webnovel

Beautiful Mate

Warning, 21+ mohon bijak dalam membaca. Avery Selena Dawn, seorang gadis yatim piatu 25 tahun yang baru saja lulus dari jurusan fashion design memutuskan untuk nekat mencoba melamar pekerjaan pada perusahaan fashion kulit dan bulu yang terkenal bernama Anima, karena kesulitan yang sedang melilit panti asuhan tempatnya tinggal dahulu yang menyebabkan anak-anak di sana kelaparan. Ia tentu saja sangat bersemangat ketika pada akhirnya diterima pada perusahaan itu. Perusahaan yang terkenal sangat ketat dan sulit menerima karyawan baru itu, bahkan memberinya kontrak khusus dan pendapatan yang terbilang tinggi untuk karyawan canggung yang tak berpengalaman sepertinya. Awalnya Avery mengira kontrak untuknya hanyalah sekadar kontrak kerja biasa sampai ia mengetahui bahwa kontrak itu adalah kontrak yang dibuat sendiri oleh Dominic Lucius Aiken, sang CEO sekaligus pemilik perusahaan itu ketika ia telah tinggal di mansion tua mewah yang sebelumnya ia kira adalah tempat khusus untuk para karyawan Anima. Tetapi dugaannya salah, ketika sang CEO sendiri ternyata juga bertempat tinggal di sana. Dominic, pria yang begitu tampan, gagah, misterius dan sangat mempesona itu, yang selalu terlihat dikelilingi oleh para wanita kemana pun ia pergi, membuat Avery sedikit muak. Pasalnya, ketika para wanita yang ternyata juga tinggal seatap dengannya, kerap memusuhinya dan selalu mencoba membuatnya tampak buruk ketika mereka mengira ia adalah 'mainan' baru sang Alpha! Tunggu, Alpha? Siapa? Dominic? Siapa ia sebenarnya hingga para wanita menyebutnya Alpha?!

Jasmine_JJ · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
84 Chs

Avery Selena Dawn

Gadis berambut cokelat dan mata teduh keemasan selembut madu itu tampak sedikit bergetar ketika ia berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang begitu menjulang dan tampak sedang mengintimidasinya itu.

Avery mendesah kecil ketika dilihatnya para pekerja wanita yang begitu modis berkeliaran dengan penuh percaya diri di sana. Mereka layaknya model yang tengah berlomba-lomba untuk menghadiri peragaan fashion ternama. Bagaimana tidak, dari semua brand dan merk outfit yang mereka kenakan, tak ada satu pun yang tak terkenal. Yah, tentu saja kecuali dirinya.

"Oh, ya Tuhan ... sangat menakutkan," gumam Avery lirih. Ia meremas tali tas map yang ia bawa yang berisi kumpulan design hasil rancangannya dengan kuat-kuat.

Perut Avery terasa melilit. Ia tahu, ia sudah salah menginjakkan kakinya ke dalam gedung ini. Jika tak mengingat wajah-wajah kecil yang kelaparan di Panti Asuhan Angelica milik Marry, bibinya, saudari tiri ayahnya yang telah meninggal itu, ia tak akan mungkin berani mencoba untuk melakukan hal nekat seperti melamar pekerjaan pada perusahaan fashion ternama yang bernama Anima.

Ruth, putri satu-satunya bibinya itu selama ini harus bekerja keras agar dapat membiayai beberapa anak panti yang masih ada di sana. Dan Avery tahu, jika itu sangat berat.

Ia termasuk anak yang sedikit beruntung. Walau kedua orangtuanya telah meninggal ketika ia kecil, tapi Marry dengan senang hati mau menampungnya dan mengizinkannya tinggal di panti kecil miliknya bersama putri dan anak-anak lainnya.

Dan keberuntungan lainnya yang ia miliki adalah, ia dapat bersekolah di tempat yang bagus hingga akhirnya dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus dari jurusan yang diinginkannya, berkat bantuan dari Arthur, sahabat lama ayahnya yang merupakan dosen di salah satu universitas tempat ayahnya bekerja dulu.

"Avery ... kau bisa melakukannya," lirihnya lagi untuk menguatkan dirinya sendiri.

Dengan menelan ludahnya, Avery kemudian melangkah tegap untuk memasuki lobi kantor di sana. Ia sudah tak mempedulikan lagi tatapan para wanita yang menatapnya seolah aneh bahkan sinis ketika ia melangkah mendekati meja penerimaan tamu.

"Permisi, selamat pagi," sapa Avery sedikit canggung.

Wanita modis dengan rambut ponytail menyambutnya dengan sedikit mengerutkan alisnya. "Ya?" jawabnya.

"Maaf, bisakah aku menemui Clarita, bagian HRD perusahaan ini?"

"Ada kepentingan apa? Sudahkah kau membuat janji?" tanya wanita itu. Ia bahkan tak repot-repot untuk sekadar tersenyum atau berbicara ramah kepadanya.

"Ah, belum," jawab Avery sedikit tak yakin. "Begini, aku tahu perusahaan ini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan. Tapi, karena aku melihat profil perusahaan kalian yang mengatakan bahwa kalian me ... menerima ide baru ataupun konsep segar yang mungkin tak ada sebelumnya, maka aku memberanikan diri untuk ...."

"Nona," potong wanita itu. "Kau sudah tahu jika kami tidak membuka lowongan pekerjaan baru, bukan? Seharusnya kau berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk datang kemari." Wanita berambut pirang dan bermata biru cerah itu tetap menatap Avery datar walau dalam kalimatnya terdapat beberapa penekanan nada yang tampak menyiratkan jika ia merasa kesal.

"Siapa bilang!?" ucap suara wanita di belakang Avery yang tiba-tiba saja mengagetkannya.

Avery menatap wanita yang tengah muncul dari belakangnya, yang berperawakan kecil dan memiliki rambut hitam bob pendek itu dengan sedikit takjub. Bagaimana tidak, jika seluruh aksesoris dan pakaian yang dikenakannya adalah barang-barang bermerk terkenal dan ternama yang tentu saja tidak murah harganya. Bahkan bisa dikatakan harganya selangit!

"Aku juga membaca profil perusahaan ini. Dan aku rasa, tak ada salahnya bagi Nona ini untuk memasukkan design yang ia punya. Karena akupun begitu, aku juga hendak mencoba melamar pekerjaan di sini," ucapnya sambil tersenyum santai.

Setelahnya, ia mendekat dan menatap tajam wanita penerima tamu itu untuk beberapa detik. "Sebaiknya kau hubungi manajer HRD untuk menerima kami, sebelum kau memutuskan sendiri," ucapnya dengan nada suara rendah dan tenang.

Entah mengapa, wanita pirang berponytail itu tampak gugup ketika mendapat tatapan wanita berambut pendek itu. Ia tiba-tiba mengangguk patuh dan tergagap. "Ba ... baik, Nona, saya akan menelepon bagian tersebut." Ia lalu segera meraih gagang telepon dan mulai berbicara.

Seolah tak mempedulikan itu, wanita tadi kemudian berbalik dan menatap Avery dengan binar ingin tahu. "Halo, manusia menarik, apa kau ingin melamar pekerjaan di sini?" tanyanya sambil tersenyum ramah.

Avery sedikit mengerjap mendengar cara wanita itu menyapanya. "Y ... ya," jawabnya gugup.

"Apa kau tak takut?" tanyanya sambil memasang wajah yang penuh dengan keheranan.

Tentu saja! Teriak Avery dalam hati. Ia kemudian membasahi bibirnya sebelum menjawab wanita itu. "Sangat!" balasnya. "Wanita mana yang tak takut jika ia dikelilingi oleh puluhan wanita lainnya yang sangat modis dan cantik," jawab Avery tanpa sadar setengah berbisik.

"Bukan itu maksudku," balas wanita itu sambil mengerutkan alisnya. "Bagaimana perasaanmu ketika melihat gedung ini dan masuk ke dalamnya?" tanyanya lagi.

Avery lalu mengangguk mengerti. "Aah, maksudmu perasaan mulas dan perut yang melilit, serta keringat dingin yang terasa membanjiri seluruh tubuhmu itu? Percayalah, bahkan saat ini pun aku sedang melawan rasa gugupku karena begitu cemas," ucapnya dengan wajah khawatir. "Andai kau tahu, bagaimana kegugupanku sekarang hingga aku menahan diri agar tidak sampai mengompol di celana!"

Wanita itu lagi-lagi mengerutkan alisnya dan menggeleng. Ia tersenyum geli. "Oke ..., tapi bukan itu maksudku, manusia konyol!" balasnya kemudian tergelak. "Jadi, siapa namamu?" tanyanya kemudian setelah berhenti tertawa.

"Avery," ucap Avery sambil menerima uluran tangan wanita itu.

"Aku, Leah," balasnya sambil tersenyum. Ia kemudian menepuk-nepuk perlahan punggung tangan Avery sembari mengusapnya sekilas. "Hembuskanlah napasmu Avery, dan tenanglah," ucapnya seolah memberi perintah.

"Ya, baiklah," balas Avery. Entah mengapa Avery kemudian melakukan yang diucapkan Leah. Dan anehnya setelah ia menghembuskan napasnya, ia seketika merasa ringan dan tenang.

"Kalian sudah dapat menemui Clarita di lantai 5, Nona-Nona," ucap wanita penerima tamu itu kemudian.

"Baiklah, ayo!" Tanpa mengucapkan terima kasih, Leah lalu menarik tangan Avery dan menggandengnya menuju ke arah lift.

"Te ... terima kasih," ucap Avery tergesa karena Leah tak memberinya kesempatan untuk berjalan pelan. Ia sedikit heran karena Leah seolah sedang terburu-buru.

"Mengapa begitu tergesa-gesa?" tanya Avery.

"Karena aku begitu bersemangat!" ucap Leah sambil tersenyum riang.

Avery hanya dapat menggeleng dan tersenyum geli. Ia kemudian mengikuti Leah yang telah berdiri di depan pintu lift.

"Tiing!"

Pintu lift terbuka tepat setelah dentingan itu terdengar. Di dalamnya, terlihat ada beberapa pekerja wanita dan pria sedang menggunakan lift yang sama. Bukannya langsung masuk, Leah hanya berdiri di tempatnya, sampai beberapa saat kemudian para pegawai di dalamnya satu demi satu keluar hingga lift kosong.

Setelah itu, Leah baru melangkahkan kakinya untuk masuk. Avery sedikit terheran-heran dengan sikap para karyawan di sini saat berhadapan dengan Leah. Apa karena ia memakai semua aksesoris dan terusan dari merk-merk ternama hingga mereka bersikap segan padanya? Pikiran itu sedikit mengganggunya.

"Avery, ayo!" panggil Leah.

Avery lalu mengangguk dan msuk dengan sedikit bingung. "Sungguh ... ternyata merk terkenal memang bisa membuat orang begitu disegani ya," gumamnya sambil menggeleng takjub.

"Apa maksudmu? Baju dan semua yang kukenakan ini?" tanya Leah acuh.

"Ya, tentu saja! Apa lagi? Sadarkah kau, Leah, kau sedang mengenakan outfit seharga dua rumah mewah di tubuhmu! Dan itu hanya kau gunakan untuk melamar kerja?!" ucap Avery seolah takjub bercampur ngeri. "Karyawan fashion mana yang tak akan merasa segan padamu?"

"Maksudmu ini?" ucapnya seolah tak percaya sambil menunjuk bajunya. Avery mengangguk tanda mengiyakan.

"Oh, dear ... jangan merendah. Justru kau yang mengenakan barang yang tak ternilai sekarang. Andai saja aku tak tahu jika kau tak mengerti, mungkin aku akan menganggap perkataanmu tadi sebagai ejekan untukku."

Avery membulatkan matanya. "Ejekan? A ... aku tidak bermaksud untuk mengejekmu. Aku hanya kagum padamu, sungguh!"

Leah hanya tersenyum geli. "Ya, aku tahu. By the way ... dari mana kau mendapatkan baju itu?" tanya Leah dengan wajah yang berbinar.

Avery kemudian menatap dress hitam selututnya yang bermotif bunga sambil merona dan tampak malu. "Ini maksudmu?" ucapnya sambil menatap bajunya sendiri. "Well, sebenarnya ini adalah baju lama ibuku. Aku hanya memadukannya dengan blazerku agar ini terlihat sedikit modern," jawabnya malu-malu. "Apakah ini tampak buruk padaku?" tanyanya lagi was-was.

"Ting!"

Pintu lift kembali terbuka untuk mengantarkan lantai tujuan mereka. "Itu sungguh sempurna, Dear ... jika saja kau tahu betapa iri dan takjubnya semua makhluk di sini saat melihat baju yang kau kenakan itu, mungkin kau akan mundur teratur."

Leah lagi-lagi mengucapkan kata-kata yang tak Avery mengerti. "Baju tua ini maksudmu?" tanyanya heran.

"Bukan baju tua, Dear ... tapi baju tak ternilai. Ayo, kita harus bergegas!" Leah kemudian menarik tangannya untuk keluar dari lift.

Sekeluarnya mereka, mereka dihadapkan pada lorong panjang dengan beberapa ruangan-ruangan kaca yang cerah yang tersekat menjadi beberapa bagian. Ruangan yang terlihat cukup luas itu tampaknya seperti ruangan untuk pertemuan ataupun rapat penting.

Dapat terlihat dari salah satu ruangan yang sedang berisi oleh sekumpulan pekerja bersetelan rapi yang sedang mengelilingi sebuah meja besar dan menghadap pada salah satu pria yang tampaknya sedang menyimak jalannya pertemuan dan tampak sedang duduk dengan tenang. Sedang di sebelahnya, ada seorang pria lainnya yang sedang berdiri sambil memegang berkas di kedua tangannya dan seolah-olah sedang berpresentasi.

"Mereka sedang rapat rupanya," gumam Avery.

"Ya, kau benar. Kau lihat pria yang duduk di depan mereka?" ucap Leah sambil memberi isyarat pada matanya. Ia merujuk pada seorang pria yang bersetelan paling rapi dan sedang duduk tenang sembari terlihat sedang mendengarkan dengan serius. Pria itu memiliki tatapan yang tajam dan tampak seperti sedang mengintimidasi.

"Ya," jawab Avery kemudian mengikuti arah pandang Leah.

"Ia adalah pimpinan di perusahaan ini," ucap Leah.

"Benarkah?" Avery terkejut mendengar ucapan Leah. Matanya seketika membulat.

"Ya, bagaimana menurutmu? Ia sangat tampan dan berkharisma, bukan?" ucap Leah.

Avery melirik lagi pria itu sekejap sebelum akhirnya menjawab, "Lumayan," gumamnya dengan raut wajah seolah sedang menilai.

"PPFFFTTTT!!! HGKH!"

Tiba-tiba Leah menutup mulutnya dan membekapnya dengan geli saat mendengar jawaban Avery. Ia terlihat menahan tawa yang hampir meledak dari mulutnya.

Avery yang tak mengerti hanya menatap Leah dengan bingung. Dan saat ia menatap lagi ruangan kaca bening tersebut, semua mata karyawan di sana tiba-tiba sudah menatapnya secara bersamaan, seolah mereka mendengar percakapannya dengan Leah!

Avery menahan napasnya dan sedikit tercekat, terlebih lagi saat pria pimpinan itu juga menatap wajahnya dengan tajam sambil memicingkan matanya seolah sedang menggeram. Jantungnya seketika berdesir.

Apa mereka mendengarku? Batinnya bertanya-tanya dengan heran. Untungnya, tak butuh waktu lama, setelahnya mereka akhirnya berbelok dan masuk ke dalam ruangan lain untuk meninggalkan ruangan kaca yang mereka lewati tadi.

"Mengapa menurutmu ia hanya 'lumayan'? Bukankah ia super tampan dan menawan?" tanya Leah lagi dengan raut yang masih menahan geli ketika mereka akhirnya sampai di depan pintu sebuah ruangan yang tertutup.

Avery mengerjap gugup. "Well, aku tak terbiasa menilai begitu saja keseluruhan seseorang tanpa mengetahui sifatnya. Maksudku, kebanyakan pria tampan sering tak sesuai dengan sifatnya. Dan aku mungkin akan menganggap pria atau siapa pun yang memiliki kepribadian buruk, sebagai orang yang buruk, maaf. Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja," terang Avery lagi.

"Dan kau tak akan tertarik pada pria yang berkelakuan buruk sedikitpun, bahkan jika ia super tampan sekalipun?" tanya Leah.

Avery mengangguk. "Aku percaya, semakin ia memiliki wajah tampan, semakin besar kemungkinan ia akan berkelakuan buruk. Aku ... hanya tak terlalu suka pria tampan," ucap Avery setengah bergumam.

Ya, karena aku pernah mengalami beberapa pengalaman yang tak mengenakkan dengan pria tampan. Batinnya. Avery sekilas mengingat lagi kenangan buruknya mengenai pria-pria tampan yang sekadar ingin menggodanya atau bahkan berbohong, merayunya, untuk memanipulatif gadis lemah demi mendapatkan keinginannya.

"Oh, malangnya kau, pasti begitu buruk pengalamanmu ya hingga kau msih merasa pilu ketika teringat hal itu," gumam Leah sambil mengamati Avery.

"A ... apa?" jawab Avery kaget. Karena lagi-lagi Leah seolah mengerti apa yang sedang ia rasakan.

"Sudahlah, ayo kita masuk," ucapnya sambil tersenyum. "Dan, oh ya ... kau belum memberitahuku nama panjangmu."

"Oh, ya ... namaku Avery Selena Dawn," balas Avery.

"Sempurna!" balas Leah bersemangat. Ia kemudian mengetuk pintu yang tertutup itu sebelum membawa Avery masuk.

----****----