Acacia masih bergeming di tempat, benaknya kini disusupi oleh alasan mengapa dan kenapa Gavin membantunya? Bukankah lelaki itu tidak peduli pada urusan orang lain? Lantas, kenapa Gavin peduli pada dirinya? Bahkan rela berbohong untuk menolongnya.
Yang Acacia tahu, Gavin memang bersikap dingin pada mahasiswi entah apa alasannya. Bahkan banyak mahasiswi yang mengejar-ngejarnya, tetapi Gavin seakan membuat benteng kokoh agar tidak ada perempuan yang mendekatinya.
Dan karena perilakunya itu, Gavin bahkan sampai dirumorkan suka terhadap sesama jenis. Namun, lelaki itu tampak tidak peduli akan gosip yang beredar.
Gavin yang melihat keterkejutan di wajah Acacia tersenyum tipis, lelaki itu lalu maju selangkah agar bisa melihat dengan jelas Acacia dari dekat.
"Jangan bingung gitu, saya nolongin kamu emang karena enggak tega aja kamu sampai nangis. Pasti ada masalah serius, sampai kamu bener-bener memberontak pas diajak Kenzo."
Jantung Acacia berdebar kencang mendengar penjelasan dari Gavin, ia takut Gavin mendengar apa yang ia dan Kenzo bicarakan. "Kaka ... enggak denger kan aku sama Kenzo ngomong apa aja?"
Gavin mengangguk. "Enggak, soalnya saya cuma lihat dari jauh. Tapi karena saya lihat kamu seperti butuh pertolongan, makanya saya datang."
Acacia bernapas lega mendengarnya, untung saja Gavin tidak mendengar percakapannya dengan Kenzo. Karena bila lelaki itu benar-benar mengetahuinya, maka Acacia tidak bisa menjamin Ketua BEM kampus ini akan diam saja. Bisa saja Gavin melaporkannya pada dosen bukan? Itu yang Acacia takutkan.
"Kenapa? Sepertinya masalahnya lebih serius dari yang saya duga. Apa Kenzo ngancem kamu? Kenapa kamu keliatan takut gitu?"
Acacia menggelengkan kepalanya, tidak mungkin ia akan jujur pada Gavin tentang permasalahannya. Memangnya siapa Gavin? Ini saja baru pertama kalinya Acacia dan lelaki itu berbicara panjang lebar, sebelumnya mereka bahkan tidak pernah mengobrol.
"Aku enggak papa, Ka. Enggak ada masalah serius," jawab Acacia bohong.
Menilik dari cara Acacia menjawab dan bahasa tubuhnya ketika berbicara, Gavin bisa melihat bahwa Acacia mengatakan hal yang tidak jujur. Lelaki itu menghela napas pelan, ia sangat sadar bahwa Acacia memang tidak percaya padanya untuk berbagi rahasia.
"Apapun itu, kalau kamu ada masalah jangan cuma diam. Coba minta pertolongan sama orang sekitar, kamu pasti ada seseorang yang dipercaya, 'kan? Coba minta bantuan, masalah tidak akan selesai kalau kamu cuma memendamnya."
Acacia terhenyak oleh perkataan Gavin, lelaki itu seperti paham bahwa dirinya memang sedang dalam masalah yang besar. Namun, walaupun begitu Acacia tidak terlalu setuju pada ucapan Gavin. Sebab walau sangat dekat dengan seseorang, ada beberapa batasan yang memang orang lain tidak boleh mengetahuinya.
"Rahasia akan menyebar ketika kita terbuka sama seseorang, cuma masalah waktu sampai orang lain tahu masalah yang sebenarnya. Aku rasa berbagi pun bukan solusi yang tepat, Ka." Entah apa yang merasukinya, Acacia tiba-tiba mengatakan apa yang ada dipikirannya.
Mata Acacia terbelalak ketika melihat tangan Gavin kini terkepal erat, ia merasa takut karena salah berbicara. Seketika tubuh Acacia membeku saat Gavin memegang kedua tangannya, tatapan mata lelaki itu bahkan terlihat begitu terluka.
"Kenzo berbuat sesuatu sama kamu, 'kan? Apa itu? Kasih tau saya, Ca. Kasih tau saya apa yang telah Kenzo lakukan sama kamu. Kenapa kamu sampai ketakutan?"
Otak Acacia mendadak tidak bisa berpikir karena tingkah Gavin yang tidak seperti biasanya, kenapa lelaki itu harus sebegitu ingin tahunya? Karena tidak ingin ada yang salah paham, Acacia menghempas tangan Gavin yang memegang pergelangannya.
"Aku enggak tau apa tujuan Kaka tanya kaya tadi. Emang apa peduli Kaka kalau aku memang ada masalah sama Kenzo? Kenapa Kaka seakan sudah mengenal aku? Padahal sebelumnya kita bahkan enggak pernah ngobrol."
Saat Gavin akan mengatakan sesuatu, Acacia kembali berbicara, "Aku bener-bener terima kasih karena tadi pagi Kaka udah bantu aku dari Ka Tara, karena Kaka juga aku bisa ikut kelas. Tapi ... bukannya cuma sebatas itu? Terus maksud Kaka tanya tentang hubungan aku sama Kenzo itu apa?"
Gavin mengepalkan kedua tangannya, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Acacia, tentang alasan mengapa dirinya sangat ingin tahu keadaan perempuan itu.
Lama Acacia menunggu penjelasan dari Gavin, tetapi lelaki itu tak kunjung membuka suara. Karena merasa lelah, Acacia memutuskan untuk pergi. Lagipula tak ada alasan untuknya berhadapan dengan Gavin seperti ini.
"Aku pergi dulu, Ka. Sekali lagi aku mau mengucapkan terima kasih karena hari ini Kaka udah nolong aku dua kali."
Setelah mengatakan itu, Acacia tersenyum tipis lalu beranjak pergi meninggalkan Gavin sendirian. Saat ini Acacia hendak menuju ke kantin, ia berharap Bisma dan Karina masih berada di sana.
Beruntung perkiraannya benar, Acacia melihat Karina dan Bisma masih duduk di kursi yang sama seperti tadi. Acacia lalu melangkahkan kaki untuk menuju ke meja mereka, ia benar-benar butuh seseorang untuk bersandar saat ini.
"Kar ...," panggilnya saat sudah berdiri di samping Karina.
Mendengar itu, Karina segera menoleh ke arah kiri. Ia sedikit terkejut melihat Acacia kembali lagi, bahkan sahabatnya itu terlihat seperti ingin menangis. Karina yang sadar segera memerintahkan Acacia untuk duduk di dekatnya.
Ketika Acacia sudah duduk, Karina mengelus pelan bahunya. "Kenapa, Ca? Ada yang mau kamu omongin sama aku dan Bisma? Ayo bilang aja, kita siap dengerin."
"Aku ... aku takut, Kar," lirih Acacia. Air matanya kini menetes membasahi pipi.
Bisma yang melihat Acacia menangis mengerutkan dahinya, ia jadi semakin yakin bahwa sejak kejadian di malam ulang tahun Karina, ada sesuatu yang terjadi pada Acacia dan juga Kenzo. Lelaki itu menggebrak meja dengan sedikit keras, sampai-sampai membuat Acacia dan Karina terlonjak kaget.
"Bilang sama aku, kalau emang Kenzo yang buat kamu nangis. Cepet bilang, Ca! Biar aku kasih pelajaran itu cowo! Lagian kamu, sih ... dibilangin ngeyel! Aku bilang jauhin Kenzo, dia itu cowo gak baik!"
"Bim!" tegur Karina, perempuan itu menggelengkan kepala tanda tak suka akan perilaku Bisma. "Jangan bentak Acacia! Butuh keberanian buat dia balik lagi dan mau cerita ke kita. Dia udah usaha, Bim. Mungkin aja salah satu alasan Acacia enggak terbuka ya karena kamu, dia takut kamu marah dan hilang kendali gini!"
Bisma menghela napasnya, ia lalu memejamkan mata guna menetralkan emosinya yang memuncak. Melihat Bisma sudah tenang, Karina kembali menatap Acacia. Perempuan itu menatap Acacia dengan pandangan teduh, meyakinkan Acacia bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dan Acacia harus berani untuk terbuka pada seseorang.
"Tolong ... kalian jangan marah dulu sama aku. Aku ... aku bener-bener lagi frustasi, aku enggak tahu lagi harus cerita dan minta bantuan ke siapa ...."
Acacia memutuskan untuk bercerita jujur pada kedua sahabatnya karena perkataan Gavin tadi, sebab ia sadar bahwa tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian. Namun, terbesit keraguan yang besar. Acacia takut jika Karina dan Bisma menjauhinya bila tau kejadian yang menimpanya.
Acacia semakin terisak ketika memikirkannya, membuat Bisma dan Karina bingung kenapa Acacia menangis dengan keras. "Tolong jangan jauhin aku ... aku enggak punya siapa-siapa selain kalian berdua," pintanya lirih.
Karina semakin mencengkram dengan kuat kedua bahu Acacia. "Ca, percaya sama kita. Kita enggak akan ninggalin kamu kalo ada masalah, kita pasti bantu kamu. Jadi ayo cerita."
Acacia memejamkan mata guna meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. "Waktu malam tahun baru itu ... Kenzo maksa aku buat berhubungan intim sama dia," ucapnya lirih.
Tubuh Karina dan Bisma melemas mendengar penjelasan Acacia, mereka sampai tak bisa berkata-kata dibuatnya.