_Malam itu, adalah malam paling gelap di antara malam lainnya_ @Windiana Larisa
.
.
.
Disebuah kampus swasta di kota Jakarta, seorang perempuan duduk di perpustakaan yang ramai namun sepi suara. Perempuan itu telah berubah dari 4 tahun lalu, wajahnya telah berubah menjadi dingin, pakaiannya berubah tertutup, hijabnya panjang + kaus kaki yang menutupi auratnya. Pakaian syar'i adalah pakaian yang sesuai syari'at.
Yah, sejak saat itulah Windi benar-benar hidup dalam keterpurukan, hinaan dan caci-maki. Mungkin jika pada hari itu ia tak nertemu dengan sahabat ibunya di depan toko roti, ia akan menjadi orang gila dan masuk rumah sakit jiwa. Namun, Allah Swt memberinya jalan untuk menghadapi semua yang menimpanya.
Bibi Jihan menjadi sosok ibu selama ini bagi Windi, dialah yang memberi semangat hidup dan terus berhijrah sepanjang waktu. Tak perduli seluruh dunia menghujat, Windi adalah korban pada saat itu. Pun Reno masih menyayangi Windi dengan penuh kasih, bahkan ia juga menyayangi Tristan Fadilah--putra Windi, dan mempekerjakan baby sister agar Windi tak terbatas kegiatannya. Reno juga memasukan Windi di universitas agar Windi tidak terkurung dalam masa lalunya.
Kini, usia Windi menginjak 23 tahun, setelah 8 bulan melahirkan ia masuk ke universitas. Kini Windi masuk awal semester 6. Awalnya Windi menolak keras, namun Alisya menguatkannya, mengajak Windi ikut kegiatan keagamaan dan mengajaknya bekerja di butik muslimah miliknya.
Windi bersyukur, masih ada yang bertahan di sisinya ketika ia berada dalam titik terendah dalam hidup. Semua temannya menjauh, tetangga dan hampir semua orang yang mengenalnya dan mengetahui kenyataan itu menjauh, menghujat dan merendahkannya.
Perempuan itu duduk sendiri, menatap luar jendela. Setelah selesai mengerjakan tugasnya, ia duduk sebentar. Diliriknya jam tangan coklat di pergelangan tangan kanannya, pukul 11.00 WIB. Hampir saja ia lupa, 15 menit lagi Tristan harus makan siang. Ia sesegera mungkin pulang, walaupun ia memiliki baby sister untuk Tristan, namun ia masih mengurusi Tristan sebagaimana seorang ibu mengurus anaknya. Windi mencintai Tristan melebihi dirinya sendiri, ia berlari sekencang-kencangnya menuju halte.
.
.
.
@Rumah Reno
Sampai di rumah, Windi terheran ketika melihat beberapa orang berpakaian formal hitam berjejer rapih di depan pintu utama dan 2 orang di pos satpam. Dengan panik, ia buru-buru berlari menuju ke dalam rumah dan merasa aneh dengan keadaan itu.
"Assalamu'allaikum, paman! Bibi! Caca! Ruly! Doni!" ia memanggil semua orang yang ada di rumah itu, "Bi Tina, Bi Yuli! Tristan sayang!" namun hasilnya...
Ia menatap seluruh orang-orang yang berkacamata hitam itu dengan panik. Ketika sebuah suara dari ruang tengah mengejutkannya.
"Windi, ke sini nak!" suara Reno.
Buru-buru Windi masuk ke ruang keluarga, "ada apa paman, kenapa banyak orang di sin..." belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, ia terkejut melihat sosok laki-laki dewasa bule tampan, tengah duduk di sebrang Reno, dan ia tengah memangku Tristan.
Bruk! Ia menjatuhkan buku-bukunya dengan shok, ketika itu pula ia berlari menghampiri Tristan, merebut Tristan dengan cepat dan memeluknya erat.
"Tristan!" pekiknya panik.
Sementara pria itu hanya menaikkan satu alisnya heran, melihat tingkah Windi yang overprotektif.
Tristan yang merasa terusik itu langsung menangis dan memanggil-manggil, "Daddy... huwaaa... Daddy!" Tristan menggeliat kesana-kemari membuat Windi kesulitan.
Namun, laki-laki bule itu berdiri dan mengambil alih Tristan dari pelukan Windi, dengan sedikit paksaan. Detik berikutnya, Tristan diam dan memeluk erat leher pria itu.
"Tris ikut bunda yah." panggil Windi ketika melihat Tristan justru malah mengeratkan pelukannya pada leher laki-laki itu.
"Hai, kau ingat aku?" tanya laki-laki itu tersenyum mengalihkan perhatian Windi.
Windi tak menggubris, dengan bahasa inggris yang fasih Windi menjawab ketus, "saya tak perduli padamu, cepat lepaskan anak saya!" tegasnya mendelik.
Naluri keibuannya terpanggil, "jangan lukai anak saya!" lanjutnya tak kalah tajam.
Laki-laki itu justru malah terkekeh, "ini anakku juga, sayang!" balas laki-laki itu menyebalkan.
Windi terbelalak, ia menoleh ke arah Reno. Sementara Reno mengangguk dan menggiringnya untuk duduk.
"Kita dengarkan penjelasannya dulu nak!" ucap Reno halus.
"Tapi Tristan?" tanya Wimdi seolah ingin bangkit dan mengambil alih Tristan lagi.
"Tenanglah, dia tak mungkin menyakitinya." ujarnya.
"Tapi paman..."
Reno meyakinkan Windi dan menariknya untuk duduk.
.
Tristan masih asyik dengan dunianya sendiri, memainkan dasi laki-laki itu dan memilin-milin kancing yang ada di jasnya.
Windi memperhatikan Tristan, melihat Tristan begitu bahagia mendapati bahwa ayah yang selama ini dipertanyakannya tengah memangkunya, memeluknya hangat dan memberi kenyamanan seorang ayah. Warna iris mata mereka sama-- biru muda, fitur wajah Tristan memang lebih condong pada laki-laki yang baru diketahui namanya, Melvino Dannis itu.
Ia tentu tak bisa mengelak bahwa anaknya sangat mirip dengan Melvin, mereka bagaikan versi tua dan muda. Windi tak mau mengakuinya, namun itu kenyataannya.
Melvin--laki-laki kurang ajar itu begitu tampan, terlepas dari asal negaranya, ia memiliki fisik yang sempurna. Bukan sepenuhnya dari Inggris, dia memiliki fisik british dark. Mungkin bagi orang-orang yang percaya, mereka akan mengatakan bahwa Melvin seperti jelmaan dewa-dewa Yunani. Andai tidak ada luka yang disebabkannya pada Windi, pasti Windi tak akan mengubur pujian bahwa Melvin adalah orang paling tampan yang pernah ia lihat secara langsung. Masih sama seperti malam itu, wajahnya dan semua tentangnya masih sama.
Windi tau, bahwa Melvin berada di usia yang jauh di atasnya, mungkin ada 10 tahunan.
Malam paling gelap dalam hidup Windi, bagaimanapun fisik seorang Melvin, selamanya ia akan menjadi orang terburuk dalam hidupnya. Windi masih mengamati pergerakan putra kecilnya itu, putra kecilnya putih, imut khas anak-anak Barat, rambutnya coklat gelap ketika terkena sinar matahari akan menjadi agak blonde gelap. Semua itu ada pada Melvin, hal yang paling ia tak suka. Tangan kecil Tristan menyentuh rahang kokoh Melvin yang ditumbuhi jambang lebat, namun masih menampilkan wajah awet mudanya. Bentuk matanya yang lebar dan lancip menampakkan ketajaman, sementara itu terdapat otot halus yang sedikit terlihat di dahinya ketika ia mengerutkan dahi tanda terheran.
Tristan memainkan jambang-jambang itu dengan gembira, sementara Melvin yang merasa geli pun menangkap tangan kecil itu kemudian menciumnya agar Tristan berhenti melakukannya, namun hal itu disambut tawa olehnya. Windi menurunkan tatapannya pada Tristan dan Melvin, mengapa ia harus terlibat lagi dengan laki-laki itu?
"Aku minta maaf atas kesalahan di masa lalu, Windi. Aku hanya bisa menyapa kalian melalui uang, aku juga tak pernah menyangka kalau kau akan hamil dan aku tak akan tahu jika Reno tidak memberitahuku 3 bulan kemudian,"
Windi mengalihkan perhatian, ia masih sangat sakit hati dengan semua itu.
"Lalu jika aku tak hamil perbuatanmu akan dibenarkan? Aku kehilangan kehormatanku saat itu." geramnya meremas tangannya sendiri.
"Aku minta maaf, aku tau itu salah makanya aku ingin menebus waktu yang hilang dari Tristan, untuk masa depannya..." ia menghentikan ucapannya ketika Windi menatapnya tajam.
"Kau kira mencabut belati yang sudah menancap di hati itu semudah menusukkannya?" nadanya datar tapi menusuk, "Ini sudah 4 tahun berlalu semenjak kejadian itu, kau datang dengan sangat gila! Aku hidup dalam kegelapan, semua orang menghinakanku. Aku tak masalah jika itu hanya dialamatkan padaku, tapi Tristan? Anak sekecil itu harus lahir tanpa ayah, hampir setiap hari ia menanyakan keberadaannya, teman-temannya menghinanya. Anak sekecil itu..." ia menahan air matanya, suaranya bergetar penuh penekanan.
Melvin diam saja, ia membiarkan ibu dari anaknya itu meluapkan segala emosi yang ia rasakan selama dirinya kabur dari tanggung jawab itu.
"Tristan selalu dihina karena tak punya ayah, sebagai anak haram dan selalu menjadi bahan gunjingan. Aku sudah mulai mengikhlaskan semuanya, membiarkan Tristan belajar hidup tanpa adanya ayah biologis, tapi kenapa kau baru datang sekarang? Apakah kau memang tak memiliki tanggung jawab moral?" tanyanya mulai menitihkan air mata.
Melvin memejamkan mata lelah, "aku membiayai hidup kalian selama 4 tahun ini, aku sadar akan hal itu Windi!"
"Bukan tanggung jawab materi, tapi waktumu juga keberanianmu memberikan waktu terbaikmu pada Tristan." timpal Windi masih mengalirkan air mata sakit hati.
"Aku faham, dan aku akan menebusnya kali ini. Aku akan menikahimu dan memberikan waktu terbaikku untuk Tristan." ujarnya membuat Windi menggeleng.
"Itu hanya ada dalam mimpimu tuan Melvin, saya tidak mau. Saya tidak mau Tristan tumbuh dengan ayah yang tak bertanggung jawab atasnya. Aku tak mau..."
"Kalau begitu biarkan Tristan ikut denganku ke Inggris!" putus Melvin menatap tegas ke arah Windi yang sudah melotot marah.
"Kau gila! Teganya kau memisahkan Tristan dari ibunya sendiri, dimana nuranimu hah?!" bentak Windi tak tahan lagi.
Reno menahan Windi agar tidak beranjak dari duduknya, bisa bahaya. Windi memang sosok yang sabar, namun ketika berhubungan dengan anaknya ia akan berubah menjadi macan betina.
"Itu pilihanmu, menikah denganku atau berpisah dengan Tristan!"
"Kau gila! Kau tak punya hak untuk itu!"
"Tapi aku punya kekuatan untuk merebut hakmu!" ujar Melvin santai.
Windi tak tahan lagi dan mendekati Melvin, namun ia menahan diri ketika melihat Tristan menoleh ke arahnya heran, melihat ibunya bersungut-sungut.
"Bunda tangen yah tama daddy?" tanya suara cedal itu.
Windi terkejut, seketika kemarahannya menguap. Melvin memperhatikan itu dan cukup kagum dengan perubahan eskpresi Windi yang sangat cepat. Windi langsung menatap Tristan lembut dan membujuknya masuk ke gendongannya.
"Sini sayang, sama bunda. Sebentar lagi sholat dhuhur loh," ucapnya berjongkok di depan Melvin dan membuka tangan siap menggendongnya.
"Ah bunda, kan Tan matih mau tama daddy." rengeknya mengusel ke dada bidang laki-laki itu yang terlihat keras dan berotot. Windi tak menyerah, melebarkan senyum termanisnya dan terus membujuk dengan suara lembutnya.
"Iya, tapi Tristan harus makan siang dulu, abis itu sholat berjam'ah sama kakek Reno, yah?" ujar Windi mesih merentangkan tangan.
Tristan cemberut, mendongak menatap ayahnya yang sedang memperhatikan Windi heran.
"Daddy ikut t(sh)olat gak?" tanya Tristan polos.
"Tanyain gih! Pakai english language yah?" ujar Windi tersenyum lembut.
"Daddy ikut t(sh)olat?" tanyanya menggunakan bahasa inggris, terlihat imut.
Melvin mengeryit, "sholat? Apa itu?" tanyanya memaksakan senyum.
"Kata bunda, sholat itu seperti kita teleponan tama Allah, buat olang Islam wajib mengeljakannya 5 waktu tiap hari, daddy." jelasnya semangat, menggunakan bahasa inggris yang simple.
Melvin melempar tatapannya pada Windi yang memutar bola mata malas, "sudahlah, kau takkan tau. Biarkan aku menggendong Tristan!" ujar Windi kini memaksa.
Melvin tidak juga berbaik hati, "kamu belum menjawab lamaranku tadi"
Windi terkejut, "kau sebut itu lamaran?" ia berdiri tak habis pikir dengan laki-laki kaya di depannya.
"Lalu apa menurutmu?"
"Paman, tolongin aku dong, itu Tristan gimana!" ia menarik-narik Reno yang hanya tersenyum melihat Windi berubah kekanakan.
Padahal Windi belum pernah seperti itu di depannya, namun kali ini?
"Sudahlah Windi, kau tak punya pilihan lain. Aku akan menikahimu seminggu lagi!"
"Tidak! Jangan harap!" geramnya, ia tak berani meninggikan suara di depan Tristan yang masih sibuk mengusel-usel di dada Melvin.
"Dan jangan berharap bisa menggendong Tristan lagi,"
"Tuan Melvin, tolong jangan mengancam!"
"Itu yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan apa yang ku inginkan!" balasnya lagi.
"Tidak semua yang kamu inginkan bisa kau dapat!" tegas Windi berkaca-kaca.
"Dan aku akan tetap menjadikanmu sebagai milikku, sayang!" putus Melvin tak ingin dibantah lagi.
"Kau tak tau diri!" kini ia cemberut.
"Aku tau, tapi kau yang tak tau siapa aku!" ia menyeringai.
"Terserah! Sekarang Tristan harus makan siang tuan Melvin, biar aku yang menggendongnya" ucap Windi cemberut.
Melvin menatap Windi dengan senyum manisnya.
"Baiklah, jagoan daddy..." ia beralih menatap Tristan yang masih menatapnya dengan wajah polos yang imut itu, "sekarang ikut mommy..." ucapannya terpotong oleh Windi yang sudah tak sabar.
"Bunda, bukan mommy!"
Melvin terdiam, kemudian... "ikut bun--da yah!"
Tristan menggeleng, namun Melvin menatapnya agak dalam, hal itu membuat nyali anak kecil ciut.
Windi langsung merebut Tristan dari Melvin dan menatapnya tajam, "jangan pernah menggunakan tatapan menusuk itu untuk anak kecil tuan Melvin, Tristan hanya takut berpisah dengan ayahnya." ketusnya kemudian pergi ke ruang makan.
Melvin beralih menatap Reno yang sudah tegang dibuatnya.
"Kau tidak mengatakan kalau aku yang selalu mengirim mereka uang?" tanya Melvin dengan ekspresi dingin.
Reno gelagapan, "aku..."
"Tak usah bicara, aku sudah tau kalau selama ini uang yang aku kirimkan untuk Windi dan Tristan, justru digunakan oleh istri dan anak-anakmu?" itu sebuah pernyataan bukan pertanyaan.
Reno menunduk, namun ia tak bisa mengelak apa yang dinyatakan Melvin.
"Untunglah Windi perempuan polos dan baik-baik" ia menjeda, masih memeberikan tatapan menusuk. "Aku juga telah mengetahui fakta, bahwa malam itu yang harus melayaniku bukanlah Windi tapi anakmu yang bekerja sebagai model itu. Tapi kau menjadikan keponakanmu sebagai penggantinya. Lihat? Windi tak memiliki satupun kemarahan padamu" jelasnya membuat Reno mengulang penyesalannya lagi.
"Aku tak menyangka kalau Windi akhirnya hamil," cicit Reno tak berani membalas tatapan Melvin.
"Huft!" Melvin membuang nafas kasar, "tapi aku bersyukur, karena yang hamil adalah Windi. Bukan anakmu, setidaknya aku akan menikahi perempuan baik-baik" balas Melvin tersenyum penuh kemenangan.
...•...
Setelah kejadian itu, 3 hari berlalu Melvin kembali datang ke rumah keluarga Reno. Saat itu Tristan sedang bermain bersama bi Yuli, sementara Gita dan Ruly sedang santai-santai di ruang Tv.
Melvin bersandar di ambang pintu ruang tamu menuju ruang keluarga, di sana juga menjadi ruang nonton Tv. Ia menyeringai tak suka dengan kelakuan mereka,
"Jadi ini kelakuan kalian pada anakku?" pertanyaan berbahasa inggris yang tegas.
Gita dan Ruly menoleh terkejut, sementara itu bi Yuli dan Tristan juga menoleh.
"Daddy!" panggil Tristan yang awalnya duduk di lantai, mulai berlari menghampiri ayahnya.
Melvin berjongkok dan menyambut anaknya dalam gendongan, ia mencium dengan sayang darah dagingnya itu. Sementara Gita dan Ruly buru-buru menghampiri Melvin dan mulai akting, namun tanpa disangka Melvin mengabaikan semua kelakuan mereka.
"Aku akan pergi ke kampus Windi, kau..." ia menunjuk bi Yuli yang langsung mengangkat kepala.
"Follow me!" ujarnya kemudian pergi.
Bi Yuli kebingungan, walau ia tak tau apa yang dikatakan Melvin, isyaratnya sudah jelas bahwa bi Yuli diminta mengikutinya. Dan lagi Windi pasti akan panik ketika Tristan dibawa ayahnya tanpa ia mengikuti Tristan. Akhirnya ia berlari menyusul Tristan yang ada di gendongan sang ayah.
.
Next part😎