Sakit sekali rasanya ketika kamu sudah melakukan yang terbaik, tapi ternyata masih tidak cukup. Itulah yang kini di rasakan Bramantio hatinya seperti hancur bak pecahan kaca yang jatuh dari langit.
Bagaimana tidak hancurnya perasaan seorang ayah ketika menyadari jika ia tidak mampu menjadi sandaran oleh buah hatinya. Sampai ia tidak mengetahui jika Sabrina telah melewati titik terberat ketika menyaksikan Cantika dan Reyno menikah.
Bramantio mencoba mengikis lukanya dan akan menebus kesalahan yang telah ia lakukan pada putrinya yakni Sabrina Anastasya Bramantio.
Setiap hari seusai pulang dari kantor, lelaki bertubuh tegap itu selalu meluangkan waktu berputar-putar mengililingi area sekitar Jakarta Pusat, berharap bisa menemukan putrinya.
Namun, hasilnya selalu saja nihil. Sampai suatu saat ia merasa kepayahan dan berniat untuk menepi sejenak di sebuah coffe shop hendak menikmati kopi kesukannya berharap dapat menghilangkan sedikit rasa jenuhnya.
Serelah beberapa menit ia meluangkan waktu sendirian di coffe shop. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang memanggil namanya, suara itu seperti tidak asing di telinga bramantio. Gegas ia menoleh ke arah sumber suara dan betapa terkejut Bramantio saat itu melihat sahabat lamanya yang sudah sekian tahun tidak bertemu.
"Hai Yuz! Apa kabar?" Dengan terperangah Bramantio menyambut kedatangan sahabatnya yang tak sengaja bertemu di coffe shop tempat ia beristirahat.
"Hai Bram!" Lelaki tadi merangkul Bramantio dan mereka saling menepuk pundak karena kegirangan.
"Lama sekali, Bram. Tak bertemu, sepertinya hampir 10 tahun ya," lanjut lelaki berkulit putih yang memiliki usia dan perawakan tidak jauh berbeda dengan Bramantio.
"Iya, Yuz. Enggak nyangka bisa bertemu di sini. Silahkan duduk, Yuz," timpal Bramantio seraya menarik kursi sebelahnya mempersilahkan sahabatnya untuk duduk.
Sahabat Bramantio ini bernama lengkap Yuzril Assegaf seorang Presiden Direcktur di salah satu perusahaan ternama di Jakarta Pusat.
Mereka berdua berteman sudah sejak lama, dari masa-masa SMA sampe kuliah di satu universitas yang sama. Sampe keduanya sama-sama sibuk bekerja dan 10 tahun lamanya tidak saling berjumpa.
Yuzril Assegaf memiliki satu orang anak bernama Azka Purnama Assegaf.
Ya, Yuzril sama sekali tidak mengetahui jika Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumahnya adalah putri dari sahabatnya yang sekarang tengah ia cari.
10 tahun tidak saling bertemu mereka sudah lupa terhadap sosok anak dari sahabatnya karena jarak yang begitu lama banyak sekali perubahan yang terjadi pada wajah Sabrina maupun Azka.
"Yuz, mau pesan kopi?" ucap Bramantio seraya memanggil waiter untuk memesan kopi kesukaan Yuzril.
"Boleh," sahut Yuzril seraya menganggukan kepala.
"Tinggal dimana sekarang, Bram?" Sambung Yuzril.
"Masih di daerah sini, Yuz. Kamu masih di rumah yang dulu? Soalnya sudah lama sekali kita enggak pernah ketemu," balas Bramantio
Yuzril yang selalu sibuk bulak-balik ke luar nergi membuat intensitas bertemu jadi semakin sulit.
"Ya sama, Bram. Masih rumah yang dulu," sahut Yuzril.
Kedua sahabat itu berbincang-bincang dengan akrab, saking sudah lamanya tidak bertemu membuat mereka mengingat masa-masa semasa kuliah dan kerja keras membangun usaha masing-masing. Yuzril tidak mengetahui jika Sabrina adalah putri Bramantio, karena terakhir melihat Sabrina sewaktu usianya menginjak kelas 6 SD.
Mereka berdua pernah berangan-angan ingin menjodohkan putra-putrinya namun tanpa paksaan. Semua itu hanya ingin mempererat tali silaturahmi mereka yang sudah puluhan tahun di jalin. Akan tetapi, rencana itu seperti mulai pudar karena kesibukan masing-masing yang tak begitu serius menanggapinya.
Namun, tiba-tiba terlintas dalam pikiran Yuzril mengenai putri Bramantio.
"Oh iya, Bram. Udah punya anak berapa sekarang?" tanya Yuzril sesaat setelah ia menyeruput kopi favoritnya.
"Anak saya sudah dua, Yuz," jawab Bramantio dengan melayangkan senyum tipis mengingat salah satu putrinya yang tidak tahu dimana keberadaannya.
"Wah hebat sudah dua saja kamu, keren," balas Yuzril dengan senyuman tak setipis Bramantio.
"Laki apa perempuan, Bram," lanjut Yuzril.
"Dua-duanya perempuan, Yuz," jawab Bramantio kali ini senyumnya tidak begitu tipis, ia mulai terbawa suasana.
"Wah keren, Bram! Coba dong salah satunya kenalin sama anak saya, ya kali aja pada cocok," ujar Yuzril dengan takjub.
"Kamu ingat enggak, Bram. Dulu waktu kuliah kita pernah berangan-angan ingin jadi besan. Ingat enggak, Bram?" lanjut Yuzril mengupas memori masa kuliahnya bersama Bramantio.
"Oh iya, Yuz. Inget." Bramantio tersenyum mengingat masa mudanya.
Mendengar ucapan sahabatnya Bramantio mulai berangan-angan, andai saja Sabrina ada di sisinya mungkin tawaran Yuzril bisa menjadikan obat agar Sabrina dapat memulihkan perasaannya yang telah di hancurkan menantunya, Reyno.
Namun, ia tak mampu menjawab dengan tegas pertanyaan Yuzril karena sampai detik ini Sabrina tak kunjung di temukan.
"Yang satu sih sudah menikah, Yuz. Tinggal satu lagi belum datang jodohnya," jawab Bramantio dengan nada datar.
"Oke kapan-kapan kita atur jadwal ya biar bisa ketemuan," saran Yuzril dengan cepat.
"Iya mungkin nanti, Yuz. Bulan depan mungkin sepulangnya putri saya. Soalnya dia masih di luar negri sedang ada tugas dari kantornya." Bramantio beralasan.
"Oh gitu, oke enggak apa-apa, Bram. Nanti berkabar saja," timpal Yuzril dengan santai.
Saking asyiknya mereka berbincang-bincang sampai akhirnya waktu sudah menjelang malam yang mengharuskan mereka untuk mengakhiri pertemuan yang tak di sengaja itu. Mereka berpisah dan melajukan kendaraan roda empatnya ke arah kediamannya masing-masing.
Sungguh tidak disangka jika Yuzril masih saja mengingat tentang harapan keduanya. Andai saha Sabrina tidak menghilang mungkin Bramantio tidak akan berbohong dengan alasan Sabrina di luar negri.
Bramantio telah sampai di rumahnya dan merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Kemudian ia merogoh saku jasnya mengambil ponsel hendak menelpon seseorang.
"Assalamualaikum, Ren!" sapa Bramantio pada orang yang ia telpon. Rupanya ia menelpon Reyno.
"Waalaikumsalam, Yah!" jawab Reyno.
"Apa ada Cantika di dekatmu?" tanya Bramabtio dengan cepat.
"Tidak ada, Yah. Cantika sedang di toilet," jawab Reyno.
"Apa kamu sudah mendapat informasi tentang Sabrina?" tanya Bramantio yang masih kesal pada Reyno.
"Belum, Yah. Tapi saya akan terus berusaha mencari Sabrina," ujar Reyno yang seketika menutup telponnya sepihak. Rupaya Cantika sudah keluar dari toilet dan ia tidak mau pembicaraannya di dengan istrinya.
"Telponan sama siapa, Yang?" tanya Cantika dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik.
"Dari, Ayah. Nanyain kabar kamu." Reyno beralasan, ia tidak mau ada pertengkaran lagi di antara mereka berdua.
Reyno mulai menyiasati pencarian Sabrina agar tidak sampai diketahui oleh Cantika. Ia telah menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk menyisir seluruh area Jakarta demi menemukan separuh hatinya yang telah ia hancurkan.
Namun, sampai detik ini Reyno pun tak juga menemukan titik terang di mana keberadaan Sabrina.
Sulit sekali untuk menemukan Sabrina, karena ia tengah berada di kediaman mewah Assegaf yang jarang sekali keluar rumah bahkan hanya untuk membeli kebutuhan.