webnovel

Menghadapi Realita

Acacia hanya bisa menangis dalam diam seraya memandangi titik-titik embun di sisi cup minuman yang ada di atas meja. Ia tidak berani menatap kedua sahabatnya setelah pengakuannya itu, rasa malu seketika hinggap di pikirannya.

"Terus? Berarti dia udah ...." Bisma tak sanggup melanjutkannya perkataanya karena masih merasa terkejut mendengar fakta yang ada.

Melihat Acacia masih menangis, Karina memegang tangan perempuan itu dengan erat. Matanya menyorot lekat-lekat, berusaha meyakinkan Acacia bahwa ia tidak sendiri dan masih ada dirinya yang akan selalu mendukungnya.

"Jangan takut, kamu bisa ceritain semua kejadiannya, Ca. Aku maupun Bisma pasti ada di pihak kamu."

Acacia yang melihat ketulusan dari tatapan Karina, akhirnya berniat untuk menceritakan kronologis kejadiannya. Lagipula, saat ini ia sangat butuh kekuatan untuk bertahan. Nyatanya memendam masalah ini sendirian hanya membuatnya semakin frustasi.

"Waktu aku ijin pulang pas ngerayain ulang tahun kamu, sebenarnya aku ke kelab malam buat nemuin Kenzo. Di sana aku lihat Kenzo sama Bella selingkuh lagi, waktu aku marah Kenzo nenangin aku sambil ngasih minuman. Habis it---" Penjelasan Acacia terpotong karena Bisma menyelanya.

"Apa? Kenapa bisa kamu ke tempat berbahaya kaya gitu! Seharusnya kamu enggak gegebah, Ca!" bentak Bisma membuat tubuh Acacia semakin gemetar ketakutan.

Melihat Acacia yang menundukkan kepala, Karina melirik sinis Bisma. "Bisa santai enggak, sih, Bim! Acacia tuh udah ngumpulin keberanian, dia udah buka luka yang berusaha ditutupinya buat cerita sama kita! Tolong ... jangan buat Acacia semakin nyalahin dirinya sendiri, dengerin dulu penjelasan dia sampe selesai!"

Bisma mengusap wajahnya kasar, ia lalu meminta maaf pada Acacia karena berbicara kasar pada perempuan itu. Sebenarnya Bisma tidak berniat melakukannya, hanya saja dia sudah emosi terlebih dahulu bahkan sebelum mendengar semua kejadiannya.

"Ca, ayo lanjut," ucap Karina dengan nada yang begitu lembut.

Acacia menghapus kasar air matanya, ia lalu menghela napas untuk menenangkan diri. "Ter-rus ... habis itu aku pingsan, setelah sadar ternyata aku udah ada di kamar motel. Posisinya tubuh aku diikat dan aku udah enggak pake sehelai kain pun."

Ada jeda beberapa detik sebelum Acacia melanjutkan ucapannya, ia lalu memukul-mukul dadanya sendiri yang seketika terasa sesak. "Aku bahkan udah mohon-mohon sama Kenzo, tapi ... nyatanya Kenzo tetep memperkosa ak-ku ...."

BRAK!

Bisma menendang kursi kosong yang ada di sebelahnya hingga beberapa mahasiswa yang ada di kantin menoleh ke mejanya. Sedari tadi, mendengar penjelasan Acacia membuat ia mengepalkan tangan dengan erat untuk menahan diri agar tidak mengumpat sebelum perempuan itu menyelesaikan ucapannya.

Tak berbeda jauh dengan Bisma, tubuh Karina kini memanas. Napas bergemuruh tak dapat terelakkan, Karina ingin sekali menampar wajah Kenzo saat ini juga. Namun, ia sadar ... bahwa saat ini yang dibutuhkan Acacia adalah sebuah dukungan.

Karina lalu memeluk Acacia, mengusap-usap lembut rambut panjang sahabatnya itu. "Ayo nangis, lampiasin semuanya. Jangan dipendam, karena nanti hanya meninggalkan bekas luka."

Karina dan Bisma berani berbicara dengan keras karena mengira tidak ada yang mendengarkan pembicaraan mereka bertiga. Sebab, meja mereka ada di paling pojok. Namun, jatuhnya kursi tadi begitu keras, sehingga beberapa mahasiswa kini melirik mereka bertiga karena ingin tahu kenapa ada seorang perempuan yang sedang menangis.

"Aku harus kasih pelajaran sama Kenzo, bener-bener sampah itu anak!" seru Bisma.

Saat ia hendak berdiri, Acacia menahan lengannya sambil menggeleng lemah. "Jangan, Bis! Kenzo enggak boleh sampe marah, soalnya dia punya video waktu ngelakuin itu sama aku," lirih Acacia.

"Argh, sial! Bajingan!"

Umpatan demi umpatan keluar dari bibir Bisma, ia sangatlah marah karena sahabatnya diperlakukan seperti itu. Bahkan, untuk sekedar membela diri Acacia tidak berani. Bukankah itu terlalu kejam?

"Ca ... jangan ikut mata kuliah dulu sore ini, kamu harus istirahat dan nenangin diri. Aku bakal kasih tau Bu Rahma kalau kamu sakit. Kamu tenang aja, Bu Rahma itu salah satu dosen terbaik di fakultas kita. Jadi ... walau enggak pake surat dari dokter bakal tetep diijinin."

Mendengar Karina berbicara seperti itu, membuat Acacia melepaskan pelukannya. Kini ia menggenggam erat tangan Karina sambil menatapnya dalam. "Kar, aku takut. Gimana kalo Kenzo maksa lagi dan ngancem aku pake video? Aku enggak sanggup kalo orang tua aku tau, mereka pasti akan merasa gagal dalam mendidik aku."

"Kenapa kamu harus takut, Ca? Memangnya apa salah kamu? Bukannya yang maksa kamu ngelakuin hubungan intim harusnya yang salah? Kamu harus lawan! Aku pasti bantu kamu buat laporin ke polisi, Ca!" seru Bisma.

Karina menggeleng, ia merasa tidak setuju dengan argumen Bisma. "Sekarang masalahnya bukan siapa yang salah dan jadi korban, Bis. Jangan gegabah dulu, kita tetap harus berpikir tenang. Kita harus hati-hati karena Kenzo punya senjata buat mengancam, sedangkan kalo kita tetep nekat buat lawan itu justru malah merugikan Acacia."

"Jadi? Kita harus diam aja?" tanya Bisma dengan kening yang kini mengerut dalam.

"Iya, sekarang kita diam dulu. Walau kita enggak ngelawan, kita tetep harus cari cara supaya Kenzo enggak bisa berkutik," ucap Karina dengan tegas. Ia lalu menatap Acacia. "Untuk saat ini kamu pulang dulu, kamu harus tenangin diri, Ca. Lupain dulu kejadian itu sejenak dan pulihin mental kamu."

"Enggak peduli sekeras apapun aku berusaha buat lupain, aku terus inget sama kejadian itu. Rasanya seperti terpenjara dan mustahil untuk meloloskan diri. Bahkan, aku bener-bener benci diri aku yang sekarang," gumam Acacia dengan tangisan yang masih setia menemaninya.

Karina meruntuki dirinya sendiri yang salah berbicara, ia lalu kembali memeluk Acacia untuk menenangkannya. Bisma yang mendengarkan isak tangis sahabatnya ikut merasakan sakit, rasanya ia ingin menghajar Kenzo setiap melihat satu tetes air mata Acacia jatuh.

"Jangan benci diri kamu sendiri, Ca. Kamu harus ngasih semangat ke diri sendiri, aku yakin kamu bisa ngelewatin ini. Karena ... Acacia yang aku kenal adalah perempuan kuat, jadi kamu harus yakin kamu mampu buat ngelawan Kenzo. Tenang, kamu enggak sendiri. Ada aku dan ada Karina yang selalu di membantu kamu."

Rasanya beban Acacia sedikit terangkat saat ini, mendengar kedua sahabatnya mendukung memberinya kekuatan tersendiri untuk bertahan menghadapi masalahnya.

'Ka Gavin benar, aku harus minta bantuan kalo emang enggak sanggup ngehadepin masalah ini sendirian,' batin Acacia.

"Makasih, sekali lagi aku ucapin terima kasih sama kalian berdua. Aku enggak tau lagi kalau enggak ada kalian, kalian bener-bener yang terbaik," ucap Acacia sembari mengeratkan pelukannya pada Karina dan menatap Bisma sendu.

Pembicaraan mereka, tak luput dari pendengaran Gavin. Kini lelaki itu sedang duduk di kursi dekat pilar, pembatas antara mejanya dan meja Acacia serta teman-temannya. Mereka tidak sadar bahwa dari balik pilar yang besar ada seseorang yang menguping semua obrolan mereka dengan kedua tangan yang kini sedang terkepal erat.

"Dasar brengsek! Gue akan buat perhitungan sama lo, Kenzo!" gumam Gavin dengan nada yang penuh emosi.