webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Kenapa Tidak?

Pemuda itu mengangkat wajah, menatap lebih lama wajah wanita cantik dan cukup bersahaja itu.

"Benarkah?"

Well, bukannya Keisha tidak yakin dengan ucapan Delisa. Hanya saja, terlalu banyak hal-hal tak berguna yang menutupi hati dan pikirannya, bahkan itu sudah terjadi sedari lama.

Delisa mengangguk dalam senyuman.

"Lalu, bagaimana dengan mereka yang terlahir—yaa… katakanlah, tidak sempurna?"

"Apa kamu sendiri merasa sempurna?"

Satu seringai halus terukir di sudut bibir pemuda tersebut, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jika perkataan itu bukanlah sebuah kebetulan, maka pastilah ibu kandung Delima punya kekuatan supranatural yang mampu melihat kekurangan di dalam diriku, pikir Keisha.

"Bukan… bukan itu yang saya maksud. Maaf."

"Saya paham," Delisa tersenyum lebih lebar. Ia menghela napas dalam-dalam. "Setiap kelahiran adalah ketentuan, Keisha. Dan setiap ketentuan sudah ada bagiannya masing-masing."

Apa yang coba disampaikan wanita yang satu ini kepadaku? Namun Keisha tetap menanggapi ucapan itu dengan anggukan kepala.

Hening sejenak.

"Apa kalian berdua tadi bermain air?"

Keisha mengerutkan dahi mendengar pertanyaan aneh dari wanita cantik dengan rambut disanggul ke belakang itu.

Delisa tersenyum, lagi. "Kulihat pakaianmu lembab."

"Aah…" Keisha menyeringai kecil memandang pakaiannya sendiri, lantas menggeleng. "Hutan di sisi utara danau itu cukup lebat. Saya selalu melewati jalan setapak yang sama untuk sampai ke bangku di tepi danau. Sayangnya, sisa-sisa hujan kemarin masih ada pada daun-daun pepohonan. Jadi, ya…" Keisha mengendikkan bahu.

"Aah, jadi begitu," Delisa mengangguk dalam senyuman.

Tidak berapa lama, Delima kembali muncul dari arah dapur dengan membawa sebuah nampan kayu berukir. Di atas nampan, ada satu teko keramik yang dari lobang di ujung mulut teko itu mengepul uap tipis. Serta, tiga buah cangkir keramik.

Delima menghidangkan cangkir-cangkir itu ke hadapan sang ibu, Keisha, dan untuk dirinya sendiri. Lalu menuangkan cairan kuning keemasan dari dalam teko keramik untuk memenuhi ketiga cangkir yang ada.

"Mari, Keisha," ujar Delisa. "Silakan dinikmati."

Keisha melirik pada Delima.

"Ini teh dari kulit buah mahkota dewa dan madu yang kemarin aku dapat di hutan sisi barat itu."

"Aah…" Keisha mengangguk-angguk. "Terima kasih."

Pemuda itu akhirnya menikmati juga secangkir teh madu mahkota dewa tersebut, ditemani oleh Delisa, juga Delima. Gadis itu meletakkan nampan kayu berukir di pangkuannya. Ia duduk berhadapan dengan Keisha.

Ada rasa yang unik yang dicecap lidah Keisha ketika untuk pertama kalinya ia mencicipi air teh tersebut. Sekaligus, ia merasakan kehangatan yang sukar untuk ia ungkapkan kala air teh itu membasahi tenggorokannya dan lalu masuk ke lambung. Bahkan, rasa hangat itu seolah menjalar keseluruh tubuh, juga ke kepala.

Begitu nyaman, hanya itu kata yang bisa terpikirkan oleh Keisha.

"Oh iya, Delima," ujar Delisa seraya menaruh kembali cangkir tehnya ke atas meja. "Ibu lihat bajunya Keisha lembab, kenapa tidak kamu keringkan saja?"

"Ermm, nggak apa-apa, Tante," sahut Keisha. "Sudah hampir kering."

"Jangan khawatir," kata Delisa pada Keisha. "Kamu bisa gunakan salah satu kain batik yang ada di dalam lemari," ujarnya kepada anak gadisnya itu.

"Baik, Bu."

Delima lantas berdiri. "Ayo, Keisha, ikut aku ke belakang."

Dengan ragu-ragu Keisha akhirnya mengikuti saran ibu dan anak tersebut. Ia melangkah beriringan bersama Delima.

Ternyata, ada satu ruangan lainnya di antara ruang tengah dan dapur, dan ke dalam ruangan itulah Keisha dibawa masuk oleh Delima. Sebuah kamar yang cukup luas, seluas ruang tengah itu sendiri.

Tentu saja Keisha menjadi sangat canggung. Berada di dalam kamar berdua saja dengan gadis secantik Delima?

Glek!

Keisha menelan ludah, terlebih dengan tidak sengaja tatapannya justru tertuju ke bagian bawah belakang gadis tersebut. Begitu padat, begitu sempurna dalam balutan songket batik. Saat itu Delima sedang memilih sesuatu di dalam lemari kayu—yang juga memiliki berbagai ukiran di setiap sisinya—dengan membelakangi Keisha.

Pemuda itu cepat-cepat membuang jauh pandangannya. Lebih lama lagi, mungkin setan akan menggodanya untuk berbuat sesuatu yang lebih kurang ajar lagi.

Tapi ini sangat aneh, pikir Keisha. Saat akan masuk ke dalam kamar yang besar itu, ia sempat melihat ke arah dapur. Berarti, hanya inilah satu-satunya kamar yang tersedia di rumah ini. Keisha tidak melihat sebarang anak tangga untuk menuju ke lantai atas—kalau memang rumah ini memiliki lantai lain di atasnya.

Tapi itu tidak mungkin, pikir pemuda itu lagi. Masalahnya, saat berada di luar tadi, ia tidak melihat rumah klasik itu sebagai rumah bertingkat.

Dan ditambah dengan sebuah dipan jati berukir di tengah-tengah kamar dengan lapisan kasur yang sepertinya sangat empuk, Keisha cukup yakin, di atas dipan besar inilah Delima dan ibunya tidur.

Ini cukup aneh, pikir pemuda tersebut sembari memerhatikan seprai putih bersih dengan motif bunga dan kupu-kupu di atas pembaringan tersebut. Cukup aneh untuk keadaan zaman sekarang di mana seorang ibu masih tidur bersama anak gadisnya yang sudah dewasa.

Aah, kenapa aku harus memikirkan hal ini? Bukankah keberadaan gadis itu sendiri sudah cukup aneh? Ibunya yang masih terlihat sangat muda itu? Atau, rumah ini sendiri yang berada di tengah hutan belantara?

"Kenapa belum melepas bajumu, Keisha?"

Keisha melirik gadis itu. Di tangan sang gadis ada sebuah kain batik yang terlipat rapi.

"Apakah aku harus membuka bajuku di hadapanmu?" balas Keisha.

Delima tersipu dalam senyuman. "Kenapa tidak? Toh, hanya bajumu saja, kan?"

"Aah…" Keisha tersenyum geleng-geleng kepala. Apa yang aku pikirkan? "Kau tidak keberatan?"

Masih dengan senyumannya, Delima menggeleng.

"Aku tidak melihat kamar lainnya di rumah ini," ujar Keisha seraya membuka kancing baju kemejanya. "Lalu, di mana kalian tidur? Maksudku, tadi kau bilang, kau juga tinggal di sini bersama nenekmu, kan?"

"Aku dan ibu sering tidur di kamar ini. Kalau nenek, jarang sekali tidur bersama kami."

Itu lebih aneh lagi, pikir Keisha. "Maksudnya?"

"Nenek lebih sering tidur di ruang tengah."

"Tapi di sana tidak ada dipan atau sejenisnya?"

Delima tersenyum lagi. "Nenek lebih suka tidur beralaskan karpet."

"Karpet?" ulang Keisha. Baju kemeja di badannya sudah ia lepas.

Delima menunduk dengan wajah memerah. Bentuk bahu, dada, dan perut laki-laki itu memang terlihat lebih maskulin, pikir sang dara. Ia pun menyodorkan kain batik di tangannya kepada Keisha, lalu meminta baju kemeja yang lembab itu.

"Yang itu!"

Keisha melirik ke arah yang ditunjukkan oleh Delima. Di sudut kanan di samping pintu kamar, ada sebuah permadani dalam keadaan tergulung rapi tersandar ke sudut dinding.

"Aah," Keisha mengangguk-angguk seraya melilitkan kain batik ke badannya. "Terima kasih. Kain batik ini terasa lembut, tapi juga hangat."

Delima mengangguk. Seterusnya, mereka pun keluar dari dalam kamar itu.

"Tunggu sebentar," pinta Delima dan segera menuju dapur.

Keisha diam di tempat, hanya beberapa detik saja dan gadis itu kembali lagi dengan sebuah penggantung pakaian dari kayu.

Setelah itu mereka kembali menuju ruang tengah.

"Bagaimana?" tanya Delisa ketika melihat kemunculan Keisha dan Delima.

"Terima kasih," ujar Keisha. "Kain ini terasa lebih hangat.

Delisa tertawa halus. Sementara Delima langsung menuju ke beranda samping guna menjemur baju kemeja di tangannya, Keisha pula kembali duduk di atas kursi yang sebelumnya ia tempati.

TO BE CONTINUED ...