Windi berjalan menuju gerbang fakultasnya, ia terheran ketika di depan gerbang ada banyak sekali mahasiswi yang mengerumuni sesuatu, masalahnya jika itu kecelakaan gadis-gadis itu tak mungkin histeris seperti melihat idola Korea.
Hal itu membuat Windi yang ingin lekas pulang terhambat, ia harus menyuapi Tristan, namun ia tak bisa keluar gerbang.
Ia kebingungan dan sedikit memanjat pembatas taman--jalanan paving dan melihat ada apa sebenarnya. Beberapa detik, ketika ia baru saja melihat siapa yang sedang menjadi pusat perhatian adalah...
"Tristan?" semua orang menoleh ke arah Windi yang sedikit berteriak.
Melvin tersenyum mendengar itu, ia tengah menggendong Tristan di samping mobil sportnya. Windi langsung turun dari pijakannya dan menuju ke arah kerumunan, secara otomatis jalan terbuka untuknya.
Bisikan-bisikan mulai terdengar tatkala Melvin menatap Windi dengan tatapan menawan, andai Windi menatapnya juga pasti wajahnya sudah bersemu merah. Namun, Windi fokus pada Tristan yang dengan semangatnya mengulurkan tangan ke arah sang ibu.
"Oh jadi itu anak haramnya? Pantesan lucu banget. Gila bener dia dapetin bule!" bisik seseorang.
"Wah gue mau dah punya anak dari bule keren kek gitu..." bisik yang lain.
"Ternyata tuh busana cuma buat kedok yah, aslinya cabe!"
"Heran gue, sok polos banget, padahal belum nikah dan punya anak!" ucap yang lain.
"Tapi beneran tuh bule adalah bule tercakep yang pernah gue liat!"
"Iya bener, tapi gimana caranya dia dapetin tuh bule?"
"Pake susuk kali..."
"Pelet juga."
"Masa sih dia pake pelet gitu?"
"Iya bisa aja, kita gak tau gimana sifat aslinya. Buktinya penampilannya rapet, eh punya anak di luar nikah!"
Windi sudah biasa dengan semua itu, biarkan orang lain berasumsi, yang ia pikirkan sekarang adalah pulang.
"Bunda... Bunda!" panggil Tristan mengulurkan tangan.
Windi membenarkan buku-bukunya di tangan kiri dan menggendong Tristan di tangan kanan. Melvin tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, Tristan langsung berceloteh, menceritakan segala hal pada Windi. Sementara itu, Melvin membukakan pintu untuknya, di samping pengemudi. Windi ingin menolak, namun ia sadar situasi tak memungkinkan.
Pada akhirnya ia menurut dan masuk ke dalam mobil, duduk di samping kemudi. Melvin dengan percaya diri melambaikan tangan ke arah mahasiswi yang tadi mengerumuninya dengan kagum. Kali ini mereka kecewa setelah melihat Windi yang membuat si bule berdiri di luar gerbang kampus itu.
@Mobil
"Eh bi Yuli?" Windi terkejut melihat bi Yuli di jok belakang sedang duduk manis.
Bi Yuli tersenyum, tak lama Melvin duduk di kursi pengemudi.
"Iya non, saya disuruh ikut sama bapaknya tuan kecil Tristan" ujarnya malu.
Windi membalas senyumnya, "gak papa bi, justru saya nanti bingung kalo Tristan dibiarin sama nih orang!" ujarnya melirik Melvin yang bersiap.
Namun, detik berikutnya Melvin mendekat dan memasangkan sabuk pengaman padanya. Windi terkejut melihat tindakannya yang cepat, sementara itu ada kursi khusus bagi Tristan di belakang bersama bi Yuli, Melvin memindahkan Tristan dengan tenang di sana. Tristan tentu sangat senang, ada banyak mainan.
"Tuan Melvin, kita akan kemana sebenarnya? Aku ingin pulang, Tristan harus makan siang." protes Windi pada lelaki dewasa di sampingnya.
Melvin menyalakan mesin, menoleh sebentar ke arah Windi dan tersenyum manis.
"Membawamu ke rumahku," jawabnya santai.
"Apa?!!!"
Melvin batal menginjak pedal gas ketika Windi berteriak, ia menoleh ke arah Windi yang sudah melotot ke arahnya. Ia tak mengerti dengan perempuan di sampingnya yang terus memberinya tatapan tidak suka. Padahal dia adalah orang yang selalu dielu-elukan banyak wanita dimanapun ia berada.
"Kenapa memangnya?" tanya Melvin menunggu jawaban dari Windi.
"Jangan macam-macam yah, apapun yang terjadi, tolong jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku sadar betul kamu laki-laki br*ngs*k yang menghamiliku, tapi bukan berarti kita bisa berdua-duaan di rumahmu. Pokoknya aku mau pulang!" jelas Windi dengan sekali tarikan nafas, wajahnya sudah merah padam kali ini.
Melvin menghela nafas, memang tidak mudah bicara dengan perempuan yang sudah ia lukai itu.
"Windi sayang... Kita tidak berdua, ada baby sister Tristan juga. Lalu di rumahku ada banyak penjaga dan pembantu. Aku ingin mengenalkanmu pada ibuku dan ayahku. Satu jam lagi mereka akan sampai di rumahku." jelas Melvin tenang.
Ini kali pertamanya ia bersikap lembut, hanya pada Windi seorang.
"Untuk apa? Untuk apa aku harus mengenal keluargamu?"
"Tristan juga harus kenal dengan kakek dan neneknya." jawab Melvin masih bersabar.
Windi mati-matian meredam amarah, "please tuan Melvin, kita tidak punya ikatan. Tristan anak kita, tapi semua terjadi tanpa ikatan sah. Kita memang orang tua biologisnya, tapi... Dia bukan bagian dari keluargamu, melainkan keluargaku." jelas Windi murung.
Melvin menyisir rambutnya dengan tangan kanan ke arah belakang, ia frustasi. Windi selalu mengungkit hal itu. Sedetik berikutnya Melvin melajukan mobil walau Windi terus menolak. Ia tak perduli.
"Windi, tidakkah kamu melihat Tristan begitu menyukaiku? Dia bahagia di sisiku, kenapa kau malah mencoba memisahkan kami?" ujar Melvin ketika sudah ada di pekarangan rumahnya yang mewah.
"Bukannya begitu tuan Melvin, tapi apapun itu kami sudah terbiasa hidup tanpamu sejak lama..."
"dan membiarkan Tristan tumbuh tanpa ayah?" ia memarkirkan mobilnya di depan pintu utama.
"Tidak, tentu saja tidak. Tapi bukan kamu,"
"Lalu siapa? Aku tidak bisa membiarkan orang lain menjadi ayah Tristan. Mengerti?" ia keluar dari mobil dan segera memutar dan membawa Tristan pergi ke dalam rumah.
Windi otomatis mengejarnya, ia tak membiarkan Tristan jauh dari jangkauannya.
"Tuan Melvin, please jangan bawa Tristan!" pekik Windi mengejar.
Semua pembantu dan penjaga membungkuk ke arah tuan mereka, berjajar rapi.
"Aku bukan menculiknya Windi, kau tidak usah berlebihan." ujarnya santai.
"Aku tidak sudi kau menjadi ayahnya!" bentak Windi, membuat Melvin berbalik dan mendapati Windi yang hampir saja menabraknya.
"Tanpaku, Tristan tak mungkin jadi..." ucapnya blak-blakan.
Namun, sebuah suara mengagetkan Melvin dan juga Windi. Mereka menoleh dan terpaku melihat sepasang paruh baya, 2 orang bule lain.
"Melvin?" suara wanita itu.
"Mommy? Kapan kalian datang?" Melvin mendekati sofa ruang tamu.
Kemudian, ia menyapa ibu dan ayahnya, menyisakan Windi yang masih menelisik. Tristan?
Wanita paruh baya itu menggendong Tristan, kemudian mengangsurkan Tristan pada suaminya ketika melihat Windi. Ia menghampiri Windi yang tengah kebingungan. Melvin dan ayahnya hanya melihat mereka berdua saja.
"Kau kah itu? Ibu dari anak Melvin?" tanya wanita paruh baya dengan senyum lebarnya mendekati Windi yang kebingungan.
Windi terkejut saat wanita itu memegang bahunya lembut, ia terlihat begitu tulus dari sorot matanya, hal itu membuat Windi tak tega untuk menolak, melainkan diam dan membalas senyuman itu walau tipis.
"Aku Diana Polin, kau bisa memanggilku Mommy! Kau anakku juga..." ia menyentuh wajah Windi yang terlihat kaget. "Kau manis sayang, aku langsung senang ketika melihatmu. Apakah kau mau memanggilku mommy?" tanya wanita bernama Diana itu masih tersenyum lebar.
Windi merasakan kehangatan seorang ibu ketika tangan kanan Diana membelai pipinya lembut, tatapan itu jelas sangat tulus dan senang. Mana mungkin Windi tega menolaknya?
Tanpa sadar, Windi mengangguk kemudian menunduk. Tak ingin larut terlalu jauh, toh pada akhirnya ia bukan siapa-siapa. Hanya satu di antara korban dan semuanya bermula karena kecelakaan.
Diana menggiring Windi ke sofa ruang tamu, bahkan setelah duduk Diana tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Windi. Ia terus tersenyum tanpa putus, sementara Tristan tengah sibuk dengan kakeknya.
"Siapa namamu nak?" tanya pria paruh baya yang menggendong Tristan itu, lembut namun terkesan berwibawa.
Windi mendongak, ia tersenyum tipis. Apapun keadaannya, mereka tak salah jika ikut menjadi sasaran kebencian Windi pada anak mereka.
"Nama saya Windiana Larisa tuan, biasa dipanggil Windi."
"Wah nama yang manis seperti orangnya," respon Diana heboh sendiri.
Laki-laki itu tersenyum, "saya Jhon Will Dannis. Panggil saya daddy, saya harap kau membuat keputusan yang baik. Untuk Tristan dan masa depanmu," ia menjeda, melirik Melvin yang hanya diam. "aku tau betul bahwa perbuatan anak kami sangat keterlaluan, tapi kami selaku orang tuanya akan bertanggung jawab. Kami menyesal, izinkan Melvin menikahimu dan memberikan waktunya untuk anak kalian yah?" jelasnya membuat Windi gundah gulana.
Windi diam ketika Diana mengelus tangannya, ada sorot pengharapan di sana.
"Aku sangat menginginkanmu menikah dengan Melvin," matanya berkaca, detik berikutnya ia menangis, membuat Windi panik sementara kedua laki-laki itu menghela nafas.
Wanita lembut bernama Diana itu memang sangat sensitif dan mudah menangis ketika ia takut kehilangan sesuatu atau takut jika apa yang ia inginkan tak tercapai.
Windi kebingungan, ia panik dan mengusap air mata Diana lembut. Wajahnya menyiratkan kecemasan,
"Menikahlah dengan Melvin, hiks...aku ingin kau jadi menantuku. Hanya kamu, aku tak mau yang lain. Ayolah hiks... Windi, jadilah menantuku..." ia menangis di tengah ucapannya.
Windi kebingungan, "Mom... Jangan bersikap begini!" peringatan Melvin yang jengah melihat ibunya seperti itu.
"Diam kau Melvin, dasar anak br*ngs*k kau! Beraninya menghamili anak sebaik Windi!" bentaknya membuat Melvin bungkam.
Windi memejamkan matanya, ia pusing dengan keadaan itu. "Maafkan saya bu, tapi saya tidak bisa." ia menunduk.
"Please sayang, menikahlah dengan anak nakal itu" Diana masih memohon, "aku akan memberikan apapun, melindungimu... Kau bisa pegang kata-kataku nak." ucap Diana memohon.
Windi masih menggeleng, "tidak perlu, kau tidak perlu melakukan itu. Aku tidak melarang jika Melvin akan bertemu dengan Tristan, aku akan izinkan tapi tidak untuk membawanya pergi atau menyatukan kami. Tidak bisa, aku sudah terlanjur terluka." jawab Windi dengan raut sedihnya.
Melvin sudah mengepalkan tinju, ingin sekali menghentikan ibunya menangis tapi lihatlah! Windi masih keras kepala, ia bisa saja mengancam tapi ibunya? Akan memarahinya sebelum itu terjadi.
"Biarkan aku bicara denganmu Win!" Melvin langsung beranjak dan pergi ke taman belakang rumah.
Sementara Diana masih menangis, Windi yang melihat itu hanya menurut dan mengikuti Melvi.
@Taman Belakang Rumah
"Menikahlah denganku!" ujar Melvin ketika mereka sudah berdiri membelakang pintu masuk.
Windi mengalihkan pandangannya ke lain arah, "tidak tuan Melvin. Saya tidak akan pernah mau!" jawabnya tegas.
Sampai pada akhirnya Melvin benar-benar menyerah untuk bersikap lembut.
"Menikah denganku atau kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan Tristan!"
Windi langsung mendongak, menatap tajam penuh kemarahan.
"Kau tidak punya malu sama sekali! Kau gila dan br*ngs*k!!!" bentaknya tak tahan lagi.
"Aku tau. Kau tidak perlu repot-repot memberi tahuku. Cukup memilih!" ujar Melvin dingin.
"Itu bukan pilihan, kau benar-benar gila!" Windi tak tau harus bagaimana.
"Kalau begitu pulanglah dan jangan harap bisa melihat Tristan untuk selamanya!" ancamnya berbalik dan akan pergi ketika Windi menghadang langkahnya, ia merentangkan kedua tangan di hadapan Melvin.
"Kenapa kau tidak bunuh aku saja jika tujuanmu hanya menyiksa hidupku? Kenapa kau selalu menghancurkan hidupku? Masa depanku sudah kau renggut dan sekarang dengan tanpa rasa kemanusiaan kau ingin mengambil Tristan dariku, kau egois!" omel Windi matanya sudah memerah ingin menangis.
Melvin mengeraskan rahang, hal paling menjengkelkan dalam hidupnya adalah ketika ia marah namun tidak bisa memukul. Ia hanya bisa memejamkan mata dan menghela nafas, "aku sudah minta maaf, kau tak mau memaafkanku. Kau yang egois jika kau juga merasa bahwa Tristan hanya milikmu, lihatlah Tristan sangat bahagia. Bisa berada di antara aku dan keluargaku. Kau harus memikirkan perasaannya juga." ucap Melvin selembut mungkin.
"Dia butuh sosok ayah, aku ayahnya. Aku minta maaf atas segala rasa sakitmu. Tapi tolong, demi Tristan. Menikahlah denganku!" ujarnya menahan amarah.
Windi menunduk, bagaimana bisa? Ini tidak mungkin terjadi, tapi Tristan pun harus dididik dengan nilai Islam, bersama dengan Melvin bukan hal yang baik.
Windi mendongak, "tapi aku tak bisa mempercayaimu, menjadi ayahnya bukan satu-satunya alasan yang ku lihat dari matamu tuan Melvin. Apa yang sebenarnya ingin kau manfaatkan dari Tristan? Dia butuh lingkungan terbaik untuk membentuk dirinya sebagai manusia baik di masa depan." nafasnya naik turun, ia tak bisa menahan air matanya lagi.
"Apa yang kau janjikan untuk Tristan tuan Melvin? Bagimana kita bisa bekerjasama mendidik Melvin, aku yakin kau bisa memberikan harta melimpah, tapi hatimu? Perilakumu?" tanya Windi halus namun penuh penekanan.
Butir demi butir air mata itu kian deras, tidak bersuara namun nafasnya berat. Ia mendongak, menatap pria yang saat ini sedang mati-matian melawan semua ego dan kemarahannya. Seumur hidup, tiada yang berani mengkritiknya sedalam itu, perilaku dan semua hal tentang dirinya. Kecuali keluarganya, Melvin adalah sosok yang ditakuti.
Namun, dihadapan perempuan baik itu, ia tampak seperti monster yang tak layak disebut sebagai manusia.
"Maafkan aku karena menyakiti hatimu, tapi... Semua ini demi Tristan. Kalau aku egois dan memikirkan diriku sendiri, rasa sakitku sendiri, mungkin aku akan menelantarkannya. Tapi tidak, aku merubah semua sikapku, untuk menjadi teladan bagi Tristan. Seorang anak tak hanya butuh penghidupan harta, tapi penghidupan batin, apa yang kamu lakukan, semua kata-kata yang keluar dari mulutmu, apapun yang ia dengar adalah apa yang akan ia lakukan. Jiwa raga Tristan masih murni, suatu hari... Dia harus benar-benar tumbuh menjadi seorang laki-laki yang memiliki jiwa raga yang kuat. Bukan laki-laki kuat fisik yang memiliki hati dan moral yang kosong."
Melvin mengalihkan pandangan ke arah lain, Windi selalu logis dan bijaksana. Dia bukan gadis biasa yang mudah dibujuk, hal itu membuatnya semakin menginginkan Windi tapi juga marah atas semua kenyataan yang diungkapkan olehnya.
"Tolong jangan membuatku dan Tristan semakin sulit tuan Melvin," ia menunduk dalam. "Jujur, aku memang ingin Tristan tumbuh di sampingku dan ayahnya, keluarga lengkap sehingga tidak ada lagi yang akan melukai latar belakangnya. Tapi, tak semudah itu. Aku dan kamu harus sama-sama menuntunnya, menjadi penjaga gawang pertama dan terakhir untuknya, agar ia tak jatuh ke dalam jurang yang dalam. Dengan cinta, keimanan... bagaimana denganmu? Apakah kau percaya adanya Tuhan?" tanyanya lagi.
"Aku akan merubah semuanya jika kamu mau, seluruh sikapku akan ku lakukan!" 'please Windi, aku ingin memulainya...' batinnya menatap Windi penuh luka.
"Jika kau memang mau berubah, semua bukan demi aku dan Tristan tapi untuk dirimu sendiri, untuk kehidupanmu. Setelah itu, aku akan mempertimbangkannya. Mempertimbangkan peranmu dan semuanya. Aku ingin semuanya bukan terjadi karena terpaksa tuan Melvin, ini bukan hanya tentangmu, tapi juga aku dan anak... Kita!" ia merasa berat dengan kata terakhirnya.
Setelah beberapa menit mereka terdiam, hingga Windi pamit pergi pada semuanya dan membawa Tristan pergi.
Melvin menerima semua alasan Windi, walau begitu ia tidak menyerah. Keluarganya menuntutnya untuk membawa Tristan dan Windi pulang, itu artinya ia harus memenuhi syarat yang Windi berikan.