56 Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian #5

Pertarungan antara Riev dan Teir belum juga menghasilkan seorang pemenang. Tapi kalau melihat dari kondisi kedua pemuda itu, bisa diprediksi kalau Teir-lah yang akan memenangkan pertarungan.

Dibandingkan dengan Teir, Riev masih baru dalam mempelajari teknik itu. Teknik yang Riev pelajari dari Zaina itu memakan banyak tenaga dan stamina. Sedangkan tubuhnya belum terbiasa menerima beban besar dari teknik itu.

Peluh mengalir deras, membanjiri seluruh tubuh Riev. Napasnya terengah-engah dengan tangan gemetar. Ia merasa sangat lemas hingga cukup sulit baginya untuk bergerak cepat seperti sebelumnya.

Sedangkan Teir tidak memperlihatkan sedikitpun rasa lelah di wajahnya. Wajar saja, Teir sudah melatih teknik 'serangan putaran' itu sedari kecil. Tidak seperti Riev yang belum 1 minggu mempelajari teknik itu.

Kedua pemuda itu saling bertatapan dari jarak yang cukup jauh dengan senjata yang masih digenggam erat.

Riev kembali mengangkat tinggi-tinggi Scythe miliknya untuk bersiap menggunakan teknik menyerang itu lagi.

"Bodoh!" celetuk Teir dengan cukup keras, lalu melesat cepat ke arah Reiv.

Gerakan Teir begitu cepat, namun terlihat sangat lembut. Layaknya hembusan angin, tubuhnya serasa tak berbobot.

Sebelum sempat Riev memutar senjata miliknya, Teir menggunakan teknik rahasia miliknya.

Teir memposisikan tubuhnya dengan sangat rendah, hampir menyentuh lantai ketika ia melesat menghampiri Riev.

Setelah berada dalam jangkauan serangan, Teir melompat sambil mengayunkan pedangnya. Ia menyerang ke arah gagang Scythe milik Riev, membuat senjata itu terlempar jauh, terlepas dari genggaman Riev.

Dalam posisi masih di udara, Teir memutar tubuhnya ke belakang sambil memusatkan tenaganya di kaki kanan, lalu menendang dada Riev dengan cukup keras.

Tendangan itu memiliki daya hancur yang sangat kuat. Untungnya, Riev sempat mempelajari Khy yang bisa memperkuat fisiknya. Kalau tidak, organ dalam tubuh Riev pasti terluka parah akibat serangan tersebut.

Riev terpental ke belakang, dekat dengan Scythe miliknya yang sudah terlebih dahulu terlempar ke sana. Ia berniat untuk mengambil kembali senjatanya. Namun sebelum sempat Riev mengambilnya, Teir sudah menghunuskan pedang ke arah lehernya.

Gerakan Teir begitu cepat hingga Riev tidak menyadarinya. Ditambah, Riev merasakan hawa dingin yang menyengat saat Teir melesat ke arahnya tadi. Selain itu, Riev juga sempat merasa kalau Teir 'hilang' dari sana. Sesaat Riev kehilangan Teir, padahal terlihat jelas kalau Teir ada di hadapannya, melesat untuk menyerang.

Sebenarnya Teir tidak ingin menggunakan teknik itu untuk melawan Riev. Ia tidak pernah menggunakan 'teknik membunuh' rahasia yang diwariskan turun temurun padanya itu, kecuali kalau memang sangat terdesak. Ia terpaksa melakukannya demi keselamatan Riev sendiri.

Teknik 'serangan putaran' yang punya daya penghancur tinggi itu memerlukan daya tahan tubuh yang sangat tinggi sebagai penyokong. Kalau saja tadi Riev menggunakan lagi teknik itu, jaringan otot tubuhnya bisa hancur akibat tekanan Khy yang dipusatkan di tangan sekaligus disalurkan ke senjata.

Bukannya merasa kesal atau terpukul, Riev yang dikalahkan oleh Teir malah menyuguhi senyum lebar saat pedang plasma Teir mengancam lehernya.

"Dari mana kau mempelajari teknik itu?" tanya Teir dengan wajah serius tanpa mengubah posisinya. Ia masih mengarahkan pedang miliknya ke leher Riev.

Riev menoleh ke belakang tanpa melepas senyum lebarnya. "Dari orang itu!"

Teir melempar pandangannya ke arah depan, tempat seorang gadis berdiri tegak. Ia sempat tidak menyadari keberadaan gadis itu.

"Zaina?!" Teir sangat terkejut melihat Zaina, adiknya yang tiba-tiba saja sudah berdiri agak jauh di hadapannya.

[•X-Code•]

Teir dan Zaina bernasib sama dengan Vabica dan Heim. Kedua kakak-beradik itu sempat terpisah saat mereka kecil.

Teir bertemu dengan Grief beberapa tahun yang lalu, sedangkan Zaina hilang tanpa kabar.

Teir kehilangan jejak keberadaan Zaina, yang sebenarnya dibawa ke Dinukha secara diam-diam oleh Ive dulu.

Kali ini, di dalam kapal induk Abaddon yang diberi nama Agrrav, keduanya bertemu kembali.

"Senang berjumpa denganmu, kak," sapa Zaina sambil melangkah pelan, mendekat ke arah Teir, serta Riev yang masih terduduk di lantai.

"Dari mana saja kau selama ini? Apa yang kau lakukan di sini??" tanya Teir sembari melepaskan 'ancaman'-nya dari leher Riev. Ia pun melangkah mendekat ke arah Zaina.

Batinnya merasa senang melihat adik semata wayangnya itu masih hidup. Terlebih lagi, Teir bisa merasakan pancaran energy Khy yang kuat dari Zaina.

Sayangnya, Zaina malah mengeluarkan senjata dari dalam cincin yang ia dapatkan dari Rha sebelum pergi dari Dinukha.

Senjata milik Zaina berbentuk sama seperti senjata milik Riev, Scythe. Hanya saja, bagian tongkat di Scythe milik Zaina berbentuk lurus, disertai dengan mata pedang plasma yang berlawanan arah di setiap ujung tongkat. Kalau senjata itu dalam posisi vertikal, akan terlihat seperti huruf 'S' yang bagian tengahnya lurus.

"Maaf kak, aku ada di pihak mereka," ujar Zaina tanpa keraguan sedikitpun. Ia terus melangkah dengan pasti. Bersiap untuk bertarung dengan Teir, kakak kandungnya sendiri.

Teir menanggapinya dengan diam. Ia merasa cukup kecewa. Ia juga yakin, ia tidak akan bisa membujuk adiknya itu. Terlebih lagi, ia memiliki kewajiban sebagai anggota pasukan Abaddon di bawah komando Grief.

Mau tidak mau, Teir juga harus menghunuskan senjata miliknya ke Zaina yang baru ia jumpai lagi setelah bertahun-tahun lamanya berpisah.

"Yah, tugasku sudah selesai." Riev beranjak dari tempatnya. Ia memasukkan senjata miliknya, lalu berjalan tertatih ke arah Zaina.

"Bagaimana dengan Ain?" tanya Zaina saat Riev berpapasan dengannya.

"Dia tengah berhadapan dengan Grief sekarang," jawab Riev tanpa menghentikan langkahnya yang terlihat goyah. Tubuhnya masih terasa lemas, yang sekarang malah bertambah dengan rasa sakit, terutama di bagian lengan.

"Baiklah. Oh iya, para sandera dan gadis itu ada di bagian bawah kapal ini. Di gudang dekat tempat pesawat darurat. Aku sudah mengamankan mereka, tapi sepertinya kau harus bergegas."

Riev tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mempercepat langkahnya yang terhuyung.

"Luar biasa. Rencana Ain berjalan dengan baik." Kiev yang sedari tadi mengamati jalannya pertarungan dari kejauhan akhirnya angkat bicara.

"Ya. Aku sendiri tidak menyangka kalau... Zaina mau membantu kita, seperti yang diprediksikan olehnya."

"Hahaha, semoga rencana yang satu ini juga berhasil," ujar Kiev sambil menekan beberapa tombol yang terdapat di depan kursi pilot Hecantor.

avataravatar
Next chapter