webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Malam Perpisahan

Hari-hariku selama di rumah Nenek kian terasa indah.

Aku sering menghabiskan waktu bersama dengan Bagas, kami sudah tidak canggung lagi, justeru kami malah semakin akrab.

Pagi ini sebagai salam perpisahan, aku dan Bagas menghabiskan waktu bersama.

Kami akan pergi ke sebuah kolam pemancingan yang letaknya tak jauh dari rumah Nenek.

Alih-alih pergi ke restoran atau bioskop, kami lebih senang pergi di tempat-tempat yang unik, dan jarang digunakan oleh orang untuk berkencan.

"Mbak Mel, kenapa sih harus, pergi ke kolam pemancingan? Padahal enak mancing di tengah sawah aja, kali!" kata Bagas.

"Di sawah ikanya kurang banyak, Gas! Mending di tempat pemancingan!" ujarku pada Bagas.

"Padahal mah seruan di sawah aja kali, Mbak! Kalau di sana, 'kan kita bisa nostalgia," ujar Bagas seraya tersenyum meledekku.

"Nostalgia apaan, dah!" sahutku.

"Ya, banyaklah, Mbak! Inget enggak pas kecil kita sering mancing di sana?"

"Iya, masih inget, gue gak amnesia kali!"

"Terus inget enggak, pas udah gede kita mancing di sana juga habis itu jatuh?" tanya Bagas lagi.

Sejenak aku langsung terdiam, dan bayangan pada waktu itu langsung menyapaku.

Waktu itu masih ada Mellow, dan ikan yang dengan susah payah kami dapatkan, malah dicuri oleh Mellow.

Dan yang lebih parahnya lagi, aku malah terjatuh, kemudian tak sengaja menarik Bagas yang membuatnya terjatuh pula.

Kami jatuh bertumpuk-tumpuk. Bagas nyaris menciumku pada waktu itu.

Dan kejadian itu membuatku merasa malu sampai Tujuh turunan.

"Mbak!" Bagas menyentakku yang sedang melamun.

"Eh, iya! Iya!" jawabku agak kaget.

"Lagi ngebayangin adegan romantis itu, ya?" ledeknya lagi. Dan dia menyeringai dekat di bawah wajahku. Aku sampai ngeri melihatnya.

"Eh, apaan deh!" Langsung kutepuk reflek bagian hidung Bagas.

"Wadaw!" Bagas tampak kesakitan memegangi hidungnya.

"Mbak Mel, jadi cewek barbar, banget, sih!" keluh Bagas.

"Hehe, sory! Sory! Maaf ya, Gas!" Aku mencoba mengelus bagian hidungnya yang baru kutepuk tadi.

"Sakit banget, nih!" ujarnya dengan bibir mengerucut.

"Ih, Bagas, kalau marah makin imut banget, deh," pujiku yang merayu Bagas agar tidak marah.

"Ih, ngerayu!" ujarnya.

"Hehe! Udah yuk, Ah!" Aku meraih tangan Bagas untuk mengajaknya segera pergi, tapi Bagas malah menarik balik tanganku ini. Sehingga langkah kakiku terhenti secara paksa. Kemudian dia mendaratkan bibirnya tepat di pipi kiriku.

'Cup'

"Kiss, dulu dong!" ujarnya sambil tersenyum menang.

"Ih, Bagas," keluhku bersuara pelan.

Kemudian Bagas pun berjalan duluan.

Aku masih terdiam sesaat, sambil tersenyum memegangi pipiku. Kemudian pelan-pelan kakiku mulai melangkah lagi.

"Mbak, buruan!" teriak Bagas. "Jalannya, kayak bekicot!" cerca Bagas mengejekku.

"Sialan, tuh, Bocah!" umpatku meski tak kesal.

Kemudian aku berlari mengejarnya.

***

Suasana kolam pemancingan tidak terlalu ramai.

Aku dan Bagas duduk bersebelahan sambil memegang alat pancing masing-masing.

Kami tengah berlomba mendapatkan ikan.

"Kira-kira, siapa nih, yang berhasil dapat ikan duluan?" ujarku.

"Aku dong, pastinya?" sahut Bagas.

"Hmm, sombong!" cercaku.

"Haha, bukan sombong, cuman belagu!" sahutnya sambil tertawa.

Kemudian kami kembali fokus ke alat pancing masing-masing.

Sesaat aku melirik Bagas yang tengah menunggu kailnya disambar ikan.

Wajahnya begitu serius, dia benar-benar telihat tampan sempurna.

Bahkan sampai saat ini juga, aku masih tidak menyangka mengapa wajah Bagas bisa setampan ini.

Benar-benar jauh berbeda saat masih kecil dulu.

Dalam hatiku ingin berkata,

'Astaga! Dia adalah anak kecil yang sangat polos dan berkulit hitam keling dulu? Yang setiap saat selalu mengusap ingus di hidungnya? Yang selalu menangis setiap aku berbuat iseng kepadanya? Oh, Astaga!' tapi ucapan itu sudah terlanjur basi.

Karena ini sudah terlewatkan terlalu jauh.

Kadang aku berpikir cinta itu terasa ajaib.

Bisa datang kapanpun, dan dengan siapapun.

Sekarang yang aku rasakan adalah bahagia, aku menikmati setiap keajaiban-kejaiban cinta. Yang terkadang membuatku bertanya-tanya, 'kok, bisa, ya?'

Tapi itulah Cinta. Sebuah rasa yang penuh teka-teki dan kejutan.

Namun kebahagiaanku ini ... sepertinya akan kembali diuji.

Besok tepatnya, aku harus pulang ke Jakarta. Karena liburan sekolah yang telah usai.

Aku akan menyandang setatus baru lagi, yaitu sebagai siswa kelas 3 SMA.

Dan tentunya aku sudah mengubah diriku dari setatus Jomblo, menjadi, Berpacaran.

Elis dan Jeni pasti akan heboh sekali setelah mendengar ini, hehe ....

Tak sadar bibirku tersenyum sendiri. Membayangkan pristiwa yang sedang aku alami ini.

"Wah, gawat nih, jangan-jangan kemasukan Jin Empang, lagi!" ujar Bagas yang membuyarkan lamunanku.

"Ih, Bagas! Ngagetin aja deh!" keluhku.

"Ya, habisnya senyum-senyum sendiri, enggak jelas banget, deh!" ujarnya. "Lagi mikirin saya ya ,Mbak?" ledek Bagas.

"Ih, GR!" sengutku seraya menepuk pundak Bagas.

Tepat di saat itu kail pancingku ada yang menyambar.

"Woi, dapat tuh, Mbak!" teriak Bagas memberi tahuku.

"Wow! Iya, Gas!"

"Buruan, tarik, Mbak!"

Dengan penuh bersemangat aku menariknya, dan satu ekor ikan emas berukuran jumbo mengelayut di senar pancingku.

Aku sangat takjub sekaligus bangga mendapatkan ikan sebesar ini.

Dan ikan itu tengah mengegeliat-geliat heboh, karena mulutnya masih tersangkut mata pancingku.

"Wah, gede banget Gas!" ujarku yang begitu takjub.

"Wah, Mbak Mel, keren!" puji Bagas seraya mengacungkan dua Ibu jarinya.

"Iya, 'kan? Aku emang keren!" ucapku dengan bangga.

"Iya, deh!" tampak Bagas.

Dan tak lama Bagas juga mendapatkan ikan besar.

Suasana kolam pemancingan itu semakin seru. Berkali-kali aku berteriak takjub, setiap ada alat pancing yang berhasil menangkap ikan.

Hasil tangkapan kami sudah lumayan banyak.

Aku pun mengajak Bagas untuk segera pulang saja, karena hari yang sudah sore.

Hari ini kami mendapatkan sekitar 6 ekor ikan emas, dua berukuran besar, sementara yang lainya berukuran sedang, dan, ada satu ekor yang ukuran lumayan kecil.

Setelah selesai di timbang, kami mendapatkan sekitar 4 KG ikan emas. Jumlah yang lumayan banyak selama kami memancing seumur hidup.

'Yaiyalah mancingnya di kolam!'

Aku dan Bagas membawa ikan itu secara bersamaan, satu tali plastik kupegang, dan satu tali plastik lagi di pegang oleh Bagas.

Kami berjalan kaki menuju jalan pulang.

"Wah, banyak banget nih, Mbak! Bisa kita masak buat makan malam!" kata Bagas.

"Iya, boleh juga! Kebetulan Mamaku jago banget masak ikan," ujarku

"Bagus, Mbak! Jadi nanti malam kita tinggal makan aja ya, hehe!"

"Haha! Kamu tinggal makan, kalau aku mah pasti di suruh bantuin masak sama, Mama,"

Lalu Bagas menyahuti ucapanku.

"Ya udah gak apa-apa, namanya juga cewek, Mbak! Biar sekalian nanti kalau udah jadi istri aku, biar gak kagok lagi!" kata Bagas yang lagi-lagi meledekku.

"Ah, apaan sih, Gas! Kebiasaan banget deh!"

"La, emangnya kenapa?"

"Ya, kita ini masih SMA kali, Gas!"

"Emangnya kalau masih SMA, kenapa?"

"Ya, masih kecil! Masa iya udah mikirin nikah?"

"Kata siapa masih kecil? Aku udah gede tuh, Mbak! Mau lihat otot aku, engak? Atau mau lihat yang lainya, mungkin!"

"Iyuh! Bagas! Please, deh! Ngomongnya jangan ngacok!" ujarku yang mulai kesal, tetapi Bagas malah menertawakanku.

***

Malam telah tiba, kami berkumpul di rumah Nenek, untuk makan malam bersama. Dan ikan hasil tangkapan kami hari ini, menjadi menu utamanya.

Kami juga mengajak neneknya Bagas untuk ikut makan bersama kami.

Sekaligus malam ini sebagai malam perpisahan, keluargaku yang akan pulang ke Jakarta.

"Wah, ikanya gede banget?" ujar Papa yang takjub.

"Iya dong, Pa! Siapa dulu yang mancing!" ujarku bangga. "Melisa!"

"Aku perasaan juga dapet deh, Mbak! Kok gak diakui, sih?" protes Bagas.

"Eh, iya Gas! Kamu juga dapet, kamu hebat!" pujiku pada Bagas.

"Nah, gitu dong!" Bagas tersenyum tengil kearahku. Dan aku mencibirkan mulutku kearah Bagas.

Tak sadar Mama melihatnya.

"Haha! Kalian ini lucu banget deh, Mama jadi gak sabar pengen nikahin kalian!" ujar Mama yang asal nyeplos.

Dan karena ucapan itu, suasana mendadak hening.

Bersambung ....