penyendiri dan juga kisah cinta dari sahabat kecilnya yang tidak takut mendapatkan kematian dari Aya. * Hai semua! Ini adalah cerita keduaku disini Romansa yang sedikit berbumbu fantasy Berharap kalian suka:)) Jangan lupa beri power stone Sangat terbuka untuk komentar yang membangun Cover by apgraphic_ Terima kasih! Chuuby_Sugar

Chuuby_Sugar · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
353 Chs

Bukan koma

Sekeras apapun Aya menolak kenyataan yang menderanya saat ini. Aya tidak bisa lari dan tidak bisa berpaling dari semua hal yang telah ditakdirkan.

Air matanya tertahan, langsung mengalir dengan deras begitu tangannya menggenggam tangan Citra yang lemas dan tidak merespon sentuhannya.

"Citra.. ini Aya." Ucap Aya tepat disamping telinga Citra. Tak ada jawaban, tapi Aya masih memiliki setitik harapan didalam hatinya. Umi yang berdiri disamping Aya, mengusap bahu Aya berusaha menguatkan sembari menahan tangisnya sendiri.

Bagaimana Umi tidak sedih? Satu-satunya putri yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang kini terkulai lemas tak berdaya.

"Citra, Aya dateng nih. Bangun yuk." Bujuk Aya, namun sekali lagi tidak ada respon yang Citra berikan. Aya memandang sakit setiap alat penopang hidup yang terpasang di badan Citra.

"Citra, maafin Aya untuk semuanya ya?" Aya menangis semakin keras, menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi.

Andai saat itu Aya lebih tegas untuk membuat Citra menjauh. Andai Aya tidak menerima pertemanan yang Citra ulurkan dengan mudah. Mungkin Citra tidak akan mengalami kejadian seperti ini.

Bahkan ketika Aya menggenggam kuat tangan Citra seperti ini, Citra sama sekali tidak merasakan sakit.

"Aya mohon, Citra bangun ya?" Seluruh dunia Aya hancur entah untuk yang keberapa kali. Bukankah semakin sering seseorang mengalami suatu kejadian yang sama harusnya orang itu akan menjadi sangat kebal? Tapi tidak dengan Aya.

Ini semua bukan sebuah kejadian yang sama, bukan juga sebuah kejadian yang berulang. Tentu Aya tidak akan bisa dengan mudah menerima semua ini begitu saja.

Mengapa sekali lagi Tuhan tega memberikan Aya lebih banyak rasa sakit atas kehilangan?

Jika ayah Aya disini sekarang, pasti ayah Aya akan memberi kekuatan padanya.

Aya terlalu fokus hingga tidak sadar pintu bangsal terbuka. Wati datang dengan langkah berat melihat teman yang belum lama ini menjadi temannya kini terbaring lemas.

Wati mendekat kearah Aya dengan air mata yang sudah mengalir dengan derasnya. Wati memeluk bahu Aya dengan tangan gemetar, ikut menangis bersama Aya.

Umi meninggalkan ketiga orang teman yang saling melepas rindu itu.

"Citra pasti kuat kan Ya?" Aya menggeleng tak pasti. Dirinya bahkan belum tahu betul apa yang tengah terjadi pada Citra saat ini.

*

Wati menuntun Aya keluar dari ruangan sembari merangkul bahu Aya untuk memberi kekuatan lebih padanya. Wati mengumpat dalam hati saat tahu Tian belum juga bisa dihubungi dalam kondisi seperti ini.

Wati dan Aya memaksakan senyuman mereka saat tahu Umi menunggu mereka diluar bangsal bersama Verdi.

"Abi kemana Umi?" Tanya Wati penasaran karena tidak melihat Abi bersama Umi.

"Abi mengurus sesuatu sebentar. Mau temenin Umi makan dikantin sebentar?" Wati mengangguk diikuti dengan Verdi, namun tidak dengan Aya.

"Aya mau disini aja Umi. Jagain Citra."

"Aya juga yuk, temenin Umi." Tarikan lembut Umi berhasil membujuk Aya untuk mengikutinya pergi kekantin.

Kantin rumah sakit ini memang buka selama dua puluh empat jam untuk memastikan setiap dokter bisa makan di jam kapan saja sat mereka luang setelah menjalankan banyaknya  aktifitas.

Umi membawa sepiring nasi untuknya sendiri, membiarkan Aya yang hanya mengambil teh hangat sama halnya dengan Wati.

"Kamu gak makan Ya?" Tanya Umi.

"Gak nafsu Umi. Umi makan aja gak apa-apa kan niatnya emang nemenin Umi." Umi tersenyum lembut, tatapannya berlaih pada Verdi yang duduk disamping Wati.

"Ini siapa? Umi baru lihat."

"Suami Wati Umi. Temennya Tian juga." Umi tersenyum lagi membalas sapaan singkat Verdi.

"Nah gini dong. Harusnya nikah dulu Ya, Jangan mau digantung sama Tian." Wati terkikik geli. Tahu bahwa sebenarnya adalah Aya yang menggantungkan Tian.

Aya yang diberi wejanganpun hanya tersenyum kecut. Umi masih saja bisa membuat lelucon untuk membuat suasana jadi membaik.

"Umi dari dulu gak suka ya sama Tian."

"Iya, lha wong dia itu deketin Aya terus tanpa ada niatan serius." Suasana kembali hening.

Umi menyuapkan nasi kedalam mulutnya secara perlahan. Ketiga orang yang melihatnyapun tahu bahwa Umi sedang berusaha terlihat tegar saat ini.

"Seandainya Umi restui Citra bersama Farhan saat itu. Mungkin tidak akan jadi seperti ini." Baik Wati maupun Aya terkejut, Farhan bukanlah orang yang baik untuk Citra tapi kenapa Umi mengatakan hal sedemikian rupa.

"Maafin Aya Umi." Bagaimanapun jika Citra tetap bersama Farhan, Citra mungkin akan tetap mengalami mimpi kematian Aya. Semua ini salahnya. Umi tersenyum sembari menggeleng.

"Maksud Umi gimana? Memang Citra kenapa Umi? Kenapa Citra bisa koma seperti itu?" Rasa penasaran ini  mungkin akan membunuh Wati kapan saja.

Umi menggeleng pelan.

"Citra tidak koma." Semua menatap Umi kebingungan.

"Terus Citra kenapa Umi?" Kali ini Aya yang bertanya.

"Citra mati otak." Aya terkcekat, jadi itu sebabnya Citra sama sekali tidak meresponnya bahkan hanya dengan gerakan mata ataupun jari.

"Mati otak?" Beo Wati memastikan.

"Dimana sang penderita hidup, namun tidak memiliki kepekaan terhadap sekitar yang membuatanya terbaring seperti tanpa nyawa." Jelas Verdi yang diangguki dengan Umi.

"Gak mungkin." Bahkan sebelum Aya berharap Citra kembali sadar ini semua terasa sudah berakhir disini.

"Tapi Umi, masih ada harapan buat Citra sembuh kann?" Tanya Aya masih sedikit optimis. Sedangkan Wati sudah menangis keras sekarang.

"Kemungkinannya sedikit Ya. Tidak banyak kasus orang yang bisa sembuh dari mati otak."

"Bohong Umi. Aya mau bangunin Citra dulu." Umi menggenggam erat tangan Aya saat belum sempat bangkit pergi.

"Aya kamu harus menerima ini. Tanpa sepengetahuan Umi sama Abi, Citra sudah terdaftar sebagai pendonor jika mengalami hal-hal seperti ini."

"Pendonor Umi?" Umi mengangguk. Wati dan Verdi terkejut bukan main. Sedangkan Aya masih belum tahu bagaimana maksud dengan pendonor.

"Pendonor gimana Umi?" Tanya Aya.

"Karena pasien mati otak kemungkinan besar tidak akan pernah terbangu lagi. Jadi organ-organnya akan di donorkan kepada yang membutuhkan Ya. Umi sama Abi juga sudah menandatangani surat persetujuannya barusan."

"Maksudnya, Citra bakal mati Umi?" Umi mengangguk sembari menahan tangis yang hendak meluncur dengan bebasnya. Aya dan Wati kembali menangis.

Aya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sedangkan Wati dipeluk oleh Verdi.

Ini semua salah Aya.

"Umi maafin Aya."

"Maafin Aya."

"Maafin Aya."

Ucap Aya berulang kali disela-sela tangisnya.

"Maafin Aya, Umi."

"Kenapa kamu minta maaf Ya. Ini semua takdir dari Yang Diatas..."

Aya mengusap air matanya, menetralkan kembali nafasnya yang tak teratur karena tangisan.

"Terus apa yang sebenarnya terjadi sama Citra, Umi? Maksud Aya, bagaimana Citra bisa berakhir seperti sekarang? Apa yang dialami Citra? Kenapa Umi tidak bisa dihubungi?" Tanya Aya beruntun pada Umi. Aya ingin tahu potongan-potongan lain yang tidak muncul dalam mimpinya.

Wati dan Verdi memperhatikan Umi yang terdiam, mulai menerawang kembali ke masa itu.

"Waktu itu..."