webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Deg-degan

Hari ini tepatnya aku dan Bagas resmi berpacaran.

Hatiku berbunga-bunga, kini aku tidak lagi tersiksa atas kemunafikanku. Karena aku sudah mengakui perasaanku terhadap Bagas.

"Mel, makan dulu, Mel!" suruh Mama.

"Iya, Ma!" Dengan sorot mata yang berbinar-binar aku memasuki meja makan.

Tak sadar bibir ini terus tersenyum sejak siang tadi.

"Tumben, hari ini kamu gak nangis lagi?" tanya Mama.

"Dih, ngapain nangis-nangis kayak kurang kerjaan aja, deh!" sahutku.

"Ya mana, Mama tahu! Kamu, 'kan orangnya suka aneh, Mel! Kadang nangis-nangis sendiri, kadang senyum-senyum sendiri!" ujar Mama.

"Ah, itu cuma perasaan, Mama, aja deh!" ujarku seraya mencolek daku Mama dengan manja.

"Ih, colek-colek lagi, emangnya Mama ini, sabun?"

"Bercanda, Mama! Mama, cantik deh!"

"Ih, gak jelas banget!" kata Mama dengan sinis.

"Sekarang aja, lagi di fase senyum-senyum sendiri, abis itu kamu pasti nangis-nangis sendiri! Sumpah sih, Mel! Mama, jadi takut deh, sama kamu!" ujar Mama sambil bergidik ngeri.

"Dih, ama anak sendiri bilang begitu?" protesku dengan bibir cemberut.

*********

Sabtu pagi yang cerah, aku kembali melakuan kegiatan favoritku, yaitu berlari pagi.

Aku sangat menyukai suasana seperti ini, apalagi di daerah perkampungan yang asri begini.

Ditambah lagi perasaanku juga sedang berbahagia.

Sebelum aku memulai lari pagi, tak lupa aku melakukan pemanasan di bawah pohon talok.

Yah ... sambil melihat kearah rumah Bagas, aku berharap Bagas segera muncul.

Setidaknya dengan melihat wajahnya yang tampan, suasana hatiku bertambah ceria.

'Duh, Bagas, mana sih?' bicaraku di dalam hati.

'Apa dia lagi tidur? Atau jangan-jangan dia lagi nyiapin nasi kuning buat bikin syukuran?'

'Yah, syukuran karena udah jadian sama aku gitu? Haha!'

'Secara, Bagas, 'kan udah lama banget naksir aku! Eh, sekarang aku juga jadi ketularan naksir sama, dia!'

Plak!

Segera kutepuk keningku ini agar otak tidak berpikiran yang tidak-tidak.

Kemudian aku fokus melakukan peregangan otot.

Kuputar-putar leherku, sambil berhitung di dalam hati.

Dan tiba-tiba terdengar suara yang memanggilku.

"Mbak Mel!" Aku menoleh sambil tersenyum.

"Hai, Gas!" sahutku.

"Lagi mau lari pagi, ya?"

"Iya,"

"Sendiri, apa sama, Laras?"

"Sendiri, kan Laras kakinya masih sakit?" ujarku.

"Oh, iya sampai lupa, hehe ...," Bagas tersenyum malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Terlihat sekali jika dia sedang salah tingkah.

'Bagas kalau sedang malu-malu begini, kok kelihatan imut, ya?' bicaraku di dalam hati.

Entah mengapa suasanya malah jadi berubah. Berubah menjadi canggung.

Astaga jantungku benar-benar hampir copot.

Kebahagiaan yang berlebihan itu ternyata membuat tubuh seperti kurang sehat, buktinya jantungku berdetak lebih cepat, aku bahkan curiga jika aku memiliki gangguan jantung.

Tapi gangguan jantung yang membuat bibir sulit menahan untuk tidak tersenyum.

"Aku boleh ikut lari pagi enggak, Mbak?" tanya Bagas.

"Bo...leh," sahutku dengan suara pelan dan ragu-ragu.

"Ok, yaudah aku ganti baju olah raga dulu, ya,"

"Iya, Gas!"

Bagas pun kembali masuk ke dalam rumahnya dan keluar lagi setelah menggunakan pakaian olahraga.

Pakian olah raga dengan atasan tanpa lengan itu membuat kadar ketampanan Bagas naik beberapa kali lipat.

Otot-ototnya sudah berbentuk nyaris sempurna. Dan aku yakin apa bila Bagas membuka bagain perut, sudah pasti mirip roti sobek.

Tidak seperti punya Papa yang mirip roti bakpao. 'Eh ... maaf, Pa ....'

"Gas,"

"Iya, ada apa, Mbak?"

"Enggak jadi, deh," ujarku.

Sebenarnya aku ingin memuji Bagas karena hari ini dia sangat tampan.

Tetapi kalau aku memujinya, pasti Bagas akan besar kepala. Jadi akan lebih baik kalau aku menahannya saja.

"Ayo!" ajak Bagas.

"Iya!" Kami berlari secara beriringan, sesekali kami saling mencuri pandang. Perasaan yang dulu sempat hilang kini muncul kembali.

Kalau begini caranya aku jadi malas pulang ke Jakarta, karena di Jakarta tidak ada Bagas.

"Mbak, kayak ngerasa ada yang aneh enggak?"

"Aneh? Aneh, kenapa?"

"Ya, aneh gitu ... secara setatus kita udah berubah. Mbak Mel, gak deg-degan dekat-dekat sama, saya?"

Sejenak aku menghentikan langkah kakiku.

"Kenapa berhenti, Mbak?"

"Cepek," jawabku. Kemudian aku pun mencari tempat untuk beristirahat.

Sebuah pohon pinus yang cukup rindang menjadi tempat sementara untuk berteduh.

Aku duduk dengan kaki yang kuluruskan ke tanah.

Bagas juga melakukan hal yang sama, dia duduk di sampingku.

"Mbak, masa sih, gak deg-degan sama sekali?"

"Eng—gak!" jawabku yang berbohong. Padahal jantungku hampir copot, dan tubuhku juga gemetaran, hanya saja aku berusaha untuk menyembunyikanya sebisa mungkin.

"Aku deg-degan tahu, Mbak!" kata Bagas.

"Hah? Kamu deg-degan?" tanyaku dengan raut wajah yang syok. "Kok, jujur amat," gumamku dengan suara pelan.

Aku saja sok-sokan bilang kalau aku tidak deg-degan.

Suasananya benar-benar seperti saat merasakan cinta pertama.

Padahal sebelumya aku biasa saja, kalau pun deg-degan gara-gara melihat wajah Bagas yang tampan, aku tidak separah ini.

Kemudian Bagas melanjutkan kalimatnya.

"Awalnya aku biasa saja pas belum jadian sama, Mbak Mel, tapi setelah aku udah jadi pacar Mbak Mel, aku kok malah jadi gak PD, ya?"

"Ah, masa sih Gas! Rilex aja kali, Gas!" ujarku dengan santai.

"Aku udah coba rileks, Mbak! Makanya aku berani jujur begini," kata Bagas.

"Oh, masa sih?"

Dan aku menjadi tersinggung, aku deg-degan tapi pura-pura tidak, semetara Bagas saja malah bicara jujur kepadaku?

"Gas, kamu nyindir aku ya?"

"Nyindir? Nyindir gimana maksudnya, Mbak?"

"Ya itu kamu ngomong deg-degan, padahal aslinya bohong, 'kan?"

"Serius, Mbak. Dan jujur ini kali pertama aku deg-degan duduk sama, Cewek!" kata Bagas.

Mendengarnya aku seakan terbang, dia sebegitunya menyukaiku ... aku sampai menahan senyuman.

"Ah, gak percaya, ah!" Aku pura-pura sewot.

"Mbak Mel, masih gak percaya?" Bagas pun segera meraih tanganku.

"Kalau masih gak percaya coba pegang dadaku deh, Mbak!" kata Bagas sambil menempelkan telapak tanganku di bagian dadanya.

"Gimana? Kerasa enggak deg-degannya?" tanya Bagas.

Dan kali ini bukan hanya jantungan Bagas yang deg-degan, tapi jantungku sebentar lagi juga akan copot!

Saat telapak tanganku menempel di bagian dadanya Bagas, kedua mata kami saling memandang.

Dan Bagas semakin mendekatkan wajahnya kearah wajahku.

'Astaga! Astaga! Jantung, oh jantung! Jangan lompat please ...!' batinku yang meronta-ronta.

Dan bibir kami saling bersentuhan.

Bersambung ....