webnovel

Kau Pikir Cinta Bisa Menghangatkan Segalanya?

Delisa mengecup kening putrinya, lalu melepas pelukannya dari tubuh sang putri.

"Pergilah," ujarnya, "takutnya, dia sudah menunggu kamu di bangku kusam itu. Kasihan."

"Aah, Ibu…" Delima menunduk dengan wajah tersipu. "Eeng, ya udah. Delima pergi dulu ya, Bu."

Delisa mengiringi langkah anak semata wayangnya itu dengan senyuman.

Delima keluar dari dalam rumah lewat pintu depan. Pakaian yang melekat di tubuhnya sama persis dengan pakaian yang ia kenakan kemarin, hanya beda di warnanya saja. Jika kemarin Delima mengenakan kebaya putih, sekarang kebaya yang ia pakai berwarna sedikit kebiru-biruan, juga belahan dada yang sedikit lebar—hampir menyentuh pundak.

Kain songket batik di bagian bawah lebih didominasi oleh warna ungu muda. Dan kali ini, Delima hanya mengenakan sandal.

Ya, sandal. Seolah-olah gadis itu tidak peduli sedikit pun dengan yang namanya tren berpakaian. Sandal jepit tipis yang sepertinya terbuat dari sejenis kulit kayu itu terlihat sangat kuno, tapi cukup terlihat pantas dikenakan gadis tersebut.

Tidak seperti kemarin, Delima melangkah lebih santai. Mungkin pula disebabkan tanah yang masih basah oleh curah hujan yang cukup lebat dari pagi hingga sore di hari sebelumnya. Sehingga, Delima mungkin berpikir tidak ingin mengotori kakinya, apalagi pakaiannya.

Tapi tetap, senandung yang melukiskan keceriaan itu mengumandang pelan dari bibirnya dalam bentuk suara bergumam.

Rambutnya yang hitam panjang sepunggung laksana mayang terurai bergerak-gerak lembut seiring langkah kakinya menuju ke arah selatan, dan nanti ia akan bergerak ke arah barat. Tentu, yang akan ia tuju adalah bangku kusam di tengah taman itu.

*

Keisha sedikit merasa kesal. Kesal pada keinginannya untuk segera bisa bertemu lagi dengan gadis yang menarik hatinya—diakui ataupun tidak—itu mungkin harus tertunda, sepertinya dia tidak akan datang, pikir pemuda tersebut.

Tidak secepat ini, mungkin sore nanti.

Hanya saja, Keisha merasa tidak akan mampu untuk menunggu hingga jam tiga sore nanti. Kecuali mentari bersinar lebih terik, atau Keisha pasti akan memilih untuk pulang saja. Suhu di sekitar danau kecil itu sungguh luar biasa dingin bagi Keisha. Ditambah lagi embusan angin yang seolah-olah mampu menguliti tubuhnya hingga ke tulang.

Bodoh! Kenapa tadi tidak membawa jaket? Kau pikir cinta bisa menghangatkan segalanya, begitukah?

Eeh… cinta?

Astaga, apa yang aku pikirkan?

Keisha bangkit, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar danau. Tidak seorang pun yang terlihat, pikirnya. Lagipula, siapa orang yang sudi keluar rumah lalu mendatangi danau ini dengan kondisi suhu yang begitu dingin seperti sekarang ini?

Dasar bodoh!

Sudahlah, pikir Keisha. Ia pun memutar langkah ke belakang sandaran bangku itu. Dengan menuntun sepedanya, Keisha bermaksud untuk meninggalkan tepian danau tersebut.

Sekali lagi ia melirik ke arah danau, lalu menghela napas dalam-dalam.

Baru saja Keisha akan meninggalkan kawasan itu, ekor matanya menangkap satu pergerakan di sisi kanan. Semakin lama ia memerhatikan, semakin memanjang garis lengkung di bibirnya.

"Delima…" gumam pemuda itu setengah tak terdengar.

Ia mengurungkan niatnya, kembali memarkirkan sepeda itu di belakang sandaran bangku.

"Hei," sapa Delima dengan senyum merekah indah di wajah.

Keisha tersenyum dan mengangguk, tapi senyum itu langsung hilang dari wajahnya. Rasa canggung akan perubahan diri sendiri masih cukup kuat untuk membuat Keisha kembali bersikap sedikit dingin.

"Ternyata benar."

Sebelah alis pemuda itu terangkat lebih tinggi. Ia pun kembali melangkah untuk duduk kembali di bangku itu.

Delima tertawa halus. Sebegitu saja, sudah lebih dari cukup bagi Keisha untuk merasakan sesak di dalam dadanya. Suara itu sungguh merdu.

Apa ini yang dinamakan suara buluh perindu?

Bodoh! Kau mengingau, ya?

Brengsek! Jauh-jauhlah kalian semua dari pikiranku!

"Maksud aku tuh," ujar Delima sembari bergerak-gerak sangat lambat memutar tubuh ke kiri dan ke kanan sementara dua tangan saling meremas di depan tubuh, dan kepala yang menunduk menyembunyikan rona merah di pipi. "Ternyata perkiraanku benar. Kamu datang lebih awal."

"Aah…" Keisha mengangguk ringan.

Delima duduk di bangku itu di sisi yang sama seperti kemarin, sisi kanan. "Sudah lama ya, kamu menungguku?"

Keisha tersenyum tipis, lalu duduk di sisi kiri gadis tersebut. Saat ia akan mengenyakkan lagi pantatnya ke atas bangku itu, tidak sengaja sepasang mata pemuda tersebut justru tertuju ke dada sang gadis.

Ia sedikit tertegun. Belahan dada itu terlalu lebar, pikirnya. Leher yang indah itu, bahu polos laksana lereng bukit yang rendah itu, lalu…

Glek!

Pemuda itu cepat-cepat membuang pandangannya. Belahan buah dada gadis itu membuat wajah Keisha terpanggang.

"Ya, begitulah," ujar Keisha, lalu berdeham untuk mengusir semua pengaruh yang mengundang semua rasa sehingga membuat tubuhnya menjadi sedikit gamang dan gelisah.

"Maaf. Andai saja aku tahu—"

"Tidak masalah."

"Apa kemarin kamu pulang dengan selamat?"

Keisha memandang sang gadis di sisi kanannya, hanya sebentar lalu beralih lagi ke permukaan danau sebelum godaan yang sama datang lagi memaksa pandangannya tertuju ke belahan dada yang menggiurkan itu.

"Tentu saja," jawab Keisha. "Kau lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja, dan sekarang sudah berada di sini, lagi."

Delima tersenyum tipis. Ternyata sikapnya masih dingin, pikir gadis itu.

"Maaf."

"Untuk apa?"

"Erm, maksudku… apa kamu kehujanan, kemarin?"

"Aah," Keisha sedikit menyeringai, lalu menunduk. Memandang bunga-bunga liar yang tumbuh tiga meter di hadapannya, di tepian danau itu sendiri. "Maaf… mungkin aku terdengar kasar."

Delima ikut menunduk, namun dengan senyuman manis yang terukir di sudut bibir.

"Terima kasih."

Delima melirik laki-laki di samping kirinya itu. "Untuk?"

Keisha tersenyum, bahkan lebih lepas. "Dengan bertanya seperti itu, kau sudah menunjukkan perhatianmu sebagai… erm, teman."

Delima mengangguk-angguk kecil. "Teman…" gumamnya setengah tak terdengar.

"Tapi…" Keisha mengangkat tubuhnya, meluruskan punggung itu. Lagipula, suhu yang sejuk itu belum menjauh sama sekali. "Ya, aku kehujanan."

"Ka—kamu sudah minum obat?"

"Haa?" kening pemuda itu mengernyit.

"Jamu?"

Keisha menatap lama wajah indah itu, lalu tertawa sembari geleng-geleng kepala.

Bagi Delima sendiri, ini adalah kali pertama ia mendengar suara tawa laki-laki tersebut. Senyum di bibirnya semakin merekah memerahkan wajah.

Sedangkan bagi Keisha, ini pulalah tawa pertamanya yang murni tanpa paksaan setelah sekian tahun ia tidak pernah tertawa seperti itu.

"Sungguh," kata Keisha, "kau benar-benar gadis yang unik. Ada-ada saja."

"Benarkah?" tanya Delima sembari tersipu, malu-malu.

"Tentu saja. Untuk apa juga kau bertanya aku sudah minum obat atau belum? Jamu? Yang benar saja. Aku hanya kehujanan, bukan sedang sakit atau terluka."

"Maaf…" Delima menunduk lagi. "Kukira kalau seseorang kehujanan pastilah nantinya akan sakit, demam."

"Lucu sekali." Lagi-lagi Keisha tertawa pelan. "Aku bukan anak kecil, Delima. Lagipula, bagaimana dengan dirimu sendiri, hemm?"

"Aku?"

Keisha mengangguk. "Apa kamu tidak pernah bermain hujan?"

Delima tersenyum, memandang wajah laki-laki tersebut, lalu beralih ke permukaan danau.

"Sering."

"Demam?"

Delima menggeleng. Tapi, tentu saja laki-laki itu tidak memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan Delima tersebut.

Aah… andai saja kamu tahu Keisha. Tapi biarlah, aku memang menginginkan seperti ini saja. Mungkin ini lebih baik.

TO BE CONTINUED ...

Next chapter