54 Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian #3

Selama beberapa saat keheningan terjadi antara Tiash dan gadis misterius. Kemudian sang gadis misterius itu berdiri. "Ikut aku," ajaknya dengan nada yang masih juga pelan.

Tiash mengangguk lalu berdiri perlahan. Tadinya ia ingin bertanya terlebih dahulu, namun ia merasa harus segera mengikuti sang gadis misterius.

"Kak? Gak jadi ceritanya?" tanya seorang anak yang sedari tadi masih menunggu Tiash untuk menceritakan kisah lain.

"Nanti, ya? Kakak ada urusan dulu," jawab Tiash sambil membungkuk untuk mendekatkan wajahnya ke muka polos anak itu.

Setelah itu, gadis misterius berjalan pelan dengan penuh kehati-hatian. Bahkan Tiash tidak bisa mendengar suara langkah kakinya walaupun gadis itu berjalan sangat dekat di sampingnya.

Tangan gadis misterius itu menggenggam erat tangan Tiash yang berdiri di sebelahnya. Terasa hawa dingin dari telapak tangannya, merasuk lalu menyebar ke seluruh tubuh Tiash.

Kedua gadis itu pun pergi meninggalkan bungker yang dijaga oleh 2 orang pasukan Cerberus di depan pintu masuk. Anehnya, kedua penjaga itu tidak bergerak sedikitpun saat mereka keluar.

Kedua penjaga pintu itu hanya menoleh sejenak saat pintu bungker terbuka, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke depan, seolah tidak terjadi apapun. Lebih tepatnya, seolah tidak ada seorangpun yang keluar dari sana.

Sebenarnya bukan hanya para penjaga. Tiash sendiri merasa kalau gadis itu 'tidak ada'. Sebentar saja mengalihkan perhatian, ia sudah merasa kalau gadis itu tidak ada di sana. Padahal sudah jelas kalau gadis itu ada, bahkan tangannya tengah digenggam erat.

"Mau ke mana kita? Kau siapa?" bisik Tiash saat sudah berada jauh dari bungker.

Namun gadis misterius itu tidak menjawab. Gadis itu malah mempercepat langkahnya yang tidak sedikitpun mengeluarkan suara.

Beberapa kali mereka berpapasan dengan pasukan Cerberus yang tengah berpatroli. Namun sama seperti kedua penjaga tadi, para pasukan itu bersikap seolah mereka tidak ada di sana.

Agak lama mereka berjalan, sampai akhirnya kedua gadis itu tiba di kamar yang ditempati Tiash selama berada di Right Head.

"Ada apa ini sebenarnya? Kau siapa?? Mau apa??" Tiash sedikit geram dengan tingkah laku gadis yang baru pertama ia temui itu, yang hanya terdiam saat ia tanya.

Gadis itu terdiam sambil mengamati setiap sudut kamar. Ia tengah mencari kamera atau alat penyadap, takutnya ada yang memasang alat-alat tersebut di kamar Tiash.

Setelah dirasa aman, barulah gadis itu membuka tudung jubah yang selama ini menyamarkan identitasnya. Tiash juga melepas kain yang menutupi kepalanya.

Tiash terperangah melihat wajah oriental khas gadis itu. Bukan karena ia pernah melihat gadis itu sebelumnya, tapi karena wajahnya mirip sekali dengan seseorang yang ia kenal; Teir.

"Namaku Zaina. Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu. Aku teman Ain, Riev dan Kiev," jawabnya sambil kembali memeriksa kamar Tiash. Kali ini ia tidak mencari kamera tersembunyi ataupun alat penyadap.

"Teman Ain?! Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja??" Jantung Tiash berdetak lebih kencang dari sebelumnya saat Zaina menyebut nama Ain. Ia merasa lega begitu mengetahui kalau ternyata gadis misterius itu adalah kenalan Ain.

"Ain sudah berada di Agrrav, kapal induk pasukan Abaddon. Malah mungkin sekarang ia sedang berhadapan dengan Grief."

Rasa lega Tiash sedikit berkurang begitu mendengar informasi dari Zaina. Di satu sisi ia merasa lega setelah mendengar kalau Ain baik-baik saja. Tapi di sisi lain, ia merasa khawatir dengan keselamatan Ain yang tengah berada di Agrrav.

"Di mana?" tanya Zaina yang masih sibuk mencari sesuatu di kamar Tiash.

"Di mana... Apanya?" Tiash mengangkat sebelah alisnya dengan rasa heran.

"Buku! Ain bercerita kalau kau punya buku dengan tulisan asing. Di mana buku itu?" Zaina menghentikan pencariannya, lalu mendekat ke arah Tiash.

"O-oh... Buku itu... Pentingkah?" Tiash mengalihkan pandangannya dengan rasa gugup.

"Iya! Di mana buku itu?" Zaina semakin mendekat, membuat Tiash sedikit risih dibuatnya.

"M-maaf... Buku itu... Tidak ada padaku sekarang...." Tiash semakin merasa gugup. Ia juga merasa bersalah. Ternyata buku itu begitu penting, tapi ia tidak mengetahui hal itu.

Zaina menghela napas panjang dengan penuh kekecewaan. "Ya sudah, cepat buka bajumu."

"E-Eeeeeh?!" Tiash terkejut mendengar permintaan dari Zaina. Ia beranjak beberapa langkah ke belakang dengan mata yang membulat, disertai pipi yang merona kemerahan.

"Sudahlah, cepat buka bajumu!" Zaina mengambil pakaian dari dalam tas yang ia sembunyikan di balik jubahnya. Ia menyerahkan pakaian tersebut pada Tiash.

"Oh... Hehehe...." Tiash merasa malu sendiri telah berpikiran yang tidak-tidak. Ia mengambil baju pemberian Zaina, lalu mengganti bajunya.

Pakaian itu berwarna hitam legam dengan corak garis biru menyala. Persis dengan mantel milik Cerberus dari Left Head. Tiash tidak mengetahui kalau sebenarnya, baju pemberian Zaina itu memiliki teknologi nano yang berfungsi sama seperti mantel Cerberus.

Sambil Tiash mengganti pakaian, Zaina mengambil beberapa benda milik Tiash di kamar itu yang dianggap penting.

"Ada lagi yang mau kau bawa?" tanya Zaina sembari memberikan benda-benda tersebut pada Tiash.

"Memangnya, kita mau ke mana?"

"Jangan banyak tanya, akan kujelaskan nanti. Nah, apa ada lagi yang mau kau bawa?" Zaina mengulang lagi pertanyaannya dengan sedikit geram.

"Uh... Ah!" Tiash teringat akan sesuatu. Ia membuka tas besar yang dipinjamnya dari Vabica.

Sang Putri Elyosa itu mengambil mantel hitam yang dibelikan oleh Ain di Elarina tempo hari. Kemudian ia langsung mengenakan mantel tersebut setelah selesai mengganti pakaiannya.

Sejujurnya Tiash sedikit risih dengan pakaian pemberian Zaina. Baju –yang langsung tersambung dengan celana- pemberian Zaina itu terlihat seperti pakaian untuk menyelam. Begitu ketat menempel di kulit, membuat lekuk tubuh Tiash terlihat dengan jelas. Walaupun pakaian itu begitu nyaman dikenakan olehnya, tapi tetap saja Tiash merasa risih. Makanya Tiash segera mengenakan mantel hitam untuk menutupinya.

Setelah tidak ada lagi yang diperlukan di kamar itu, Zaina meminta Tiash untuk keluar, meninggalkannya sendirian di kamar.

Dari luar, Tiash bisa mendengar suara gaduh dari dalam. Tak sanggup membendung rasa penasarannya, ia segera kembali ke kamarnya.

Zaina memporak-porandakan kamar itu, meluluhlantakkan semua yang ada di sana.

"Apa yang kau lakukan?!" Tiash menghampiri Zaina sambil melihat benda-benda yang hancur berserakan di kamarnya.

Zaina hanya berjalan dengan tenang lalu kembali menggenggam tangan Tiash, seolah tidak terjadi apapun. "Menghapus jejak," jawabnya singkat.

avataravatar
Next chapter