webnovel

Kemanusiaan dalam maut | Janji sang Iblis

Di dunia dimana para Dewa memperebutkan kepercayaan manusia, para Dewa mendirikan gereja-gereja agar manusia menjadi pengikut setia mereka. Dengan darah dan besi mereka mencoba mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya untuk bertambah kuat. Mereka yang tidak memilih salah satu rahmat Dewa akan terkutuk dan diburu oleh gereja. Terlahir pada jaman berdarah ini, Dava hidup dengan kutukan sakit dan kegilaan. Tak tahan atas kesulitan hidup, dia memilih untuk mengahiri hidupnya. Tanpa dia sadari, dia telah memilih jalan yang lebih sulit dari pada kematian, yaitu bertemu dengan iblis. Akankah Dava membuat perjanjian dengan iblis untuk mengubah kembali hidupnya? Atau menolak iblis dan memilih rahmat dewa sebagai penyelamat? Atau memilih kematian sebagai Tempat pengistirahatan terakhir? Saksikan terus kelanjutan ceritanya disini. Disclaimer: The cover image does not belong to the author

akirakynan · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
10 Chs

Chapter 9: Pelatuk

Pemburu itu berdiri, dengan sabit yang terhunus, lalu mendekat kepada dava.

"Huh… Kenapa kau begitu serius?" Dia memberikan setengah senyum, dan sedikit godaan "Monsieur, tak perlu kau tatap saya seperti itu. Saya disini hanya ingin… "

Dia berhenti, berfikir sejenak, lalu lanjut berkata

"Bertanya soal keadaan kalian, rakyat. Ini prosedur biasa santai saja."

Terdengar suaranya tipis dan Penuh kebohongan. Dava tahu ini bukan hal yang biasa mereka lakukan. Tak akan pernah ada pemburu yang pernah peduli pada rakyat, dan kalau mereka bertanya itupun biasanya untuk memuaskan rasa penasaran mereka terhadap sesuatu, atau hanya ingin melihat rasa takut mangsanya sebelum mereka terkam.

"Jadi apa maumu tuan Jager." (Jager Adalah panggilan untuk mereka para pemburu) "Maaf aku hanya sedang merasa tak enak, bukannya bermaksud untuk tidak sopan."

"Tidak apa, tidak apa. Sungguh ayo duduk dulu dengan saya." Dia melambaikan tangannya pada kursi depan toko, mengisyaratkan untuk kita duduk. "Aku akan belikan kau minum, ok?"

"Maaf tuan Jager, aku sedang agak terburu-buru."

"Ouu, sedang ada yang menuggu dirumah?"

"Iya, dia harus diberi makan."

"Baik langsung saja." dia mengeluarkan catatan kecil dari sakunya dan berpura-pura menulis. "Tinggal dimana Monsieur ini?"

"Di daerah sini dekat pasar, seberang gedung dari toko roti ini."

Tentu Dava berbohong, karena rumah sebenarnya adalah di ujung kota, Selatan dari tempat dia berada. Mungkin ini berhasil, mungkin tidak, yang penting dia berusaha melindungi rumahnya. Walau hanya dengan ini.

"Bagaimana kalau uang yang Monsieur Sekarang miliki, Ada berapa koin? Dan untuk dibelikan berapa roti?"

"lima koin, untuk tiga roti, dan satu setengah sisa untuk sup."

"Hmmm." Dia seperti mencoret-coret catatannya. "Kalau begitu Monsieur akan kecewa, karena roti baru saja Naik jadi dua koin perunggu per roti."

Melihat dava sedikit terkegut, sang jager kembali berkata. "Ya benar saya tidak berbohong Monsieur…"

Selama percakapan berlangsung dava memperhatikan sekitarnya. Orang-orang yang awalnya ikut mengantri pada toko roti itu seketika berbalik arah dan hilang dari pandangannya. Mereka yang ada disekitar jalan, serentak tiba-tiba memiliki urusan mendadak dan meninggal kan area itu. Junior pemburu terlihat berjaga, kedua tangannya yang bersilang masuk tersembunyi ke dalam saku mantelnya.

Dava menyadari keadaannya, sikap junior yang dibelakang pemburu ini adalah pose jaga. Dia lima meter lebih jauh dari posisi seniornya, dengan memasukan tangan kedalam saku mantelnya, dia membentuk semacam lingkarang suci yang tidak boleh dilewati oleh orang yang berada dipasar.

Semua penghakiman pemburu bermulai dari sini, pikirnya, pertama-tama mereka memojokkan mangsanya, lalu dengan ramah membuka pembicaraan, bertanya soal kesulitan hidup, bahkan pada beberapa kasus mereka membelikannya makan dan minuman. Semua itu mereka lalukan untuk mendapat informasi tambahan, pemeriksaan terakhir untuk sesuatu yang takutnya mereka lewati dari sang mangsa. Setelah mangsanya dibuat lengah seketika itu juga mereka menerkam dengan efisiensi yang amat tajam hingga tak menyisakan sedikitpun bukti bahwa dia pernah hidup. Mereka menghapus segala keberadaannya.

Dan untuk masyarakat yang menyadari kejadian ini. Mereka menerimanya seratus persen dan sama sekali tidak terpengaruh. Begitu sering terjadinya kejadian ini, mereka sampai sudah tidak aneh lagi terhadap ini. Mereka akan berpura-pura tidak menyadari dan melanjutkan hidupnya. Begitulah kenyataan berat kota dorian ini, kota yang berada di sela-sela jari gereja kebajikan, gereja para pemburu.

Sekarang, sama seperti kejadian lainnya, dava dikelilingi oleh orang-orang buta. Mereka tak lagi perduli pada para pemburu, dan dengan mudah mereka memutari lingkaran suci buatan junior. Mereka kembali pada urusan masing-masing, seakan dava tidak pernah ada disana. Walaupun dalam hatinya yang terdalam dia ingin sekali berteriak, meminta tolong pada mereka. Mustahil akan ada yang membantu.

"Monsieur ini bukan termasuk prosedur, tapi saya ingin mengatakan sesuatu." Dia memasukkan catatannya dan mendekat pada dava. "Aura monsieur entah kenapa terasa familiar untukku."

Dava merasakan keringat dingin di punggungnya menjalar, mendengar ini. Dia yakin sesuatu buruk akan terjadi.

"Entahlah." Dia melanjutkan dan tersenyum. "Mungkin bukan aura tapi…"

Sejak dari awal dava memang tidak berharap apapun dari orang-orang sekitarnya. Mereka hanya buruh, pedangang, kuli. Apa yang bisa diharapkan dari mereka? Apa untung yang mereka dapat dari membantuku? Lebih baik mereka tak acuh dan memberi anak-anak mereka makan. Dari pada membantu dan menjadi mayat hidup.

Dia maju dan mendekat lagi. Hingga tepat berada di lehernya. "Harummu Monsieur. Berbeda dari yang lain. Terasa seperti…"

Dia menghendus kemudian menyeringai seperti mendapatkan ilham.

"Iya, itu dia…" dia berbisik pada dava, dengan suara rendah dan berat, yang membuat dava bergetar mendengarnya.. "Ini Darah… betul tidak? Monsieur…"

Disaat itu wajah dava tidak lagi pucat atau merah, yang ada hanya lah perasaan pasrah.

Kemudian berubah menjadi amarah, dan akhirnya disusul oleh penyesalan.

Menurunkan pandangannya, dava merasa hidupnya akan berakhir disini, dan toko roti ini mungkin kenangan terakhirnya akan kehidupan. Koin-koin di tangan ini menjadi koin terakhirnya dan sensasi lapar dari perutnya perasaan terakhir yang dia rasakan.

Tangannya yang selama ini menggengam revolver, tiba-tiba mengeras. Kepalannya menguat dan pematiknya dia tarik.

Tidak! Aku tidak akan menjadi mangsa begitu saja. Aku akan melawan walau diikat seperti babi panggang dalam hidangan mereka. tidak akan aku biarkan mereka menang tampa perlawanan.

Perlahan dia menarik revolver dari saku, tangannya bergetar tak henti, dan dalam pikirannya yang terakhir dia membayangkan lizzy. Tak kuasa dia menahan penyesalannya terhadap lizzy. Mengapa dia harus mati disini, kenapa takdir begitu kejam pada Mereka yang susah, dan bagaimana nantinya nasib lizzy. Makan saja dia belum tentu bisa. Ingin menangis rasanya, menahan semua penyesalan ini, membayangkan keadaan lizzy yang kesulitannya akan bertambah dengan kematian dia.

Dia menaikan pandangannya. Pemburu itu sedang mengendus baju dan lehernya, dengan wajah yang begitu dekat mustahil dia bisa menghindar dan selamat dari tembakan revolver ini.

Tangannya perlahan menarik revolver itu, dan tampa menghasilkan suara dekitit pun dia telah mengarahkannya pada wajah sang pemburu. Tepat disebelah lehernya, dia akan menembakan dari bawah rahangnya hingga menembus dan keluar pada tengkoraknya.

Setelah Membulatkan tekat, dava akhirnya menarik pelatuk itu…

Click!…

Pelatuk itu tersentak...

Like it ? Add to library!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Creation is hard, cheer me up!

akirakynancreators' thoughts