"Apa kamu tinggal dekat danau itu?"
Pemuda tersebut tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dengan ringan.
"Tiga sampai empat kilometer di barat daya," Keisha mengendikkan bahu. "Saya tidak pernah menghitung pasti seberapa jauh jarak dari rumah saya ke danau itu."
"Itu jarak yang cukup jauh," ujar Delisa. "Dan kamu selalu menggunakan sepeda? Hemm, Delima yang memberi tahu."
Keisha mengangguk. "Saya rasa jaraknya mungkin lebih dekat. Sebab, ya… saya mengayuh sepeda tidak pernah terburu-buru."
"Begitu, ya?" Delisa mengangguk-angguk.
Delima muncul lagi di ruang tengah setelah menggantung baju Keisha di beranda samping. Gadis itu duduk berhadapan dengan Keisha, hanya dipisah meja persegi itu saja.
"Oh iya, Tan. Delima bilang dia tidak pernah sekolah. Apa itu benar?"
"Kamu memberi tahu semuanya pada Keisha?" Delisa justru bertanya pada anak gadisnya itu.
Delima menggeleng, "Tidak semuanya, Bu."
"Kamu pasti bertanya-tanya, kan?" tanya Delisa pada Keisha.
Pemuda itu mengangguk. "Kalau Tante tidak keberatan…"
Delisa menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, senyum manis dan hangat itu masih terukir di bibirnya.
"Apakah kamu akan membenci anak saya, atau menjauhinya jika saya memilih untuk tidak mengatakan alasannya padamu?"
Keisha tersenyum menundukkan kepala, lirikan matanya tertuju pada Delima. Siapa yang bisa menjauhi gadis secantik itu? Membencinya? Yang benar saja!
"Tidak," ujar Keisha. "Itu tidak akan terjadi."
"Aah…" Delisa tersenyum lega. "Jadi, ya… saya memilih untuk tidak memberi tahu kamu, Keisha. Tapi, mungkin saja kamu akan mengetahui itu nanti dari Delima sendiri."
"Cukup menarik," ujar Keisha dan kembali pandangannya tertuju pada Delima yang duduk dengan begitu ayu. "Saya akan menunggu untuk itu."
Delima merasa ucapan Keisha itu adalah sebuah peneguh dari perasaan laki-laki itu sendiri terhadap dirinya. Dan hal ini membuat Delima semakin tersipu.
Apakah semua ini sudah benar? Atau aku harus meminta satu lagi saja bukti dari semua khayalan ini? Hati dan pikiran gadis itu saling berteriak satu sama lain.
"Kamu suka rasa teh itu?" tanya Delima setelah berdeham satu kali demi membuang kegugupan di dalam dirinya.
Keisha mengangguk seraya mengangkat cangkir keramik di atas meja di hadapannya. Masih tersisa uap tipis di permukaan teh itu sendiri. Keisha mendekatkan cangkir ke mulutnya, menghirup kesegaran dari aroma air teh tersebut, lalu meminumnya satu tegukan.
"Saya tidak menyangka," Keisha melirik pada Delisa di sisi kiri sembari menaruh cangkir ke atas meja. "Kulit buah mahkota dewa bisa dijadikan teh seenak ini."
Delisa dan Delima sama tersenyum, mereka pun menikmati teh di dalam cangkir masing-masing.
"Apa kamu lapar?" tanya Delisa. "Biasanya di suhu yang dingin seperti sekarang ini orang-orang akan merasa lapar lebih cepat."
Lalu, kalian sendiri bagaimana? Aneh sekali, gumam Keisha di dalam hati. Seolah-olah wanita tersebut mengucapkan kata "orang-orang" itu dengan sebuah gap yang lebar di antara mereka berdua dengan orang lainnya.
Keisha memang tidak merasa lapar, jadi, pemuda tersebut menggelengkan kepala.
"Terima kasih. Tapi saya belum lapar sama sekali."
"Maaf," Delisa menghela napas dalam-dalam. "Kami tidak terbiasa kedatangan tamu."
Jadi begitu? Baiklah, aku bisa maklumi itu, pikir pemuda tersebut.
Tidak banyak yang mereka bicarakan selain keingintahuan Delisa tentang Keisha yang suka menghabiskan waktu di sore hari di bangku taman di sisi barat danau. Tentang apa alasannya, atau kenapa?
Dan lagi-lagi Keisha datang dengan alasan yang sama. Ia hanya ingin menikmati ketenangan dan kedamaian yang dihadirkan danau itu sendiri beserta lingkungannya.
Keisha sendiri sebenarnya cukup tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang keluarga Delima. Tentang sosok nenek yang pernah disinggung oleh Delima kepadanya. Atau juga tentang ayah kandung gadis tersebut.
Akan tetapi, Keisha masih merasa canggung. Dan mungkin saja hal ini bisa membuat mereka tersinggung nantinya. Terutama bagi Delisa sendiri. Dan ya, Keisha menyimpannya saja di dalam dada untuk sementara waktu.
Di sinilah Keisha kini. Duduk di atas lantai teras depan ditemani oleh Delima. Pemuda itu sudah mengenakan kembali bajunya.
"Rumah kamu sangat klasik, taman-taman ini—aku yakin, sangat-sangat indah."
"Terima kasih," Delima tersipu duduk di samping kanan Keisha. "Ibu dan nenekku yang menata semua ini. Aku hanya melanjutkan apa yang sudah ada. Merawat setiap tanaman yang ada di halaman rumah kami, merawat rumah ini…"
"Sungguh," ujar Keisha sembari melirik wajah gadis di sampingnya itu.
Ketika pandangannya turun lebih jauh, dan tertumpu pada bukit kembar nan indah yang bergerak halus seiring gerak pernapasan gadis itu sendiri, Keisha langsung membuang pandangannya ke tanaman hias di depan mereka.
"Di sini sangat-sangat tenang."
"Nenek tidak suka kebisingan."
Aah, mungkin itu pula alasannya mengapa rumah ini dibangun di tengah-tengah kelebatan hutan, terpisah dari dunia luar.
Keisha melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah pukul empat sore. Ia menghela napas dalam-dalam. Pemuda itu masih ingin berlama-lama di sana, ditemani gadis cantik yang tak ubahnya seorang bidadari namun begitu lugu itu. Hanya saja, jika Keisha menuruti keinginan hatinya tersebut, sudah dapat dipastikan ia akan pulang setelah langit berubah gelap. Dan sudah pasti akan lebih berbahaya bagi Keisha untuk melewati jalan setapak di tengah hutan seorang diri, nantinya.
"Kurasa, sudah saatnya aku pulang."
Delima melirik wajah yang menunduk itu. Tapi sang gadis sangat senang sebab menemukan satu senyuman kecil di sudut bibir pemuda tersebut.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu! Aku bukan anak kecil yang tidak tahu arah jalan pulang."
Keisha menatap ke dalam bola mata sang gadis, dan ia berharap untuk sekali saja dalam hidupnya agar ia bisa melihat dengan pasti warna asli dari bola mata sang gadis yang begitu bening dalam pandangannya tersebut.
Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi. Well, kecuali kau mungkin hidup di dunia khayalan yang dapat mengabulkan apa saja keinginanmu.
Menyedihkan!
Keisha menghela napas dalam-dalam.
"Maaf," ujar pemuda tersebut, "lagi-lagi aku terdengar kasar padamu."
"Tidak mengapa…" Delima menyentuh bahu pemuda tersebut. "Izinkan aku mengantarmu."
Sekali lagi Keisha memandangi wajah manis yang tertunduk malu-malu itu. "Baiklah."
Delima tersenyum dengan sangat manis.
Setelah Keisha berpamitan kepada Delisa, akhirnya Keisha pun meninggalkan rumah itu ditemani oleh Delima.
"Boleh aku menggandeng tanganmu?" pinta Delima dengan suara yang nyaris serak, ia bahkan tidak berani menatap wajah laki-laki itu.
Keisha melirik ke belakang, mereka sudah melewati gapura kecil yang dipenuhi tanaman merambat itu. Dan ia tidak melihat lagi sosok ibu Delima di depan pintu seperti tadi saat mereka berpamitan.
Kembali pandangannya tertuju pada Delima yang masih menunggu jawaban dari mulutnya.
"Ke sinilah."
Delima menahan senyumnya, ia takut rasa senang di dalam dadanya tidak dapat ia kendalikan seandainya ia membiarkan saja kebahagiaan itu keluar dan meledak.
Sang gadis berpindah posisi ke sisi kiri Keisha. Dengan demikian, ia akhirnya bisa menggandeng tangan pemuda tersebut sebab Keisha menuntun sepedanya di sisi kanan.
TO BE CONTINUED ...