webnovel

Lean On You

Hujan turun dengan deras tanpa permisi, seolah langit ikut menangis setelah menyaksikan kehidupan pahit gadis itu. Menghujam seluruh tubuhnya, membuatnya basah kuyup dalam hitungan menit. Tidak ada satu pun hal yang membuatnya berhenti berlari, seolah memang ada kebahagiaan di akhir langkahnya nanti. Suara decitan mobil terdengar sangat jelas, ujung mobil nyaris menabrak tubuhnya yang sekarang berdiri diam di tengah jalan, tubuhnya bergetar karena kedinginan dan terkejut dengan kejadian yang sangat cepat. Bukan kebahagiaan yang menunggunya di langkah terakhir.

Ripanii · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
10 Chs

2. It's You

Semilir angin pagi menerbangkan ujung garden sehingga tidak diam di tempatnya. Mempersilakan masuk dinginnya udara ke ruangan yang didominasi warna putih dan mencoba mengusir bau khas antiseptik, menggantikannya dengan udara bersih tanpa obat. Seorang gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit membuka kelopak matanya perlahan, mencoba menerima cahaya yang langsung masuk ke matanya.

Dia berdiam untuk sesaat, mengingat alasan dia ada di ruangan ini dengan pakaian yang sudah berganti menjadi baju pasien rumah sakit. Tidak ada orang lain di ruangan ini, membuatnya menutup kembali kelopak matanya, mengasihani dirinya sendiri yang mengharapkan ada seseorang yang menemaninya, menunggunya dengan khawatir.

"Gue izin dulu deh, belum sadar orangnya," suara seorang lelaki yang diiringi suara langkah kaki lalu disusul dengan suara pintu yang tertutup. Reina membuka matanya yang langsung disambut dengan wajah seorang lelaki yang berdiri di samping ranjangnya dengan ponsel yang masih setia menempel di telinga sebelah kanan. "Nanti gue telpon lagi" ujarnya lagi, menutup panggilannya.

"Siapa?" tanya Reina datar sebelum lelaki itu melangkah menuju pintu untuk memanggil dokter.

"Ghani," Jawabnya

"Iya siapa, saya ga kenal kamu," ujar Reina dingin, dia tidak perlu nama orang yang ada di sampingnya ini, dia hanya perlu suatu alasan kenapa lelaki itu ada disini. Reina mendudukan tubuhnya, mencoba mencabut infus yang masih menempel di tangan kanannya.

"Kenapa mau di cabut? Kamu harus pulih dulu," ujar lelaki itu, mencoba menghentikan gerakan tangan Reina, tetapi terlambat karena infusnya sudah terlepas sekarang. "Setidaknya kamu perlu diperiksa dokter lagi, kamu udah pulih atau belum." Ucapnya lagi yang masih tidak didengarkan oleh gadis berambut hitam sebahu itu yang sekarang menurunkan kakinya, menemui lantai keramik berwarna putih.

"Kamu siapa? Saya nanya itu," manik matanya menatap dingin kedua mata milik lelaki yang berdiri dihadapannya.

"m... saya yang hampir nabrak kamu," jawabnya

"Oh," jawabnya singkat seolah tidak peduli. Ya memang, entah dia akan tertabrak atau tidak dia sangat tidak peduli. "Baju saya mana?" Reina masih menatap dingin lelaki dihadapannya yang sekarang mengerutkan keningnya, mungkin merasa aneh dengan sikap santai gadis bermata bulat itu setelah kejadian sangat mengejutkan tadi malam. "Baju saya mana?" tanyanya lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban.

***

Ghani menjalankan mobil yang dia tumpangi sangat pelan, mengambil jalur dibahu jalan, matanya menatap fokus pada gadis dengan gaun putih selututnya yang masih sedikit basah, gadis itu berjalan di trotoar tanpa alas kaki menjadikannya objek tatapan pada beberapa orang yang berjalan di trotoar yang sama.

Gadis itu selalu menolak apa yang ditawarkan Ghani. Mengisi perut terlebih dahulu sebelum pulang, dia menolak. Ghani membelikannya baju dan sandal di toko terdekat agar gadis itu merasa nyaman, dia menolak. Mengantarkannya ke rumah dengan mobil, dia juga menolak. Gadis itu terus menolak seolah membangun tinggi-tinggi pembatas antara gadis itu dan orang-orang yang peduli padanya.

Ghani hanya merasa bertanggung jawab, dan merasa kasihan? Sorot mata gadis itu yang berbicara, sedingin apapun gadis itu menatap Ghani ada sedikit sorot mata sedih di sana yang ditutupi gadis itu.

Dia ingat, gadis itu yang dia lihat di perpustakaan kemarin, yang menjawab pertanyaan Reno dengan nada suaranya yang datar dan tatapannya yang dingin, membuat Reno mengatakan celaan pada gadis yang tidak peduli dengan amarah kakak tingkatnya, 'Ha? Kedisiplinan gagal ngedidik mahasiswa baru, ga akan ada cowo yang kuat deket sama dia' ujar Reno waktu itu setelah Reina melangkah menuju meja yang lain.

Gadis itu berbelok ke jalan sepi yang ditumbuhi pohon-pohon di sisi-sisinya. Ghani memarkirkan mobilnya cepat, berlari di jalan yang ditempuh gadis itu, tidak mau kehilangan jejak gadis yang hampir saja ditabraknya tadi malam. Ghani memelankan langkah kakinya setelah matanya menangkap tubuh gadis yang dia tahu bernama Reina itu.

Gadis itu duduk di kursi taman menghadap kolam kecil buatan. Ghani terus melangkah perlahan, berusaha untuk tidak menciptakan bunyi, melangkah menuju kursi taman lain yang sejajar dengan kursi yang Reina duduki sehingga dari sudut ini, dia bisa melihat sisi wajah sebelah kanan Reina. Tidak ada yang dia lakukan, hanya duduk dan menatap langit yang hari ini terlihat lebih cerah.

***

Matahari pagi kembali menyapa, menciptakan semburat berwarna jingga di ufuk timur akibat pembiasan cahaya. Memberikan pemandangan indah pada setiap manusia yang sudah terbangun dari mimpinya, seolah memberikan ucapan semangat untuk menjalani hari yang melelahkan.

Reina memeluk dirinya sendiri saat angin pagi menyapa kulit putihnya. Matanya masih fokus memandangi matahari yang muncul malu-malu melalui jendela besar di kamarnya, tempat baginya untuk mengamati langit dan segala fenomena yang terlukis disana. Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang, terlalu lelah dengan hidup yang dia jalani.

Suara-suara aneh terus mengusiknya, menyalahkan dirinya dengan apa yang terjadi, mengasihaninya yang begitu menyedihkan. "Aku tahu," ucapnya datar, terlalu lelah.

***

Reina turun dari bus kota tepat di halte yang berada di depan kampusnya. Beberapa meter dari gerbang masuk, netranya disambut dengan jajaran stand yang dipenuhi oleh beberapa mahasiswa. Sebenarnya dia tidak ingin melewati stand-stand ini, tetapi tidak ada jalan lain yang dia tahu.

Stand ini diisi oleh mahasiswa dari club-nya masing-masing. Standnya didesain sedemikian rupa sehingga bisa menarik mahasiswa baru. Reina hanya melirik sekilas pada nama club yang terpampang di depan stand tanpa tertarik untuk mendekati. Hingga langkahnya terhenti saat matanya melihat gambar hal yang dia suka, Bintang, Tata surya, dan segala hal tentangnya. 'Astro Club' nama yang tertera di depan stand. Standnya tidak terlalu meriah, hanya warna hitam sebagai latar lalu ditempeli gambar benda-benda langit.

"Mau daftar?" tanya seorang perempuan yang berdiri di hadapannya, tangannya menyodorkan kertas berupa brosur mengenai club ini. "Kalo mau gabung, kamu cukup daftar ke link yang ada di brosur ini," ujarnya lagi karena tidak mendapatkan jawaban dari gadis yang hanya menatapnya tanpa ekspresi.

***

Ghani membaca notulensi dari rapat yang diadakan kemarin, hasil yang diputuskan anggotanya untuk program kerja club yang dia ketuai. Kemarin keputusan yang bodoh memang, dia memilih mengikuti dan memperhatikan gadis yang hampir ditabraknya sampai gadis itu kembali ke rumahnya, seperti penguntit.

Gadis itu, Reina menghabiskan waktu berjam-jam duduk di tepi danau dan mengamati langit, seolah tidak peduli dengan panas yang akan membakar kulitnya. Satu hal yang mengganggu pikiran Ghani, dia khawatir gadis itu akan bunuh diri, alasan yang membuatnya memilih untuk mengikuti gadis itu. Kakaknya seorang psikolog, membaca sedikit buku psikologi koleksi kakaknya membuatya sedikit paham tentang itu.

Seseorang masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi, menghembuskan nafasnya panjang lalu membaringkan tubuhnya di kursi panjang yang ada disudut ruangan bercat abu itu. "Panas banget gila," keluhnya.

"Gimana? Banyak yang daftar?" tanya Ghani, menoleh pada gadis yang terbaring di kursi panjang dengan tangannya yang menekan-nekan remot AC.

"Lumayan, beberapa ada yang udah daftar," jawabnya. Ghani hanya menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban dan kembali membaca kertas-kertas yang ada di hadapannya

"Lo gapapa Ghan?" Ghani melirik sekilas pada gadis itu yang sekarang sedang terduduk manatapnya khawatir. Dia memang izin kemarin beralasan karena kecelakaan. Pina, nama gadis itu, salah satu anggota clubnya yang menjabat sebagai sekretaris.

"Gapapa, gue yang hampir nabrak orang."

***

Penerimaan anggota baru Astro Club sudah ditutup seminggu yang lalu, dan hari ini menjadi hari perdana melakukan perkumpulan bagi anggota baru. Tidak semuanya dipilih memang, anggota baru harus melakukan beberapa kegiatan selama sebulan ini. Tidak terlalu banyak anggota yang bergabung, dari ribuan mahasiswa baru hanya ada sekitar 40 orang mahasiswa yang mendaftar.

Ghani sebagai ketua umum Astro Club menjadi pengisi materi hari ini, untuk memperkenalkan club dan beberapa kegiatan yang akan anggota baru lakukan. Hingga netranya menangkap seorang gadis yang beberapa minggu lalu dia kenal, Reina, gadis itu duduk di barisan paling belakang, memperhatikannya tanpa ekspresi. Oh, dia suka Astronomi.

TBC