webnovel

Kemanusiaan dalam maut | Janji sang Iblis

Di dunia dimana para Dewa memperebutkan kepercayaan manusia, para Dewa mendirikan gereja-gereja agar manusia menjadi pengikut setia mereka. Dengan darah dan besi mereka mencoba mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya untuk bertambah kuat. Mereka yang tidak memilih salah satu rahmat Dewa akan terkutuk dan diburu oleh gereja. Terlahir pada jaman berdarah ini, Dava hidup dengan kutukan sakit dan kegilaan. Tak tahan atas kesulitan hidup, dia memilih untuk mengahiri hidupnya. Tanpa dia sadari, dia telah memilih jalan yang lebih sulit dari pada kematian, yaitu bertemu dengan iblis. Akankah Dava membuat perjanjian dengan iblis untuk mengubah kembali hidupnya? Atau menolak iblis dan memilih rahmat dewa sebagai penyelamat? Atau memilih kematian sebagai Tempat pengistirahatan terakhir? Saksikan terus kelanjutan ceritanya disini. Disclaimer: The cover image does not belong to the author

akirakynan · Fantasy
Not enough ratings
10 Chs

Chapter 8: Pemburu

Di luar apartment, pagi telah cerah dan hangat. Keramaian diluar mengisyaratkan awal musim panas. Meski baru awal february, itu sudah dianggap sebagai awal musim panas. Dorian terletak di Selatan republik durin, sehingga memiliki Ciri iklim yang agak unik dibanding kota-kota lainnya. Suhu tahunan terendah kota ini bahkan tidak sampai menghasilkan salju layaknya daerah-daerah lain republik durin.

Dengan pagi yang lebih hangat, jalanan dibanjiri genangan air kotor dan sampah yang berserakan. Beberapa hari ini telah terjadi hujan yang cukup besar, dan karena drainase kota dorian yang belum sepenuhnya terbentuk, membuat jalanan-jalanan menjadi lumpur pekat, dan sampah-sampah yang berserakan tidak membantu.

Mereka menutup saluran pembuangan dan memperparah genangan air diantara lumpur-lumpur itu. Mungkin Sudah tidak bisa disebut lagi genangan air, karena air-air itu biasa menutupi pertengahan jalan, dan kalau mereka tidak mengumpul atau menggenang, mereka membuat tanah berlumpur.

Kereta-kereta kuda menjadi susah masuk ke kota, terselip diantara lumpur dan genangan air.

berjalan menuju toko roti, dava melihat dua orang mendorong sebuah kereta kuda pada musim panas ini, dava Merasa beruntung.

Akhirnya, dia berfikir, ternyata jadi miskin ada untungnya. Karena tidak punya uang untuk membeli kereta, jadi tidak usah terselit layaknya orang kaya itu.

Hahahah…

Berjalan melewati kereta itu, sekilas dia melihat siapa yang ada di dalamnya. tirai yang biasanya tak pernah terbuka, kali ini iya, dan mungkin hanya untuk terakhir kali ini saja terbuka.

Petinggi gereja, pikirnya, mengapa mereka sampai bisa terselip? Bukannya mereka punya sihir atau alat untuk hal semacam ini?

Mengetahui seorang petinggi gereja yang terjebak didalam sana, orang-orang mulai berkumpul dan melihat.

Dia si petinggi gereja, tinggi dan tua, mengenakan mantel sutra gelap. Biasanya selalu memisahkan diri dari rakyat. Berpergian dengan kereta kuda, serta kawalan dari para kesatria gereja. Mereka menutup tirai-tirai kereta mereka. Sebagian besar dari rakyat bahkan belum pernah bertemu dengan mereka secara langsung, hanya mendengar dari berita dan kabar burung.

"Ada apa itu?" Bisik salah seorang di belakangnya "Kenapa banyak orang disini?"

"Petinggi gereja." Dia menjawab. "Terselip dalam lumpur."

"Masa?" Jawab seorang lainnya "Memang para petinggi itu tidak memiliki alat atau sihir untuk hal seperti ini?"

"Iya." Beberapa orang mulai berkerumun, membentuk setengah lingkaran dan menyaksikan kereta. "Mana mungkin mereka menyiapkan diri untuk alat dan sihir serendah itu. Mereka kan sibuk."

"Tapi bukannya karena itu jadi mereka sekarang kesusahan."

"Dikiraku mereka hanya tinggal menerbangkan diri, lalu semuanya akan beres."

"Mana mungkin! Memang ada sihir untuk menerbangkan kereta…"

Orang-orang mulai berkumpul, berdatangan dari toko-toko mereka, sebagian untuk karena rasa penasaran, sebagian lainnya untuk berteori kenapa mereka terselip dan sebagian lainnya hanya menumpang lewat.

Melihat kerumunan ini, para pengawal mulai bergerak. Meletakkan tombaknya pada bahu, mereka maju dengan langkah kaki seorang prajurit dan menghadapi kerumunan. Berdiri tegak, mereka menghalangi pandangan kerumunan, lalu meminta mereka bubar.

Dengan ini dava hengkang, menyelinap keluar dari kerumunan dan melanjutkan perbelanjaannya. Akan menjadi ricuh, pikirnya, kalau kerumunan itu tidak segera pergi para pengawalan mungkin akan menodongkan tombak-tombak mereka kepada kerumunan dan mendorongnya, entah hingga bubar, atau mati.

Bergegas, dava berjalan sampai akhirnya memasuki daerah pasar. Pasar dorian tidak megah seperti pasar kota Selatan lainnya. Walau Dorian memang salah satu kota terbesar di republik durin, tapi bukan merupakan pusat perdagangan negara itu. Dorian hanya menjadi markas para pemburu dan gereja kebajikan.

Sesampai disana segera dava disambut, oleh panggilan-panggilan para pedagang.

"Ayo! Ayo! Datang dan coba ayam panggang kami yang lezat!"

"Ikan lezat..ikan...lezat harus di coba. Diambil segar dari pelabuhan hanya seharga lima koin perunggu!"

"Es dingin dan coklat. Makanlah semangkuk di pagi hari dan rasakan segar sepanjang hari!"

"Belut dan Ciu, kombinasi yang sempurna untuk memulai hari!"

"Siput! Siput! Siput!"

"Beli sayurannya. Baru dipetik dari perkebunan luar kota. Segar dan murah!"

Para pedangang keliling yang menjual sayur-mayur, buah-buahan dan makanan-makanan berteriak di sepanjang jalan. Memberikan isyarat kepada para pejalan kaki untuk berhenti dan membeli. Seperti insektivora, mereka membuka mulutnya besar-besar dan menunggu pembeli mana yang terjatuh pada lidahnya. Sebagian termakan oleh mereka, sebagian lainnya berhasil kabur dan untuk keduanya tidak ada yang meresa dirugikan.

Beberapa dari mereka berhenti dan membandingkan dengan hati-hati untuk membeli, menghitung-hitung uang mereka dan Melihat harga-harga pasar. Yang lain menundukan kepala melambaikan tangan, malu karena belum mendapatkan pekerjaan untuk hari itu.

Dava menghirup udara pagi itu. Aroma peluang dan juga bahaya. Dia mengepalkan revolver di tangan kanannya, dan memeriksa bahwa besi itu Masih disana. kemudian menekan topi dengan tangan kirinya saat melewati jalan yang sibuk dipasar.

Dia harus waspada. Disini pasti banyak pencopet, terutama pada jalan-jalan yang ramai dan padat. Semenjak perang banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak orang tua - orang tua yang mati dan anak-anak yang jadi yatim. Karenannya tingkat kejahatan melonjak. Selain itu juga, di jalan ini banyak warga miskin, dan anak-anaknya biasa dipekerjakan oleh orang dewasa.

Dia terus maju sampai keramaian disekitarnya kembali normal dan tidak padat. Kemudian dia menegakkan punggungnya dan mengangkat kepalanya untuk melihat jalan.

Disudut jalan terlihat ada seorang gelanangan. Memainkan biola. Melodinya mengindahkan penderitaannya. Terkadang kuat dan lantang, terkadang sendu dan pilu.

Di sampingnya tampak beberapa anak berpakaian compang-camping dengan pipi cekung karena kurang makan.

Mereka mendengarkan dan mengikuti irama sang pemusik, menari dengan tarian buatan mereka sendiri. Wajah mereka dipenuhi dengan kegembiraan seakan-akan mereka pangeran yang sedang dihibur.

Di sudut jalan dari sana, terlihat seorang sosok sedang duduk dan menikmati irama sang pemusik. Dengan segelas Ciu dan belut. (jenis minuman alkohol)

Dia mengenakan mantel sutra gelap, dengan ornamen pangkat pemberian dari gereja. Zirahnya berkilau dalam gelap matel yang dia kenakan.

Disandar kan pada bahunya sebuah sabit, seluruhnya silver dari ujung gagang hingga bilah yang menukik.

Di sebelahnya, seorang pemburu duduk sedikit dibelakang, mungkin untuk tidak mendahului tuannya, dia duduk memperhatikan sekitarnya dengan salah satu tangan tersembunyi dalam mantel.

Dia pasti bawahannya, pikir dava, karena matel, zirah dan bahkan senjatanya tidak semegah orang yang dihadapannya. Dia bahkan belum menggunakan senjatanya sendiri. Seorang pemburu kelas tinggi pasti memamerkan dirinya dengan senjata-senjata yang unik, itu pasti. Karenanya dia mungkin belum senior.

Tatapan mereka, para pemburu, yang biasanya tajam dan menusuk, berubah, tak seperti biasanya. Ketika mereka melihat ke arah sang pemusik, cahaya samar berkedip, seakan-akan mereka melihat dirinya sendiri saat Masih kecil.

Dava memperhatikan mereka sejenak, dan dalam sepersekian detik itu dia merasakan kemanusiaan dalam para pemburu itu. Keperdulian mereka pada anak-anak kecil itu. Rasa senang yang tulus terpampang jelas pada senyuman-senyum yang mereka lihatkan. Sayangnya hanya untuk sepersekian detik itu saja.

Sang pemburu tiba-tiba menoleh kearah dava. Tatapannya menusuk dalam-dalam. Merinding rasanya seluruh badan dava saat matanya berpapasan dengan mereka. Menundukan wajahnya, dava mencoba untuk bergegas pergi menuju toko roti.

"Sedikit lagi," dia berbisik dan menengok kepada toko di depannya. "Aku tinggal harus masuk dan beres. Semoga saja mereka tidak juriga padaku." Menekan tangannya lebih dalam pada revolver, dia menundukan lagi pandangannya dan mempercepat langkahnya.

Saat tangannya menyentuh gangang pintu, seketika dia merasa aman. Tidak mungkin para pemburu akan membiarkan dia sampai sini kalau mereka telah juriga. Menghela nafas, dava melepaskan genggamannya pada revolver dan kemudian masuk kedalam toko itu.

Baru saja mendorong pintu, tiba-tiba ada tangan di bahunya menahan dia.

"Kau, monsieur." Sebuah suara memanggilnya, walau ringan dan pelan, tersirat dalamnya wibawa sekaligus perintah. "Sini sebentar, aku mempunyai beberapa pertanyaan untuk mu."

Dava berubah menjadi pucat pasi, pikirannya berterbangan ke segala arah. Apa yang mereka inginkan? Jangan-jangan mereka tahu ada revolver disaku ku? Atau mereka mencium bau darah dari semalem?

AAaaaa.. dava berteriak dalam hatinya, semua ini membuatnya naik pitam. Kenapa harus sekarang. Lizzy dirumah kelaparan dan aku harus berurusan dengan ini. Tidak! Jangan sekarang. Aku hanya ingin roti lalu pulang.

Memasukkan tangan kiri pada saku celananya, dia mengenggam revolvernya erat-erat.

Dava berbalik, membalas pandangan mereka lalu berkata. "Apa mau mu pemburu?"

Seketika dia berubah, wajah pucatnya sekarang mengeras, keningnya mengerut dan melukiskan dengan jelas dia tak ingin berurusan dengan mereka.

Pemburu itu tersenyum, menghunus sabit, lalu menerima tantangannya…