webnovel

Masa Mudaku Kisah Cintaku

Aku jatuh cinta. Cinta terlarang dengan teman sekelas. Seseorang dengan semua perbedaan yang banyak dan sulit. Bisakah aku mempertahankan cinta ini? Tidak banyak angsa pelangi di kelas buaya karena ada satu dua rubah betina dari planet lain yang suka merundung junior mereka. Bukankah itu hal biasa dalam sekolah? Atau masalah utamanya ada pada Anggi sendiri? Bagaimana rasanya setiap tahun berpindah sekolah? Itu adalah yang selalu dirasakan Anggi, ngenes kata orang. Lalu, ketika kamu sudah merasa telah menemukan kehidupan baru dan memiliki beberapa teman yang mengerti dan nyaman akan hal itu. Tiba-tiba kamu harus pindah sekolah lagi? - cover is mine

Ningsih_Nh · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
314 Chs

MKC 33 P.A.T

Ana pergi ke Jogja. Jono dan dua sepupunya  sudah bertolak ke Surabaya lima jam setelah menerima raport, atau kemungkinan besar mereka pulang ke negara masing-masing. Stefie tentu saja kembali pulang ke habitat asal, Jakarta.

"Nggi...kayaknya Ujung Berung baru mau dimasukkan ke peta Indonesia. Butuh tiga tahun lagi supaya bisa disahkan oleh DPR RI." kelakar Budi sambil main PS melawan Wawan.

"Sialan lo Budi! Awas ya kalo besok gue jadi mudik, nggak bakal gue kasih peyem." kata gue lalu menendang bokong Budi.

"Halah...peyem doang mah gue nggak doyan." elak Budi

"Jangan salah. Peyem buatan nenek gue paling enak se-Indonesia Raya." jujur gue percuma karena cowok empat di depan gue tidak ada yang percaya.

Kita ada di rumah Wawan, lokasi paling strategis untuk melepas penat setelah seharian dipaksa kerja rodi. Selain suasana rumah sepi karena ibu Wawan kerja di toko baju yang baru pulang jam lima, sedangkan ayah Wawan seorang petani yang tidak tentu pulangnya, dua kakak perempuan Wawan sudah menikah muda diusia 18 tahun dan tinggal menetap di Kebumen, mengikuti suami.

Jadilah Wawan anak laki-laki kesayangan dan diharapkan kelak mampu mengelola warisan sawah yang sekarang ayahnya garap. Kisah klasik yang sama dialami oleh keempat cowok tersebut, nasib sebagai anak petani.

Tadi pagi, kita berlima mengira akan mengawasi panen di sawah ternyata kita diperbantukan untuk panen ayam pedaging di belakang sekolah. Empat cowok diminta membantu proses seleksi untuk tahap penimbangan ayam sebelum masuk ke truck muatan. Lalu gue, harus standby di kantor membantu administrasi karena orang yang harusnya bertugas sedanga ijin kepentingan keluarga sampai jam dua.

Tugas gue sederhana saja, membuat surat jalan muatan setelah proses penimbangan selesai dengan mencantumkan jumlah ekor ayam dan tonase. Lalu melaporkannya ke kantor kemitraan ayam pedaging bahwa sanya truck dengan nomor DO sekian telah selesai muat ayam dengan jumlah sekian.

Kita baru boleh pulang setelah jam tiga sore dimana pergantian shift dengan kakak kelas yang ditunjuk, lebih tepat korban seperti kami. Terlihat jelas dengan mimik mereka yang ogah-ogahan.

"Anggi...di dapur ada mie instan. Boleh minta tolong buatin? Kita capek, lelah, penat dan lapar." pinta Purnomo memelas. Mukanya merah kepanasan.

"Lima ribu per mangkok." tawar gue ogah-ogahan.

"Itu mie punya gue, gas punya gue, mangkok sendok punya gue...lo masih minta upah?" ledek Wawan, empunya rumah.

"Kalian kata gue nggak capek?" sembur gue. Lagian juga udah gue kira nggak bakalan cowok missking ini mau bayar.

"Ya...lo kan juga ikut makan Nggi. Khusus buat lo mie goreng rendang tuh. Kita kuah ajah." sahut Wawan lalu menjelaskan letak harta karun tersebut disimpan ibunya.

"Iya deh." decit gue mengalah. Lalu berjalan kearah dapur.

Untungnya nih untungnya, dapur rumah Wawan bersih terawat. Jelas terlihat kalau ibunya sangat menjaga kebersihan rumah. Gue jadi nggak kesal lagi kalau sudah lihat yang bersih-bersih begini.

Tiga puluh menit gue masak mie untuk lima mangkok.

Meletakkannya diatas meja makan kaca yang mengkilap. Tidak lupa gue sajikan nasi dari magicom dan kerupuk udang yang gue lihat di lemari sewaktu mengambil mie. Untuk ukuran penghuni rumah dengan jumlah tiga orang ibunya Wawan masak nasi terlalu banyak, atau mungkin Wawan sudah memberitahu ibunya kalau kita mau mampir menumpang makan.

"Lo masaknya enak Nggi...besok bikinkin lagi ya." cerocos Budi dengan mulut penuh nasi, berhamburan ke meja makan.

"Ogah. Masa makan mie instan terus, nggak baik untuk masa pertumbuhan." tolak gue. Membayangkan dua hari yang tersisa besok harus makan mie terus. Bukan karena gue alergi tapi apa tidak ada menu lain?

"Budi, cari belut ajah gih." perintah Firman.

"Gue? Lo juga kali ikutan." sanggah Budi tidak terima.

"Iya... ntar sore kita cari bareng. Demi melestarikan koki daruratkita dari aksi mogok." tambah Purnomo yang dibalas anggukan oleh Wawan.

"Nah gitu dong. Apa kalian nggak bosen makan mie tiap hari?" tanya gue iseng saja.

"Enggak tuh." jawab mereka komak.

Jadi begitulah hari berikutnya kita makan dengan menu andalan, rica-rica belut. Setelah bergelut dengan ayam dan hitungan yang membuat mata gue panas karena hari ini panas bukan main teriknya sementara kipas angin sama sekali tidak membantu sedikit pun. Tanpa bisa ditawar keringat membasahi sekujur tubuh.

"Belutnya cuman dapat sedikit. Banyak yang nyari Nggi." lapor Budi menenteng kresek hitam berisi belut yang sudah disembelih  dan dicuci bersih.

"Nggak apa-apa. Ibunya Wawan sudah masak gulai nangka dan sambal terasi." sahut gue setelah menengok dapur dan isi lemari makan.

Wawan, sang tuan rumah tampak tidak peduli. Dia, Firman dan Purnomo sibuk bermain PS sejak pulang dari kandang.

"Wuih...kalo gitu belutnya buat besok saja ya Wan. Nitip di kulkas lo ya." teriak Budi langsung lari ke belakang.

"Ya." sahut Wawan malas. Masih sibuk main PS tanpa menghiraukan perutnya yang berbunyi keroncongan sejak tadi. "Nggi...bikinin mie goreng dong." teriak Wawan lagi saat gue baru sampai pintu dapur, sontak membuat gue geram.

Tetapi apalah daya jika tuan rumah sudah meminta, gue yang menumpang istirahat hanya bisa menurut. Sedangkan Budi sudah lahap makan sejak lima menit yang lalu.

"Enak banget Nggi. Cobain sini." tawar Budi dengan muka berkeringat efek kepedesan.

Ana : Lo mau gue bawain oleh-oleh apa?

Anggi : Seikhlasnya aja.

Chat dari Ana cuman membuat gue keki. Dia enak liburan sedangkan gue sibuk memasak mie. Dunia memang tidak selebar daun kelor.

***

Kepala gue terantuk kaca dingin dan gelap, sadar gue masih didalam kereta dengan ibu disamping masih tertidur sedangkan ayah ada di kursi depan, menuju pulang.

Perjalanan dimulai dari Prembun menuju Gambir. Dilanjutkan naik KRL ke Bandung. Lalu disanalah paman Dani, anak almarhum kakek Danu menunggu menjemput kami pulang ke rumah nenek di Ujung Berung.

Bagi gue pulang berarti balik kampung. Pulang berarti bertemu nenek kakek juga Anggoro, adik kecil gue yang mungkin sekarang sudah tidak kecil lagi.

Benar saja, saat kami keluar dari stasiun KRL Anggoro berdiri diluar mobil. Kemudian langsung berlari memeluk ibu. Iya hanya ibu saja, tempat segala rindu yang selalu membuat Anggoro sebal ke gue karena dia pikir ibu lebih memilih mengasuh gue dari pada dirinya. Andai saja kau tahu apa yang sebenarnya terjadi wahai Anggoro, adikku tercinta. Lo pasti akan memilih tetap tinggal dibawah ketek nenek dan kakek.

"Bu...bawa mainanyang Roro pesen?" rengek Anggoro setelah melerai pelukan.

"Oh iya...ibu lupa Roro. Tadi berangkatya mendadak jadi." jelas ibu. Gue tahu dengan pasti kalau ibu hanya memberi alasan palsu.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/