webnovel

Kuntawijaya The Legend of Vasavi Shakti

"Masa SMA seharusnya menjadi masa yang indah dan tak terlupakan, namun, kehidupan normal yang selama ini aku dambakan hilang bak ditiup angin topan—". Tak pernah sekalipun terlintas di benak Rakai Yudha Taksaka bahwa kemampuannya dalam melihat hal-hal di luar nalar akan membawanya menuju masalah yang jauh lebih serius. Bertemunya pemuda itu dengan seorang perempuan bernama Sembadra ternyata telah membuka kunci menuju sebuah masalah baru yang berkaitan dengan dendam di masa lalu. Berbekal kemampuan beladiri dan sebuah pusaka yang membuatnya mampu mengontrol api, Rakai memutuskan untuk mencari tahu akar dari permasalahan yang menimpanya. Dengan ditemani oleh Sembadra dan rekan-rekannya, Rakai mulai menguak satu persatu misteri yang ada di depannya. Siapa yang menyangka bahwa ternyata cahaya itu tak selalu baik dan kegelapan itu tak selalu jahat?

darrenlynn_frost · Action
Not enough ratings
23 Chs

Sekolah Itu Menyebalkan

"Baik anak-anak, kita akan mulai hari ini dengan perkenalan. Tolong semua maju satu-persatu dan perkenalkan diri kalian di depan kelas. Tolong dimulai dari meja di sebelah kanan saya," ucap Ibu Kartika, wali kelas 10 IPS B sambil menunjuk seorang siswi yang duduk di pojok depan kelas. Siswi itu berdiri dari bangkunya, lalu berjalan dengan kalem ke depan kelas. Siswi itu menarik nafas dalam, lalu memandang ke seisi kelas dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Pagi, temen-temen. Perkenalkan, namaku Diana Ratna Antika, biasa dipanggil Diana. Aku tinggal di Gondokusuman. Hobiku masak dan baca buku, salam kenal semuanya," ucap Diana lantang dan ceria. Diana adalah seorang gadis manis dengan perawakan tinggi langsing dan wajah ayu campuran Jawa dan Tionghoa. Sifatnya periang dan supel, sehingga banyak siswa maupun siswi senang ngobrol dengannya. Meski begitu, Raka dapat melihat bahwa Diana memiliki aura yang tidak biasa, cenderung tidak mengenakan bagi pemuda itu.

Seketika sebagian besar siswa di kelas itu langsung riuh. Masing-masing dari mereka berebut untuk mengajukan pertanyaan, yang hanya ditanggapi senyuman risih oleh Diana. Bu Kartika langsung saja mengambil alih kendali dan menyuruh Diana kembali ke bangkunya. Setelahnya, Bu Kartika meminta agar para siswa bisa sedikit menahan diri karena di kelas sebelah sedang ada peninjauan orang tua. Akhirnya, perkenalan kembali berlanjut sampai giliran Gilang tiba.

"Met pagi temen-temen, apa kabar? Kenalin, namaku Gilang Mahardika, panggil aja Gilang. Aku tinggal di Krapyak, Sleman. Hobiku nongkrong bareng temen. Salam kenal semuanya!" Gilang berkata dengan lantang dengan gaya badboy yang sangat tidak sesuai dengan image-nya sebagai pemuda berparas oriental yang kalem. Sebagian besar siswa-siswi di kelas menertawakan Gilang karena gayanya tersebut, meski Gilang sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh cemoohan mereka dan malah mengeluarkan cengiran jahil.

"Bagus sekali, Gilang, kamu boleh duduk. Tolong siswa selanjutnya maju ya," ucap Bu Kartika untuk meredakan gelombang tertawaan para siswa. Adit lalu maju ke depan bersamaan dengan Gilang yang berjalan kembali ke bangkunya. Adit berdiri tegak di tengah kelas, lalu membenarkan kacamata berframe tipis yang dia kenakan. "Selamat pagi, teman teman. Perkenalkan, nama saya Aditya Pratama Jati, biasa dipanggil Adit. Saya tinggal di Seyegan. Hobi saya membaca buku, salam kenal semuanya," ujar pemuda yang perawakannya lumayan tinggi itu dengan nada tenang. Seperti perkenalan Diana tadi, perkenalan yang Adit lakukan membuat keributan terjadi akibat para siswi yang berubah menjadi fans dadakan Adit. Hal ini membuat Bu Kartika kembali memijit pelipisnya, tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan beberapa fanboys dan fangirls di kelasnya ini.

"Harap tenang, semuanya! Siswa selanjutnya, tolong segera maju dan perkenalkan dirimu. Adit, kamu boleh duduk," ujar Bu Kartika pada Adit yang tanpa diduga langsung nyelonong mundur dan duduk di sebelah Gilang. Lingga lalu berjalan maju menggantikan Adit, dan berdiri kaku dengan raut wajah serius. "Perkenalkan, nama saya Lingga Buana Garudhawijaya, biasa dipanggil Lingga. Saya tinggal di Mlati. Hobi saya bermain sepak bola dan berlatih pencak silat. Salam kenal semuanya!" Ucap Lingga lantang. Tidak seperti Adit dan Gilang yang santai dan tidak tergesa-gesa, Lingga mengucapkan perkenalannya dengan kaku sehingga terkesan aneh bagi siswa-siswi lainnya, selain Adit, Gilang, dan Raka tentunya. Bu Kartika hampir saja menepuk jidatnya sendiri melihat para siswa mulai berbisik-bisik dan cekikikan, membuat sang wali kelas harus turun tangan dan mengendalikan situasi yang kembali berisik.

"Cukup, anak-anak, tolong hargai teman kalian yang di depan. Lingga, kamu boleh duduk, siswa terakhir, tolong maju kedepan dan perkenalkan dirimu," ucap Bu Kartika. Lingga segera saja kembali ke kursinya dengan langkah kaku, lalu mendapat tepukan di bahu oleh Raka saat mereka berpapasan. Para siswa yang tadinya menertawakan Gilang dan Lingga terdiam saat Raka maju dengan aura yang tenang namun berbahaya. Raka berdiri tegak seraya memasukan kedua tangannya ke saku celana, lalu menatap bosan kearah teman-teman sekelasnya.

"Om Swastyastu, namaku Rakai Yudha Taksaka, panggil aja Raka. Rumahku ada di daerah Tempel, dekat dengan destinasi wisata. Hobiku... Gak penting, cuma hal sepele. Met kenal," Raka berkata dengan ogah-ogahan, yang tentunya disadari oleh Bu Kartika. Meski begitu, beberapa siswi terlihat memandangi Raka dengan wajah bersemu, sedangkan beberapa lainnya memandang dengan penuh kekaguman. Sementara sebagian kecil dari siswi disana tampak menatap Raka dengan wajah penasaran, seperti Diana yang merasakan hawa aneh dari tubuh Raka. Hawa yang keluar dari tubuh Raka terasa begitu mengintimidasi Diana, meski Raka tidak terlihat sedang mengintimidasi siapapun di kelas itu.

"Baiklah, apa ada yang ingin kalian tanyakan pada Raka? Karena waktunya masih tersisa beberapa menit, ibu akan biarkan kalian menanyakan beberapa pertanyaan pada Raka," ujar Bu Kartika seraya memandang Raka yang tampak bosan. Salah seorang siswi mengacungkan tangannya, lalu bertanya pada Raka. "Raka, apa kamu udah punya pacar?" tanya siswi itu dengan wajah makin merona. Raka menggeleng dengan spontan, wajahnya terlihat semakin bosan ditandai dengan kelopak matanya yang turun setengah. Siswi itu lalu tersenyum dengan wajah aneh, diikuti beberapa siswi lain yang ikut-ikutan mengacungkan tangan. "Tolong satu-persatu ya tanyanya. Siwi, silahkan mau tanya apa ke Raka?" Ucap Bu Kartika pada siswi-siswi yang mengacungkan tangan mereka, termasuk salah satunya Diana.

"Raka, hari Minggu besok bisa temenin aku ke daerah wisata deket rumahmu nggak?" Tanya Siwi yang membuat Raka menaikkan alisnya. "Nggak, hari Minggu aku mau pergi nemenin bundaku belanja di pasar," tolak Raka dengan sadis. Siwi terkejut mendengar penolakan sadis itu, tapi Diana sudah memotong kata-kata yang akan Siwi keluarkan dengan mengajukan pertanyaannya pada Raka. "Raka, apa kamu punya saudara? Kalau boleh tahu, siapa namanya?" begitulah kiranya pertanyaan yang Diana ajukan. Raka kembali menaikkan sebelah alisnya, lalu memandang Diana sedikit tidak suka. "Aku punya kakak perempuan, namanya Kirana Candramaya Ratih," jawab Raka datar, sambil terus memandang tak suka kearah makhluk astral berwujud kabut putih yang menempel pada Diana. Raka mencoba mengintimidasi makhluk itu dengan tatapannya yang tajam, berharap agar makhluk itu berhenti mencoba merayunya agar dekat dengan Diana.

Diana hendak mengajukan pertanyaan lagi, tapi bel pertanda istirahat tiba-tiba saja berbunyi dan mengejutkan semua orang. "Baik, anak-anak, kalian boleh istirahat, semoga kalian betah ya di sekolah ini," ucap Bu Kartika seraya menjunjung tasnya dan berjalan keluar diikuti sebagian besar siswa-siswi kelas 10 IPS B. Raka tak terpengaruh teman-teman sekelasnya yang lain, lalu berjalan menuju mejanya sendiri dan mengambil sebuah kotak bekal dari tasnya yang berisi beberapa potong apel kupas yang direndam dalam madu. Lingga menoleh kearah Raka, lantas bertanya pada Raka "Ka, gue, Gilang sama Adit mau ke kopsis, lu mau ikut ga?".

Raka hanya menggeleng santai sambil menusuk sepotong apel dalam kotak bekalnya dengan garpu besi kecil. "Nggak deh Ling, gue bawa cemilan kok. Gue titip susu kotak aja bro," ucap Raka tenang sambil menyerahkan selembar uang 10 ribu rupiah pada Lingga. "Ok deh kalo gitu. Duluan ya Ka," kata Lingga sambil berjalan menyusul Gilang dan Adit menuju koperasi siswa.

Kini, tinggal Diana dan Raka saja yang masih berada di kelas itu. Diana langsung saja berdiri dari bangkunya, dan berjalan dengan kaki yang dihentakan dengan keras ke lantai. "Kamu bisa lihat mereka juga kan?" Diana tiba-tiba bertanya pada Raka dengan ekspresi kesal yang tergambar jelas di wajahnya. Raka tidak menoleh kearah Diana, lalu membuka ponselnya untuk bersosial media. "Lihat apa? Orang? Ya pasti bisa lah, bego," ejek Raka tanpa berpaling dari ponselnya, membuat Diana tertegun karena ada laki-laki yang sanggup lolos dari pesonanya. Makhluk berwujud kabut di belakang Diana mendesis sambil menatap tajam Raka yang sibuk mengunyah cemilannya. "[Nimas, sepertinya aku tidak akan bisa menggunakan pesonaku untuk menjerat anak laki-laki di depanmu ini. Bocah ini punya tenaga dalam yang sangat kuat, dan tenaga dalam itu akan membakar ku jika aku mencoba untuk menyentuhnya,]" bisik sosok Nyalawadi yang menempel pada Diana tersebut.

'Sekuat itukah kekuatan anak ini, sampai kamu saja tidak bisa menyentuhnya, Nyi Ambarini?' tanya Diana melalui kontak batin dengan sosok Nyalawadi itu. "Jangan ngarep deh lu bisa make tuh Nyalawadi buat jadiin gue pacar lo. Gue gak suka sama hal-hal negatif kayak mereka, jadi lu mending mulai jauh-jauh dari gue sekarang," ucap Raka seolah bisa mendengar kontak batin antara Diana dan sosok Nyalawadi milik Diana tersebut. "Jadi, bener kan lo bisa liat mereka?!" Diana menggebrak meja Raka, membuat madu yang ada di kotak bekal Raka tumpah sedikit dan mengotori meja belajar Raka. "Kalo iya emangnya kenapa, hah? Masalah gue ga ada urusannya Ama lu! Barbar amat sih jadi cewek," Raka berkata seraya menatap tepat ke mata Diana dan mencoba mengintimidasi gadis itu beserta sosok Nyalawadi yang menempel pada gadis itu.

Keduanya saling adu tatapan untuk waktu yang agak lama, sebelum akhirnya Raka menutup kotak bekalnya dan memasukkan cemilannya ke laci. Raka memasang earphone ke telinga, sementara Diana memilih mundur teratur dan kembali ke tempat duduknya sendiri. Tak lama kemudian, Gilang, Adit dan Lingga pun berjalan masuk ke kelas, dan mereka pun mulai mengobrol seru bersama Raka, tak mengindahkan Diana yang terus menatap kesal kearah Raka. 'Sekolah ini...menyebalkan sekali' batin Raka saat ia merasakan tatapan kesal Diana yang ditujukan kepadanya.

Bersambung