webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Andai Saja

"Nah," ujar Keisha, "kau lihat, kan? Kita sama."

Ya, kuharap kita memang sama dan aku tidak perlu memilih jalan yang membahayakan diriku ini, Keisha. Apa kau tahu itu? ujar Delima di dalam hatinya.

Lalu, angin kembali berembus sepoi-sepoi yang semakin menambah rasa dingin yang ada.

Delima sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang bersuhu dingin, namun tidak bagi Keisha.

Embusan sepoi-sepoi basa itu membuat Keisha meremas bahunya demi menahan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.

"Kamu kedinginan, Keisha? Kulihat bajumu lembab begitu."

"Begitulah," Keisha tersenyum tipis.

Toh, tidak ada ruginya, pikir pemuda tersebut. Jadi, untuk apa berpura-pura kuat menahan rasa dingin ini?

"Tadinya, kukira jalan setapak menembus hutan itu sudah mengering. Ternyata perkiraanku salah."

Tidak, gumam Delima dalam hati, bukan seperti itu. Tapi… mungkin kau sama denganku Keisha. Pikiran kita saling membohongi diri kita masing-masing. Kau pasti tahu hutan itu masih basah, mungkin karena ingin bertemu lebih cepat denganku, itu sebabnya kau tetap menerobos hutan yang masih basah itu.

Delima menekur. Ia tersenyum karena pikirannya sendiri. Kuharap aku tidak sekadar berkhayal.

"Aku baru sadar," ujar Keisha seraya melirik baju kebaya yang dipakai Delima.

"Apanya?" tanya Delima, dan dua pandangan kembali bertemu. Delima menunduk lagi.

Keisha berdeham kecil. "Maksudku, kita memakai baju yang berwarna sama."

Delima melirik kebaya di badannya, lalu berpaling ke badan Keisha. Benar juga, pikirnya. Hal ini semakin menambah keindahan wajah itu dengan rona merah yang kentara di pipinya.

"Aah…" Keisha mendongak, memandang langit biru tanpa terik mentari di sana. "Andai saja aku punya baju batik."

Delima membuang wajahnya ke arah kanan, ke arah di mana bunga melati dan kemuning saling berdesakkan. Aroma kedua bunga itu begitu membuai penciuman Delima, menenangkan kepala, menentramkan hati yang sedikit terbakar api bernama asmara.

Meski tidak mengenyam pendidikan sama sekali, namun Delima tidak gadis bodoh untuk tidak bisa memahami makna dari ucapan Keisha barusan itu.

Ya, baju kebaya dan kain songket yang sangat identik dengan seorang wanita selalunya berpasangan dengan baju batik yang dipakai seorang pria.

Tentu saja!

Dan itu artinya, mungkin Keisha bermaksud ingin mengenal Delima jauh lebih dalam lagi—sebut saja begitu jika kau enggan menggantinya dengan kalimat: Menjadi pasangan kekasih.

Duhai angin, kumohon, datanglah kembali…

Seakan mendengarkan doa sang gadis, angin kembali berembus sepoi-sepoi basa. Delima tersenyum. Terima kasih, bisiknya di dalam hati.

Dan tentu, embusan angin yang cukup lama itu membuat Keisha semakin menggigil. Bahkan suara gemeretak jelas terdengar dari beradunya dua baris gigi di dalam mulut pemuda tersebut, meski mulut itu tertutup.

"Sialan," gumam Keisha setengah tak terdengar dan suara yang sedikit bergetar. "Kenapa angin tidak berhenti sama sekali?"

"Ermm, Keisha."

"Hemm?" Keisha melirik wajah manis di sampingnya itu.

"Ka—kalau kamu kedinginan begitu, kenapa tidak pulang saja?"

Keisha tersenyum, lalu menggosok-gosokkan telapak tangannya.

"Entahlah," ujarnya. "Tadinya, aku sudah mau pergi dari sini. Rasa sejuk ini membuatku tidak tahan. Tapi…" ia melirik lagi sang gadis. "Karena melihat kau datang, aku mengurungkan niatku."

Delima menunduk dalam senyuman. Jujur sekali, pikirnya.

"Bagaimana kalau kamu ikut ke rumahku saja?" tanya sang gadis sembari melirik wajah yang sedikit pucat karena kedinginan itu.

"Hah?" Sebelah alis pemuda itu terangkat lebih tinggi.

"Mak—maksudku, mungkin aku bisa menghidangkan secangkir teh hangat untukmu?"

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Hanya ada ibuku saja. Nenekku sedang pergi."

Apa maksudnya itu? pikir Keisha. Atau nenek gadis itu adalah seorang wanita tua keriput yang galak, begitukah? Nenek sihir?

Ooh, tidak! Aku pasti akan berakhir menjadi santapan mereka.

Astaga… apa yang aku pikirkan?

"Apa aku tidak akan menyusahkan kalian, nanti?"

Delima tersenyum, menggeleng. "Kurasa, ibuku pasti senang menerima kedatanganmu."

"Oh, ya?" kening pemuda itu mengernyit. "Bagaimana bisa?"

"Ermm, kamu tahu…"

Delima menunduk lagi. Menyisipkan helaian rambut yang menggelitik telinganya, meremas-remas ujung kain songket di lututnya itu.

Dan semua itu tidak lepas dari pengamatan Keisha.

"…Aku sering membicarakan tentang kamu bersama ibuku."

"Waow," Keisha tersenyum mengangguk-angguk. "Tidak saja kau menguntitku, tapi juga bergunjing tentang diriku bersama keluargamu. Luar biasa."

"Bukan seperti itu—"

"Aku tahu," Keisha memandang lekat-lekat wajah jelita di sampingnya tersebut. Lalu tersenyum. "Tidak masalah sama sekali buatku."

"Jadi…?"

"Baiklah," ujar Keisha. "Anggap saja aku ingin mengenal keluarga teman baruku."

"Teman…" gumam Delima setengah tak terdengar.

Jadilah Keisha akhirnya menuntun sepedanya menyusuri tepian danau sisi selatan menuju ke arah timur untuk memenuhi ajakan gadis itu tadi.

Tidak banyak percakapan yang terjadi di antara keduanya selama perjalanan menuju rumah gadis tersebut.

Meraka hanya mencoba menikmati suasana yang sedikit romantis itu, di tengah suhu di sekitar danau kecil yang cukup dingin tanpa terlihat kehadiran seorang pun di sekitar sana.

Atau sekadar berseru dengan gembira ketika melihat seekor ikan melompat tinggi keluar dari dalam air demi menyambar seekor capung yang terbang rendah di permukaan danau.

Tapi, lebih banyaknya mereka menunduk, mengamati langkah kaki masing-masing dengan debaran di dalam dada yang sama berdegup lebih kencang, menyesakkan hingga ke ubun-ubun, memerahkan wajah.

Ternyata rumah gadis itu masih cukup jauh dari bangunan-bangunan rekreasi di sisi timur danau, pikir Keisha. Seolah rumah itu sengaja dibangun di tempat yang tersembunyi di tengah-tengah hutan.

Dan ketika mencapai halaman depan dari rumah itu, Keisha dibuat takjub dengan apa yang ada di depan matanya.

Memang, jalan yang mereka lalui bukanlah jalan biasa, hanya jalan setapak yang nyaris tersamar oleh daun-daun pepohonan yang gugur ke tanah. Namun, begitu Keisha melewati sebuah gapura kecil barulah keindahan itu terlihat dengan nyata.

Gapura itu sendiri selebar satu rentangan tangan, di bagian atasnya melengkung. Dan seluruh bingkai gapura dari susunan kayu kering, tertutup tanaman menjalar dengan bunganya yang berwarna ungu dan biru. Bahkan, ada tanaman menjalar dengan ukuran daunnya yang kecil-kecil juga bunganya yang berwarna merah menyelip di antara warna ungu dan biru.

Lalu pekarangan rumah yang terkesan sangat klasik itu, halamannya tertutup rumput hijau yang menyegarkan pandangan, bahkan rumput itu terlihat lembut ketika diinjak. Sepanjang keempat sisi batas luas tanah itu ditanami bunga asoka berbagai warna. Merah, oranye, kuning, ungu, bahkan yang berwarna putih pun ada.

Sejumlah tanaman hias lainnya pun menghiasi beberapa titik di halaman rumah tersebut. Mawar berbagai warna, pinang merah, melati, kemuning…

"Waoow…" Keisha berdecak kagum ketika langkahnya terhenti pada ruas jalan yang terbentuk dari sususan batu pualam. "Ini rumahmu?"

Bahkan ada lebih dari lima jenis kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga-bunga itu, gumam Keisha di dalam hati.

TO BE CONTINUED ...