Pukul 03.30 sore adalah waktu yang sangat dinanti-nantikan oleh para siswa SMA S, yakni waktu bel pulang sekolah berbunyi. Raka termasuk salah seorang siswa yang sangat menantikannya, bersama ketiga teman barunya, Gilang, Adit dan Lingga. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, keempatnya langsung saja menyambar tas dan melesat keluar kelas.
"Akhirnya balik juga...pegel gue seharian ga ngapa-ngapain di kelas," seru Gilang seraya merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. "Hahahaha, maklumlah bro. Masih siswa baru, cuma pengenalan sekolah doank," celetuk Lingga membuat keempatnya tertawa renyah. "Btw, kalian balik gimana bro? Gue sih dijemput kakak gue, belom boleh naik motor sendiri soalnya," tanya Raka seraya nyengir malu karena dia harus diantar-jemput oleh kakaknya. "Kagak usah malu ngapa Ka. Gue juga dijemput kok sama bapak gue," Adit berkata dengan santai sambil mengecek pesan di smartphone miliknya. "Hehehehe, yo'i bro, gak usah malu-malu. Kalo gue sih, bareng sama Lingga, soalnya gue bawa motor," timpal Gilang yang disetujui anggukan kepala oleh Lingga.
Tiba-tiba, smartphone di saku Raka berdering keras saat mereka mencapai koridor utama. Raka langsung saja menarik keluar ponselnya dari saku dan melihat nama Mbak Rana tertera di layar. "Om swastyastu, Mbak Rana," Raka mengucap salam, lalu mendengar sang kakak mengatakan sesuatu padanya. "Kenapa bro? Udah dijemput?" Tanya Lingga yang melihat Raka berhenti berjalan sambil menelpon seseorang. "Oh, iya nih, gue udah dijemput bro. Kalo gitu gue duluan ya bro," jawab Raka dengan senyuman lebar. "Ok, tiati bro," "Okelah, ngati-ati lur," "Monggo lur, ngati-ati," ujar ketiga teman Raka saat melihat Raka berlalu menuju gerbang sekolah.
Di gerbang sekolah, Raka celingukan mencari dimana mobil kakaknya diparkir, sebelum akhirnya ia melihat kakaknya melambaikan tangan di depan sebuah warung. Raka segera saja mendekat, tapi, mendadak ia merasakan ada seseorang yang memegang lengan bajunya. Raka spontan menoleh, dan menemukan seorang perempuan berparas oriental tengah menatapnya dengan bibir dimajukan beberapa senti, Diana.
"Apa? Gua mau balik n****," ucap Raka sedikit kasar karena masih merasa jengkel pada gadis itu. "Ikut gua bentar, ada yang pengen gua omongin," Diana berkata dengan dingin, lalu menyeret paksa Raka menuju tempat yang agak sepi. Raka menoleh ke sekitarnya, melihat bahwa posisinya sedang tidak diuntungkan karena sekarang mereka berada di sebuah gang yang agak terpencil. Raka melangkah mundur saat melihat Diana menunduk di depannya, dan dibelakang gadis itu muncul sesosok makhluk berwujud seperti wanita muda yang tubuhnya seolah terbuat dari kabut.
"Mau apa lo ngajak gua kesini? Gua udah dijemput, bego!" maki Raka yang kesal karena makhluk bernama Nyalawadi itu muncul di belakang Diana. "Tenang aja, Raka, gua cuma mau nanya beberapa hal ke lo, iya kan, Nyi Ambarini?" ujar Diana yang mencoba kalem, meski dalam hati sebenarnya ia merasa dongkol. "[Bagaimana caranya kau memiliki tenaga dalam sebesar itu, bocah? Ditambah, saat aku atau setan lain menyentuhmu, tenaga dalammu pasti akan membakar kami sampai hangus,]" ucap Nyalawadi bernama Nyi Ambarini itu. Raka menaikkan sebelah alisnya saat mendengar kata-kata Nyi Ambarini, lalu mendengus kesal.
"Mana kutahu bangke. Emangnya gue harus tau gitu kalo gue bisa begini-begitu?! Gak! Gua ga tertarik sama yang begituan, pe'ak! Jangan ganggu gua!" Raka memaki lebih keras, lalu membalikkan badannya dan berjalan menjauhi Diana. Akan tetapi, Diana menahan Raka dengan cara memegang tangan pemuda itu dengan erat. "Lepas!" Bentak Raka sambil menyentakkan tangannya, meski gagal karena Diana menggunakan kekuatan milik Nyi Ambarini. Kekesalan Raka semakin memuncak hingga mendadak sebuah simbol berbentuk setengah bagian matahari muncul tepat di tengah dahinya.
Bersamaan dengan munculnya simbol di dahi Raka, suhu di sekitar mereka mendadak naik secara drastis, diikuti melelehnya sampah-sampah plastik dan besi-besi yang berpendar merah seolah sedang dipanaskan. Diana langsung saja melepaskan tangan Raka dari genggamannya. Nyi Ambarini sendiri terlempar kembali ke alamnya karena ledakan tenaga dalam yang berpusat dari tubuh Raka. Tatapan pemuda itu berubah nyalang, seolah terdapat api yang membara di dalam bola matanya. Akhirnya, Raka memejamkan matanya, dan suhu di sekitar mereka kembali normal diikuti menghilangnya simbol di dahi Raka.
"Jangan berani-berani lo ganggu gua lagi kalo lo masih mau jadi pemilik Nyalawadi itu, atau lo bakal rasain akibatnya!" Ancam Raka kesal sambil setengah menoleh. Diana hanya bisa meneguk ludah kasar melihat betapa Raka tidak main-main dengan ancamannya. Raka lalu berjalan pergi keluar dari gang itu, dan segera saja menuju ke lokasi dimana mobil kakaknya terparkir.
~Kuntawijaya~
"Hyang Widhi...dari mana aja kamu dek? Seragam sekolahmu sampe kotor begitu, mesti habis gelud (berkelahi) meneh to?" tanya Rana bertubi-tubi saat melihat adiknya datang setelah diseret seorang anak perempuan yang kelihatannya seumuran dengan Raka. "Ngapunten (maaf) mbak. Aku emosi tadi, jadinya begini....." Raka menjawab dengan lesu, kepalanya tertunduk dalam. Rana berkacak pinggang sambil meneliti penampilan adiknya. Seragam sekolah yang sudah susah-susah ia setrika di malam hari demi adiknya sekarang terlihat kumal, meski wajah adiknya terlihat normal-normal saja. Gadis 20 tahun itu lalu menghela nafas dalam, dan menepuk kepala Raka pelan.
"Yo wes, sek penting kowe rapopo, dhik. (Ya udah, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa dek.) Ayo pulang, Bunda nanti pulang malem, jadi kita disuruh makan di luar aja," ucap Rana dengan nada lembut seraya tersenyum. Raka mengangguk pelan dan masuk ke dalam mobil diikuti Rana yang duduk ke kursi pengemudi. Raka memasang earphone dan mulai mendengarkan lagu saat Rana mulai mengemudi ke arah rumah mereka. Rana mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, dan sesekali melirik kearah adiknya yang hanya diam seraya menatap keluar jendela. Entah mengapa Rana merasa bahwa suasana hatinya memburuk saat melihat Raka yang sedang badmood entah karena apa.
~Kuntawijaya~
"Dek, mau makan apa?" Tanya Rana saat ia melihat kearah jarum jam di dinding yang menunjukkan waktu pukul 8 tepat. Raka yang kebetulan sedang rebahan di karpet sambil bermain game menoleh kearah kakaknya, lalu mencubit dagu dengan ekspresi sok imut. "Aku pengen yang ada kuahnya, mbak. Soto kayaknya enak," jawab Raka setelah agak lama. Rana menatap Raka sedikit bingung, lantas, iapun membatin, 'Tumben dia pengen soto. Pasti ada apa-apa nih,'.
"Oke, beli di deket Malioboro aja gimana? Sekalian mbak pengen beli tempe garit, hehehehe," ucap Rana menyarankan. Mata Raka langsung mengeluarkan binar ceria saat Rana mengatakan tempe garit, karena itu merupakan makanan kesukaannya. Apalagi tempe garit yang digoreng sampai garing dan agak gosong, uhh! Raka sampai ngiler saat membayangkan rasa asin gurih makanan favoritnya itu. Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan berlari menubruk kakaknya.
"Ayo mbak! Let's go kita cari makan, teheeee...." Raka berkata dengan disertai cengiran lebar terpampang di wajahnya. Rana hanya bisa terkekeh saat melihat salah satu kelakuan ajaib adiknya itu, lalu menyentil dahi Raka. "Ganti baju sama cuci muka dulu sana! Mukamu kucel kayak habis dicelup ke comberan," ucap Rana setengah tertawa saat melihat Raka mulai cemberut. "Yo wes, aku ganti baju sek ya mbak," ujar pemuda yang baru saja menginjak SMA itu sebelum melesat cepat ke kamarnya untuk berganti baju. Rana sendiri masih tertawa sambil berjalan naik menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Raka.
Beberapa menit kemudian, dua bersaudara itu telah tiba di sebuah rumah makan di daerah Malioboro untuk membeli makan malam mereka. Keduanya sepakat untuk memesan menu yang sama, yakni dua porsi besar soto ayam dan dua piring tempe goreng garit serta dua gelas teh manis hangat. Rumah makan yang mereka datangi ini cukup luas dan lega sehingga bisa menampung banyak pengunjung. Terdapat tiga area yang bisa mereka pilih, yaitu area outdoor, indoor, dan area lesehan yang memungkinkan pengunjungnya untuk duduk di atas karpet dengan meja di depan mereka. Rana sengaja memilih area lesehan yang terletak agak di tengah karena mereka bisa menunggu sambil bermain hp dengan WiFi gratis yang disediakan oleh pihak rumah makan, dan memakan beberapa jajanan yang bisa dibayar nanti bersamaan dengan saat membayar makanan mereka.
"Wah, udah lama nggak kesini, jadi kangen rasanya makan disini, iya nggak mbak?" Ucap Raka setelah ia duduk bersila sambil merebahkan kepalanya di meja dengan berbantalkan tangannya sendiri. "Iya, kira-kira udah berapa bulan kita nggak kesini ya? Kayaknya udah dari pas kamu kelas 9 semester 1 deh dek," sahut Rana sambil mengambil sebungkus kerupuk bawang dan membukanya. "Nggak yo, terakhir itu pas Mbak Rana menang kompetisi di Sragen dulu. Pas Mbak Rana pulang Bunda langsung ngajak kesini," sanggah Raka saat mencomot beberapa keping kerupuk bawang dari bungkus yang Rana pegang. "Iyo po? Aku kok lali to dhik? (Aku kok lupa sih dek?)" Tanya Rana setengah jahil sambil diam-diam memotret adiknya yang mengunyah kerupuk bawang itu dengan malas, yang langsung saja dikirimkan pada ibunda mereka.
"Huuu...., Lalen, (Dasar pelupa,) awas pikun lho mbak," cibir Raka yang menyadari bahwa kakaknya diam-diam memotretnya. "Aku nggak lalen dek! Huuu, ra sopan," balas Rana dengan bibir yang dimajukan sedikit. Meski akhirnya mereka berdua terkekeh bersamaan karena melihat foto yang dikirim bunda mereka lewat aplikasi chatting di hp Rana. Tak lama kemudian, makanan mereka pun datang, dan mata keduanya tampak berbinar melihat semangkok soto ayam yang kuahnya masih mengepulkan uap, disertai beberapa potong jeruk nipis di samping, dan sepiring tempe garit yang digoreng garing.
"Wah! Aku kangen banget rasa soto disini, hehehehe," gumam Rana setelah mencicipi sesendok soto ayam miliknya. "Hilih, lebay mbak!" Ucap Raka sambil memakan sepotong tempe. Wajah Rana sedikit merona malu, lalu keduanya melanjutkan makan dengan tenang.
Tiba-tiba, Raka merasakan sebuah sensasi seperti disengat listrik saat seorang anak perempuan lewat di belakangnya. Raka spontan menoleh kearah dimana anak perempuan itu lewat bersama teman-temannya, dan sejenak ia terpesona saat menatap paras ayu perempuan itu. Tampak olehnya, seorang anak perempuan manis dengan kulit kuning langsat dan wajah manis layaknya seorang putri keraton. Sekilas, Raka merasakan tenaga dalam yang familier dalam diri perempuan itu, yang membuatnya merasa harus waspada terhadapnya. Akan tetapi, wajah manis perempuan itu berhasil membuatnya tertarik untuk mencari tahu lebih dalam soal perempuan itu. Dengan menggunakan sedikit kemampuan miliknya, Raka berhasil mengetahui bahwa sebenarnya perempuan itu bersekolah di sekolah yang sama dengannya, membuat pemuda itu tak kuasa menahan senyumnya.
"Dek, ngeliatin apa? Kok kayaknya sibuk bener," celetuk Rana tiba-tiba, membuat Raka terkesiap dan meneguk habis teh manis di gelasnya. "Bukan apa-apa kok mbak, hehehehe," ujar Raka dengan sebulir keringat jatuh dari pelipisnya. Rana mengembangkan senyumnya, sebuah senyuman yang membuat Raka merasakan hal yang buruk. "Bukan apa-apa kok diliatin terus? Naksir ya dek?" Rana kembali menggoda Raka yang wajahnya menjadi semakin mirip buah tomat. Raka mengalihkan pandangannya dari Rana, lalu tanpa sengaja beradu pandang dengan anak perempuan tadi. Sekarang hanya satu hal yang terlintas dalam benak Raka, siapakah anak perempuan manis itu?
Bersambung