webnovel

X-Code

Ainlanzer memiliki kemampuan bertarung yang tinggi, daya analisa yang kuat, serta daya tangkap yang cepat. Hal itu membuat alam semesta memberinya banyak ujian. Ditambah dengan kode genetik yang unik, membuatnya terpilih menjadi calon 'Utusan Perdamaian'. Ia yang baru saja bergabung dengan Pasukan Independen Cerberus, harus menghadapi sosok Grief -Sang Pengkhianat. Grief dan pasukannya -Abaddon, membawa malapetaka bagi Cerberus juga bagi seluruh daratan Logard. Bersama dengan para sahabatnya -para Pasukan Cerberus, Ain harus menghadapi krisis yang tengah melanda tiga wilayah Logard: Rovan, Munkan dan Zinzam. Pertemuannya dengan Grief, juga dengan Tiash -gadis bangsawan dari Kota Para Dewa, Elyosa- menjadi awal perjalanannya di daratan Logard. Ujian pertama untuk Sang 'Utusan Perdamaian' baru saja dimulai...

Neura_D · ไซไฟ
Not enough ratings
312 Chs

Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian #4

Marlat melihat Vabica cukup kerepotan melawan pasukan khusus Abaddon. Ia merasa harus melakukan sesuatu.

Dengan senjata tombak miliknya, ia melesat ke depan untuk membantu Vabica. Ia meluncurkan serangan ke arah musuh yang menghalangi jalurnya di depan.

Tombak milik Marlat memiliki 2 pasang mata pisau yang cukup panjang di ujungnya, yang tentunya terbuat dari plasma. Senjata itu memudahkannya untuk menangkis serangan sekaligus meluncurkan serangan balasan.

Marlat memiliki kemampuan yang cukup untuk mengalahkan pasukan-pasukan Abaddon itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke dekat Vabica. Ia mengalahkan beberapa pasukan Abaddon yang berusaha menyerang Vabica dari belakang, lalu menempelkan punggungnya ke punggung Vabica.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Marlat sembari menghunuskan tombak miliknya ke depan, ke arah beberapa pasukan khusus Abaddon yang mengepung mereka. Terhitung ada 7 orang pasukan khusus sudah mengelilingi mereka.

Kedatangan Marlat memberi Vabica kemudahan. Vabica tidak perlu lagi mencemaskan titik butanya karena sudah ada Marlat yang melindunginya dari belakang.

Keduanya saling memunggungi sambil mengarahkan senjata mereka ke depan, menunggu pergerakan musuh. Mereka tidak bisa bergerak lebih dulu, karena itu akan memperlemah pertahanan.

"Terimakasih, sekarang... Ayo kita habisi mereka," ucap Vabica dengan tegas seperti biasanya.

Kesempatan yang mereka tunggu akhirnya datang. Beberapa musuh menyerang, sehingga mereka bisa meluncurkan serangan balasan tanpa memberi celah pada pertahanan.

Melihat beberapa rekannya berhasil dikalahkan, para pasukan khusus Abaddon yang tengah mengepung kedua anggota Cerberus itu segera menyerang secara serentak.

Sebenarnya, itulah yang ditunggu Vabica sedari tadi. Serangan serentak dari mereka, yang akan memudahkannya untuk melumpuhkan mereka sekaligus.

"Bersiaplah!" pekik Vabica memberi komando pada Marlat. Ia menjadikan bahu Marlat sebagai pijakan untuk melompat tinggi, lalu memutar Halberd miliknya di udara.

"Sekarang!" pekik Vabica lagi sebelum ia menghantamkan Halberd miliknya ke tanah.

Kali ini giliran Marlat yang melompat begitu Vabica menggetarkan tanah dengan hantaman kuat dari atas.

Para pasukan musuh itu goyah, kesulitan untuk menyeimbangkan tubuh.

Sembari melompat, Marlat menebaskan tombaknya dan berhasil membunuh beberapa musuh.

Tinggal 3 orang yang tersisa. Vabica menyerang sekaligus dengan sabetan horizontal, membuat ketiga pasukan khusus itu terpental jauh.

"Sungguh kekuatan yang mengerikan," hanya itu yang ada dalam benak Marlat ketika melihat serangan Vabica secara langsung.

Selama ini ia hanya mendengar rumor saja soal kekuatan serangan Vabica yang bahkan katanya, bisa menggetarkan tanah dalam radius beberapa meter. Akhirnya, ia bisa membuktikan sendiri kalau rumor itu bukanlah isapan jempol belaka.

"Kita berhasil!" Marlat tersenyum lebar dengan riang. Ia tidak menyangka kalau mereka bisa mengalahkan 7 orang pasukan khusus Abaddon sekaligus.

Tapi ternyata, Marlat terlalu cepat merasa senang. Seorang pasukan khusus Abaddon kembali bangkit secara perlahan dari arah belakang, lalu melemparkan senjata laser berbentuk pedang miliknya ke arah Marlat.

Marlat merasa ada tusukan dari belakang yang memberikan rasa panas di daerah punggung dan perutnya. Dalam hitungan detik, rasa panas yang disertai rasa sakit itu terus menyebar, hingga tubuhnya ambruk ke tanah.

Ia mencoba menarik napas, tapi terasa sangat berat. Bahkan ia hampir tidak bisa merasakan tarikan napasnya lagi.

Marlat mencoba melihat ke arah perutnya di mana sumber rasa sakit dan panas itu berasal. Ia mendapati sinar laser padat berbentuk pedang berwarna merah tersembul di perutnya dari arah punggung. Senjata laser itu bahkan bisa menembus pertahanan mantel Cerberus yang selama ini selalu dibanggakan teknologinya.

Perlahan pendengarannya mulai pudar, penglihatannya mulai buram dan perasaannya mulai hilang.

Tapi ia bisa melihat sosok Vabica yang berlari sekuat tenaga untuk menghampirinya dengan wajah terbelalak disertai tetesan air mata yang mengalir tak terbendung.

Marlat bisa merasakannya ketika Vabica meletakkan kepalanya di pangkuan. Ia juga melihat Vabica berteriak meminta pertolongan, namun ia tidak bisa mendengar suara lantang gadis itu dengan jelas.

"Oh... Aku... Akan mati....?" pikir Marlat. Ia mencoba sekuat tenaga untuk berbicara, namun senjata laser itu mengenai organ vital tubuhnya. Jangankan untuk berbicara, untuk bernapas saja sudah sangat menyulitkan baginya.

"Tolonglah... Izinkan aku berbicara!!" jerit Marlat dalam hati. Ia ingin mengucapkan kata-kata terakhir sebelum ia meniggalkan dunia beserta teman-teman yang baru saja mengakuinya.

Dengan tenaga terakhirnya, Marlat mengangkat tangan kanannya untuk mengusap air mata di pipi Vabica. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sebuah kalimat.

Vabica bisa melihat mulut Marlat bergerak, seperti tengah mengatakan sesuatu. Walaupun tidak ada suara yang terdengar, namun Vabica bisa menerjemahkan apa yang dikatakan oleh Marlat. Ungkapan terakhir dari Marlat sebelum ia tutup usia di umur yang masih tergolong muda.

"Terimakasih...."

Perlahan Marlat merasa sekujur tubuhnya dingin. Perlahan pandangannya mulai gelap. Perlahan semua suara hilang dari telinga. Tapi ia lega, ia tidak meninggalkan dunia ini dalam kondisi sendirian. Ia juga merasa tenang setelah berhasil mengucapkan rasa terimakasihnya pada Vabica, yang sebetulnya ingin ia ucapkan juga untuk semua yang memperlakukannya sebagai teman, menerima dirinya yang selama ini selalu sendiri.

Tidak lama setelah itu, Marlat meninggalkan dunia ini dengan senyuman tulus dari lubuk hati terdalam, tersungging di bibirnya.