webnovel

Lean On You

Hujan turun dengan deras tanpa permisi, seolah langit ikut menangis setelah menyaksikan kehidupan pahit gadis itu. Menghujam seluruh tubuhnya, membuatnya basah kuyup dalam hitungan menit. Tidak ada satu pun hal yang membuatnya berhenti berlari, seolah memang ada kebahagiaan di akhir langkahnya nanti. Suara decitan mobil terdengar sangat jelas, ujung mobil nyaris menabrak tubuhnya yang sekarang berdiri diam di tengah jalan, tubuhnya bergetar karena kedinginan dan terkejut dengan kejadian yang sangat cepat. Bukan kebahagiaan yang menunggunya di langkah terakhir.

Ripanii · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
10 Chs

8. Trust Me

            Gerombolan mahasiswa keluar kelas, baru saja menyelesaikan mata kuliahnya yang sudah dimulai sejak 2 jam yang lalu. Bersiap untuk menikmati jam kosong dengan nongkrong di kantin untuk menyegarkan mata dan mengisi perut atau nongkrong di perpustakan untuk membaca atau mengerjakan beberapa tugas, atau ongkrong di sekretariat oraganisasi mereka. Termasuk Ghani yang berniat menghabiskan jam kosongnya untuk melakukan beberapa tugasnya sebagai ketua umum Astro Club.

"Aku temenin kamu ya?" ujar Seli, dia berjalan cepat untuk mengimbangi langkah Ghani yang terlihat lebih santai dibanding Seli, mungkin karena panjang kaki yang berbeda menjadi penyebab hal itu. Ghani tidak menanggapinya, dia lebih memilih fokus berjalan dan memikirkan makan siang apa hari ini.

Dia merogoh saku celananya untuk membawa ponsel yang sejak tadi dia matikan. Bukan apa-apa, Reno terus membombardir dirinya dengan pesan dan juga panggilan telepon karena sahabatnya itu kesiangan bangun pagi ini, meminta Ghani untuk berbohong, mengatakan bahwa Reno tidak akan hadir karena sakit dan bahkan awalnya meminta Ghani untuk menandatangani daftar hadirnya, membuat Ghani merasa jengah. Dia yang salah, dan dia harus bertanggungjawab kan?

Beberapa pesan masuk, Ghani sudah pasti ada dalam urutan, tapi nama Reina yang masuk dalam orang-orang yang mengiriminya pesan membuatnya merasa senang dan membuatnya tersenyum, menarik sudut bibirnya lebar-lebar, membuat Selli berjinjit untuk berusaha mencari tahu hal apa yang membuat Ghani tersenyum selebar itu. Ghani bukan orang yang susah tersenyum, tetapi melihat siapapun yang tersenyum atau tertawa pada ponsel akan terlihat aneh.

"Siapa sih?" tanyanya, Selli tidak bisa melihat jelas tulisan-tulisan yang ditampilkan di layar ponsel. Ayolah, dia sedang berjalan cepat lalu harus berjinjit untuk melihat itu, bagaimana dia bisa melihat dengan jelas.

"Calon pacar gue," jawabnya, Ghani mendahului Selli beberapa langkah yang masih termenung dengan jawaban Ghani, calon pacarnya? Jangan bohong

Tanpa membaca terlebih dahulu beberapa pesan yang Reina kirim, Ghani langsung menghubungi nomor telepon Reina. Tidak menunggu lama untuk telponnya diterima, mungkin hanya beberapa detik Reina langsung menerima telponnya.

"Haii" Sapanya sebagai salam pembuka.

"Hai apanya, kenapa tadi ga bisa dihubungi sih" Dari nada bicaranya, gadis itu sedang sangat kesal.

"Kenapa? Kangen? Mau dijemput?" tanyanya,

"Apanya yang kangen, ga ada yang kangen"

"Iya deh, aku percaya kamu kangen saya kan," dia tidak bertanya lagi, ini mutlak.

"Siapa? Aku kan yang pacar kamu," Ujar Selli keras yang tiba-tiba saja sudah berjalan beriringan dengannya.

"Ibu kamu lagi disini, mending cepet ke sini, jangan pacaran mulu" ujarnya, menekan tiga kata terakhir. Gadis itu langsung menutup telpon tanpa menunggu lagi jawaban Ghani. Yah meskipun Ghani memang berniat langsung pergi menuju apartementnya setelah Reina mengatakan jika ibunya ada di sana, yang otomatis mengetahui ada seseorang di apartemennya, apalagi seorang gadis.

***

Ghani sudah berdiri di hadapan ibunya sekarang, dengan bulir-bulir keringat yang menempel pada kulitnya karena berlari ke parkiran kampus, mengendarai motor dengan sangat kencang, berlari lagi dari parkiran apartement menuju flat apatementnya. Dia mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, meraup lebih banyak oksigen.

Ibunya bukan orang yang menakutkan sebenarnya, tetapi fakta bahwa dia menyembunyikan seorang gadis di flat apartementnya mungkin bisa mengubah menjadi lebih menakutkan dan juga dia merasa khawatir dengan gadis itu. Ibunya duduk di kursi tamu dengan tangan yang terlipat didepan dada. Ghani melirik sekilas pada Reina yang memandangi jendela tanpa ekspresi, mungkin kekhawatirannya tidak berguna.

"Kenapa lari-lari?" tanya ibunya, dia melepaskan lipatan tangannya di depan dada dan meletakannya di samping tubuhnya. Ghani hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kalian ini pacaran?" tanyanya lagi.

"Iya"

"Engga"

Jawaban berbeda pada saat yang bersamaan. Reina menyipitkan matanya tajam pada lelaki itu yang juga menatapnya dengan mimik muka yang sulit diartikan. Sungguh, Reina tidak mengerti, jelas-jelas tidak ada hubungan apapun, dan tidak akan pernah ada hubungan apapun. Jadi kenapa laki-laki itu mengatakan hal yang gila.

"Apa ini?" tanya ibunya lagi yang bingung dengan jawaban yang saling berbanding terbalik.

"Dia belum siap dikenalkan, jadi yah...." Jawabnya, menggantungkan kalimatnya.

Ghani menoleh pada gadis itu yang makin menatapnya tajam, mungkin ini lebih mudah kan? Membantu pacar dibandingkan dengan membantu orang asing? Yang benar-benar baru kenal beberapa minggu yang lalu? Dia tahu ibunya orang yang baik, dia tidak akan mengusir Reina seperti tokoh ibu antagonis di dalam drama. Mungkin jika dia mengaku berkenalan baru-baru ini, mungkin ibunya lebih memilih memberikan beberapa lembar uang untuk mencari timpat tinggal untuk gadis itu, dan Ghani tidak mau hal itu terjadi, dengan dia tinggal disini, dia akan semakin dekat kan?

Ghani mengangkat sudut bibirnya, membayangkan hal itu terjadi, dia ingin lebih dekat. Dia egois ya? Mungkin sedikit, hal lain yang dia pikirkan juga, keselamatan Reina, siapa yang tahu kan gadis itu bertemu dengan orang macam apa nanti, bersama dengan dirinya terasa lebih aman.

"Engga tante, dia boong, kita..."

"Bu, aku mau ngomong berdua dulu sama Reina ya bu," Ujarnya, memotong kalimat yang akan diucapkan Reina. Dia menarik Reina pelan menuju dapur, Reina tidak menolak sama sekali, dia juga ingin memarahi lelaki itu sekarang. Atas dasar apa dia berbicara seperti itu.

"Kenapa deh? Udah ngebohong kamu bakal ngebohong lagi?" bisiknya langsung setelah tiba di tempat yang menurutnya tempat yang aman, yah meskipun harus tetap berbisik karena flat apartement ini tidak terlalu luas, bahkan dari tempatnya berdiri Ghani bisa melihat ibunya yang duduk di kursi ruang tamu dengan ponsel yang ada di tangannya.

"Kamu mau diusir?"

Reina tidak langsung menjawab, amarahnya yang ingin ia keluarkan tiba-tiba menghilang. Dia belum mendapat pekerjaan, meminta pada orang tuanya? Dia sudah menolak sejak awal. Jika dia diusir, dia tidak tahu kemana dia harus pergi.

"Denger deh, kalo kamu bilang kita baru ketemu baru-baru ibi, saya yakin deh, kamu bakal diusir. Beda lagi kalo kamu ngaku pacar saya," jelasnya, dia mengatakan hal yang sesungguhnya tetapi sedikit memodifikasi, menurutnya tidak masalah. "Sekarang kamu Cuma perlu bilang kalo kamu pacar saya, nanti saya ceritain semunya ke ibu saya,"

"Engga deh, ini ga bener, saya ga mau,"

"Yaudah deh gini," Ghani melirik sekilas pada ibunya, mengecek apa ibunya memperhatikan dan menguping mereka berdua atau tidak, dan ibunya masih dalam posisi yang sama, suara mereka mungkin benar-benar tidak bisa terdengar. "Kamu udah ada rencana tinggal di mana kalo diusir?"

Lagi-lagi Reina tidak langsung menjawab pertanyaan Ghani. "Tapi cuma ini jalan keluarnya?"

"Iya, percaya deh sama saya," ujarnya, dengan senyuman yang terlukis, seolah meyakinkan kebimbangannya yang bersatu dengan rasa kemenangan? ah dia suah menjadi laki-laki buruk.

-TBC-

Halooo, makasih udah baca, wkwk