webnovel

Two Side (The Blue Bird Murder)

Jakarta sedang dihantui oleh tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang pembunuh yang dijuluki "The Blue Bird" karna ciri khasnya yang selalu meninggalkan sebuah kertas origami berwarna biru berbentuk burung. Pada kertas-kertas origami tersebut berisikan teka-teki yang sengaja diberikan pembunuhnya guna membantu para Kepolisian menemukan dirinya. Vivian Ananta Detektif terbaik di pihak kepolisian ditugaskan untuk menangani kasus tersebut. Namun Vivian merasa Blue Bird selalu lengkah didepannya oleh karna itu Vivian merasa dirinya saja tidaklah cukup, iapun lalu bekerjasama dengan Rian Afrizal. Detektif swasta terbaik di Indonesia. Mampukah mereka berdua bekerjasama guna menangkap The Blue Bird Murder tersebut?.

Milsscar82 · สยองขวัญ
Not enough ratings
22 Chs

Wanita Dalam Rekaman (2)

Tiba-tiba saja Adam masuk tanpa permisi keruang cctv tersebut. Ia masuk seraya berteriak. "Maaf aku agak lama Vi!"

Teriakanya tersebut memecahkan suasana hening di ruang cctv tersebut, Vivian yang sedang beristirahat seraya berpikir tentang perbedaan ciri-ciri wanita tersebut itu pun langsung memperhatikan asal suara tersebut, yaitu Adam. Begitupula dengan Oprator tersebut, yang sedang memperhatikan kecantikan Vivian yang begitu terlihat cantik dan menawan didalam balutan dress mahalnya tersebut. Mereka berdua menoleh secara bersamaan seketika Adam berteriak masuk kedalam ruang cctv tersebut.

Dengan wajah terkejut Vivian berkata. "Sial, Kau mengagetkanku Adam." Gerutu Vivian memarahi Adam.

Wajah Adam seketika memerah. Adam benar-benar merasa bersalah atas tindakannya itu. "Maaf Vi, maaf jika aku menggangu," kata Adam menyesal.

Dengan menghiraukan Oprator tersebut, Adam langsung duduk dikursi kosong disebelah kanan Vivian. "Apa yang aku lewatkan disini Vi ?" Tanya Adam seraya menyenderkan badanya dikursi tersebut.

Vivian menoleh kearah Adam. Dan dengan wajah polosnya Vivian berkata. "Tidak banyak" Lalu Vivian mulai melihat kelayar monitor itu kembali. "Bagian serunya baru akan dimulai." Kata Vivian bersemangat.

Melihat Vivian yang begitu bersemangat menatap layar monitor tersebut, Adam seketika itu juga langsung ikut memandangi layar monitor itu. "Itu...," Gumam Adam seraya menunjuk kearah wanita yang ada didalam rekaman tersebut. "Apakah dia wanita yang lemilik galeri ini bicarakan itu ?!" Vivian seketika terkejut, dan kemudian ia memandangi Adam keheranan. "Tau dari mana kau Adam, kalau pemilik galeri ini membicarakan soal wanita ?" Tanya Vivian begitu penasaran.

"Oh itu, tadi ketika aku mengabari soal pak gubernur kepada teman-teman yang lain sesuai perintahmu itu, Doni salah satu teman kita yang ikut denganmu masuk ke ruang Ian Roberth, menjelaskan semua pembicaraanmu dengan Ian Roberth didalam Vi," ucap Adam menjelaskan. "Itulah yang membuatku telat Vi."

Vivian menganggukan kepalanya. Lalu ia membuka mulutnya lebar-lebar hingga membentuk huruf o. "Oh... begitu..., baiklah kalau begitu baguslah. Aku jadi tidak perlu repot-repot menjalaskan kepadamu dari awal Adam."

Vivian kemudian memberikan buku catatannya kepada Adam. "Tolong pegang ini Adam."

Adam kemudian dengan sigap mengabil buku catatan Vivian tersebut. "Okey."

"Jika kau perhatikan Adam, tampilan wanita yang dideskripsikan oleh tuan Ian Robeth sedikit berbeda dengan wanita yang berada di dalam cctv." Ucap Vivian yang mulai menyampaikan pendapatnya.

Adam tanpa disuruh langsung membaca buku catatan Vivian tersebut, dan membandingkannya dengan wanita yang berada didalam rekaman cctv tersebut.

Adam menekuk alisnya, mengertukan dahinya dan menyipitkan matanya. Adam menatap kembali layar monitor tersebut dalam-dalam. "Kurasa berdasarkan apa yang kau tulis dibukumu Vivian, menurutku apa yang Ian Roberth deskripsikan sangatlah mendekati dengan wanita yang berada di dalam rekaman ini." Kata Adam menyampaikan pendapatnya.

Vivian tersenyum tipis. "Tatto, dia tidak bertatto," cetus Vivian memberikan petunjuk kepada Adam. Namun karna tidak begitu mengerti dengan kode yang diberikan oleh Vivian, Adam hanya terdiam menunggu Vivian berbicara kembali. "Tuan Ian Roberth bilang, jika wanita yang ia temui itu memiliki tatto, dan ia melihatnya, meski tidak terlalu jelas." Ucap Vivian berusaha menjelaskan kepada Adam.

Adam menyipitkan matanya. "Lalu ?" Tanya Adam yang masih bingung.

Vivian menatap Adam geregetan. Kemudian Vivian mencoba untuk mengontrol emosinya itu. "Ya, jika tuan Ian Roberth dapat melihatnya, pasti tatto itu terletak ditempat yang bisa dilihat, bahkan dengan cctv sekalipun. Namun aku tidak bisa melihatnya sama sekali di rekaman ini." Ucap Vivian menjelaskannya dengan perlahan, agar Adam dapat mengerti.

Adam lalu berpikir sejenak. "Kurasa Ian Roberth telah keliru saat itu."

Vivian lalu memandangi Adam lesu, seakan-akan kecewa dengan hal itu. "Ya, mungkin."

"Oh ya, ada sesuatu yang ingin kutunjukan kepada dirimu Adam." Lalu Vivian kembali menoleh kearah kirinya, kearah Oprator yang sedang terdiam kaku disebelahnya. Sementara Adam terlihat sangat antusias, dan memandangi layar monitor itu dengan cukup serius.

Vivian lalu tersenyum manis memandangi Oprator tersebut. "Tolong diputar sekali lagi pada tanggal 7 Oktober pada pukul 5 sore." Oprator itu langsung dengan sigap memutarkan kembali rekaman tersebut sesuai permintaan Vivian.

Setelah selesai diputarkan sesuai dengan permintaan Vivian, Vivian kembali tersenyum manis kearahnya. "Terimakasih." Senyuman manis itupun lagi-lagi membuat wajahnya memerah.

Vivian mengancungkan jarinya kedepan, menunjuk sesosok wanita yang berada didalam rekaman tersebut. "Kau lihat wanita itu Adam ?" Tanya Vivian.

Adam menganguk cepat. "Ya, tentu saja."

"Mereka adalah orang yang sama." Sahut Vivian tersenyum semangat.

Adam terdiam, ia terdiam sejenak mencerna apa yang telah Vivian katakan barusan. "Maksudmu wanita yang terlihat lusuh ini," ucap Adam sembari menunjuk wanita yang berada dilayar monitor." Adalah wanita yang sama dengan wanita cantik elegan yang terlihat penuh percaya diri tadi?!" Ucap Adam tertegun.

Vivian tersenyum tipis, lalu dengan begitu percaya diri Vivian menganggukan kepalanya. "Ya, kira-kira seperti itu Adam."

Adam terkejut mendengarkan fakta tersebut, dan langsung segera melihat kembali buku catatan Vivian tersebut." Jika yang kau katakan benar, maka memang sangat berbeda dengan prespektif dari Ian Roberth." Ucap Adam yang langsung segara menutup buku catatan tersebut dan mengembalikannya kepada Vivian.

"Tak ada tatto sama sekali." Gumam Adam keheranan.

Vivian langsung mengambil kembali buku miliknya itu dan memasukanya kedalam tas kecilnya itu. Adam lalu menyenderkan kembali badanya, dan juga memejamkan matanya sejenak. "Lalu menurut pandanganmu bagaimana Vi ?" Tanya Adam yang sedang menyenderkan badanya dan memejamkan matanya tersebut.

Vivian tersenyum bersemangat menatap kearah Adam. "Itu dia yang menarik," Sahut Vivian.

Vivian memalingkan wajahnya dari Adam. "Kau tau Adam, ada banyak sekali kesimpulan yang bisa ditarik hanya dari rekaman ini saja," Adam masih terdiam mendengarkan Vivian. "Coba kau lihat bagian matanya Adam. Terutama di bagian lingkar matanya." Ucap Vivian serius.

Adam seketika membuka matanya kembali, memajukan badanya sedikit. Ia kemudian mulai menatap kembali layar monitor tersebut. Ia lalu menyipitkan matanya, pupil matanya mengecil. "Hmn... aku benar-benar tidak tau apa yang kau maksud Vi." Ucap Adam kebingungan.

Lalu Vivian juga memajukan sedikit badannya, dan menunjuk mata dari wanita yang berada dilayar monitor itu. "Meski ia memakai make up yang cukup tebal, namun jika kau memperhatikan dengan jelas, maka akan terlihat mata panda pada lingkar matanya." Gumam Vivian menerangkan.

Lalu tanpa basa-basi kembali, Adam seketika langsung memperhatikan lingkar mata wanita tersebut kembali. "Wow... kau benar Vi, lalu apa maksudnya itu ?" Tanya Adam bingung.

"Baiklah akan aku jelaskan. Sebaiknya kau dengarkan ini baik-baik Adam." Ucap Vivian menegaskan.

Vivian menghela nafasnya sejenak. "Seperti yang kau ketahui Adam, wanita ini pernah kemari pada tanggal 7 Oktober pada sore hari bukan ?" Tanya Vivian mendikte.

Adam mengangguk perlahan. "Ya, lalu ?"

"Pada hari itu ia tampil dengan sangat lugu dan lusuh. Tanpa perhiasan ataupun make up sama sekali...."

Adam memotong ucapan Vivian. "Ya, ya. Kurasa itu benar-benar aneh. Ketika seorang wanita cantik sepertinya datang ke sebuah galeri sebesar ini tanpa memakai make up sama sekali. Aneh, itu sangat aneh." Keluh Adam resah. "Bahkan untuk orang sepertimu itu akan terasa aneh," sahut Adam menambahkan. Adam langsung menunjuk Vivian dengan sangat cepat "Lihat!, kau pun berdandan secantik dan sewah ini saat berkunjung ke galeri ini Vivian." Cetus Adam mengutarakan fakta.

Vivian lalu memandangi Adam sinis. "Bukan itu maksudku Adam!."

Adam pun tersenyum lebar malu. "Hehe, maafkan aku Vi. Lalu apa ?" Tanya Adam penasaran.

"Saat ia tidak menggunakan make up, terlihat jelas dari raut wajahnya. Ia terlihat begitu murung dan depresi, seperti ada tekanan yang menekan dirinya." Ucap Vivian menjelaskan "Lalu matanya saat itu terlihat lebam...."

Adam kembali memotong ucapan Vivian. "Lebam?!" Teriak Adam keheranan. "Apakah itu berarti wanita tersebut habis dipukuli ?!" Tanya Adam serius.

Vivian menggeleng perlahan. "Bukan, bukan itu Adam." Jawab Vivian murung. "Jika dilihat dari lebabnya yang tidak terlalu parah, berarti itu terjadi bukanlah karna sebuah pukulan. Melainkan tangisan."

"Tangisan ?"

"Ya, tangisan. Sepertinya ia telah mengalami hari-hari yang buruk."

Adam membuka mulutnya lebar-lebar sehingga membentuk huruf O persis seperti Vivian barusan. "Owh..." Ucap Adam sembari menganggukan kepalanya. "Jadi itulah sebabnya ia terlihat murung seperti orang depresi. Dan itu jugalah sebabnya ia tidak mengenakan make up sama sekali." Lanjut Adam menyimpulkan.

"Ya, Mungkin." Jawab Vivian santai.

Lalu rekamanpun kemudian dimajukan kembali ke tanggal 8 Oktober, kemudian Vivian menoleh kembali menatap layar monitor tersebut. Ia melihat dalam ke dalam rekaman tersebut, yang sedang di-pause saat wanita tersebut berjalan memasuki galeri seni Indonesia. "Dan disini, direkaman ini. Ia terlihat begitu percaya diri, bahagia dan berwibawa." Gumam Vivian serius. "Tapi sayang... ia masih tidak bisa menyembunyikan mata pandanya, yang artinya ia tidak tidur malam itu. Aku menduga ia mempersiapkan diri untuk hari itu, artinya lukisan itu penting untuknya."

Adam sejenak melirik melihat kedalam rekaman tersebut, Adam terlihat keheranan ia kembali menoleh kepada Vivian. "Apa maksud mu ?" Tanya Adam yang semakin bingung.

Vivian terdiam sejenak, lalu menoleh kearah Adam kembali. "Pada tanggal 7 ia datang dalam keadaan sedih, murung dan depresi. Bahkan kurasa ia baru saja habis menangis, sebelum datang ke galeri ini. Lalu pada tanggal 8 ia tampil berbeda, terlihat seperti bahagia dan tenang, seperti hari kemarin tidak pernah terjadi apa-apa. Namun sayangnya matanya berkata lain. Selain karna mata pandanya, ketika aku melihat tatapan matanya, itu seperti ia memandangi sesuatu yang kosong. Hampa, cahaya dimatanya terlihat sangat redup, seperti tak ada kebahagian didalamnya." Ucap Vivian mengutarakan pendapatnya.

Adam memandangi Vivian dengan tatapan penuh tanda tanya. "Jadi... ?"

"Jadi... kurasa ada orang yang menekannya untuk datang ke galeri ini. Orang itu mungkin menyuruh wanita tersebut untuk datang ke Galeri Seni Indonesia, dan membeli salah satu lukisan tersebut. Yang mana lukisan tersebut adalah lukisan yang dilukis oleh Ian Roberth."

"Kenapa kau berpikiran seperti itu Vi ?"

"Karna ketika aku melihatnya didalam rekaman ini, ketika ia datang ke galeri ini. Ia seperti tidak menikmati lukisan-lukisan tersebut. Seperti lukisan tersebut hanyalah bualan belaka. Ia hanya berdiri memandangi lukisan tersebut dengan tatapan kosong tak berekspresi." Ucap Vivian terheran. Lalu tiba-tiba Vivian lalu tersenyum tipis. "Seseorang yang rela mengeluarkan uang banyak demi satu buah lukisan saja, tidak akan datang ke galeri hanya untuk berdiri terdiam dengan tatapan kosong seperti itu. Karna jika ia memang pencinta seni maka ia seharusnya menikmati semua karya yang terpajang disini. Dan itu tidak terlihat darinya." Lanjut Vivian menjelaskan.

Adam menatap mata Vivian serius. "Jadi maksudmu ada seseorang yang menyuruhnya untuk membeli lukisan tersebut Vi ?!" Tanya Adam serius. Adam lalu menyenderkan badanya kembali dikursi tersebut. Lalu ia menghelakan nafas sejenak. "Jadi itu artinya wanita tersebut tidak bersalah ya ?" Gumam Adam.

"Ya." Sahut Vivian tenang. "Kuharap begitu, karna akan lebih mudah jika begitu." Lanjut Vivian.

Merasa ada yang janggal dari perkataan Vivian, Adam menegakkan tubuhnya kembali. "Apa maksudmu dengan kuharap dan lebih mudah jika begitu ?" Tanya Adam bingung.

Vivian mentap Adam dengan wajah murung. "Jika kita membicarakan tentang seorang pembunuh berantai yang cerdas. Percayalah, semua tidak akan semudah itu Adam."

"Maksudmu ?"

"Mungkin dia memang tidak bersalah, atau juga mungkin dia adalah The Blue Bird Murder."

"Ha ?!" Desah Adam kebingungan. "Aku semakin tidak mengerti Vi ?" Tanya Adam. "Bagaimana mungkin dia bisa menjadi tersangka, setelah kau bilang bahwa dia mendapat tekanan dari seseorang ?" Tanya Adam kembali dengan wajah penuh kebingungan.

"Sudahku bilang bukan ?! Jika ini menyangkut seorang pembunuh berantai yang cerdas semua itu memungkinkan Adam," jawab Vivian murung. "Menurutku ia bisa saja dengan sengaja membuat matanya lebam dan memimbulkan mata panda atau pun berpenampilan seperti seorang yang sedang depresi, agar membuat kita yakin bahwa dia bukanlah pelakunya dan mencoretnya dari daftar pelaku, atau bahkan mungkin...," lalu Vivian memegangi dahinya dengan telapak tangan sebelah kiri. Ia sedang berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

"Mungkin apa lagi ?!" Tanya Adam bingung.

"Atau mungkin wanita cantik yang berada didalam rekaman ini memang tidaklah bersalah, dan The Blue Bird Murder ini memang sengaja membuat kita berpikir bahwa wanita itu adalah pelakunya," jawab Vivian menerangkan. Lalu Vivian menarik rambutnya yang terkuncir dengan rapih itu. "Argh! Entahlah aku pusing!" Gumam Vivian yang geram.

Adam seketika geram pula, dan memukul keras telapak tangan sebelahnya. "Sial! Kau benar Vi, lalu bagaimana ?"

Vivian lalu menyandarkan tubuhnya di kursi, ia beristirahat sejenak, dan menenangkan pikiranya selama sekitar 1 menitan. Sementara Adam hanya terdiam menatap Vivian dengan penuh tanda tanya. Dan Oprator cctv pun hanya duduk diam layaknya patung, ia seperti tidak tahu apa yang sedang ia lakukan disana. "Sekarang apa?" Ucap Operator itu dalam hati, seraya memandangi mereka berdua.

Setelah 1 menitan menenangkan pikiranya, Vivian mulai menegakan badanya kembali dan menoleh kearah Adam. "Kau mau tau apa yang ada dipikiranku Adam ?" Tanya Vivian serius.

Adam mengganguk cepat. "Baiklah Adam, dengarkan ini baik-baik." Adam hanya terdiam menunggu Vivian berbicara kembali.

"Kurasa untuk saat ini hal yang terbaik adalah kita menganggap wanita tersebut sebagai korban," ucap Vivian menerangkan. Adam lalu menganggukan kepalanya, setuju. "Tapi...." Adam kemudian memotong ucapan Vivian tersebut. "Tapi apa Vi ?" Tanyanya penasaran.

Vivian lalu tersenyum menyeringai licik. "Tapi itu hanya bagian dari strategi, aku ingin wanita tersebut tau jikalau dia adalah korban, aku ingin semua media memberitakan bahwa ia adalah korban yang mendapatkan tekanan dari The Blue Bird Murder itu."

Adam semakin heran dengan apa yang Vivian rencanakan. "Lalu apa, apa tujuan itu semua ?"

Vivian menatap Adam dengan senyuman manis kegembiraan. "Apalagi kalau bukan menjebak pelaku utamanya Adam," jawab Vivian dengan penuh semangat. "Biar kuberitahu Adam, jika memang wanita itu pelakunya. Dengan kita menempatkan ia sebagai korban, ia akan merasa aman dan berhasil dengan semua rencannya, dan jika sudah seperti itu maka ia akan lengah! Dan disaat itulah kita bisa mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkapnya." Ucap Vivian yang begitu bersemangat menjelaskan itu semua kepada Adam.

"Lalu kalau memang bukan dia pelakunya, bagaimana ?"

"Simpel. Itu artinya setidaknya kita sudah mengamankan salah satu korban," Jawab Vivian santai. Vivian lalu mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. "Dan lagipula kita bisa mendapatkan sedikit-banyak informasi dari wanita tersebut bukan ?"

Adam tersenyum lebar. "Ya, kau benar Vi." Sahut Adam bangga.

Lalu tiba-tiba handphone milik Adam berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Adam dengan sigap langsung mengambil handphonenya dari saku celananya dan mengangkat panggilan tersebut.

Lalu karna handphone Adam tidak di-loudspeaker Vivian hanya bisa mendengarkan suara samar-samar yang ia tidak tau apa itu. Dan selama menelpon Adam hanya menganggukan kepalanya dan berkata. 'Baik, Siap , dan Okey' saja. Setelah selesai menelpon, Vivian yang penasaran langsung menanyakan hal tersebut kepada Adam. Dengan wajah penasaran Vivian bertanya kepada Adam. "Siapa itu tadi Adam ?"

"Oh itu Dodi. Dia hanya ingin melapor bahwa dia bilang, dia dan timnya baru saja sampai di kediaman Gubernur, dan mereka sedang meminta izin masuk kesana."

Vivian hanya terdiam dan mengangkat alis matanya sebagai kode. Vivian kemudian berdiri dari duduknya. "Baiklah kalau begitu sekarang giliran kita untuk menyusul kesana."

Adam ikut berdiri dari duduknya. "Aku numpang mobilmu ya Vi, kurasa akan lebih keren pergi kesana menggunakan mobilmu Vi." Sahut Adam bercanda. Vivian hanya tersenyum geli mendengarnya. Lalu sebelum mereka berdua keluar dari ruang cctv, Vivian menyempatkan dirinya untuk menyampaikan kata terimakasih kepada Oprator yang sedang duduk terdiam tersebut. Vivian membungkukan badanya. Lalu sembari tersenyum ia berkata. "Terimakasih atas bantuannya tuan Oprator," Vivian lalu menegakan badanya kembali. "Kami pamit dulu." Sementara itu Adam hanya tersenyum menganggukan kepalanya sebagai bentuk ucapan terimakasih darinya.

Mereka berdua lalu keluar dari ruang cctv. Setelah keluar dari sana, disaat Adam ingin melangkahkan kakinya tiba-tiba saja Vivian menahanya dengan memegangi tanganya dengan erat. "Tunggu sebentar Adam." Cetus Vivian serius.

Adam berhenti, ia kebingungan saat itu. Ia tidak mengerti kenapa Vivian menyuruhnya berhenti tiba-tiba. "Ada apa Vi ?" Tanya Adam bingung.

Vivian lalu melepaskan tangan Adam dari genggamannya. "Ada sesuatu yang harusku beri tahu padamu sebelumnya."

"Kenapa kau tidak memberitahukanya saat tadi kita berada didalam Vi ?"

"Aku tidak ingin ada yang mengetahui soal ini Adam, termasuk Oprator itu. Ini rahasia antara kau dengan ku." Sahut Vivian yang semakin menunjukan wajah serius tegangnya itu.

Vivian lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Adam seolah-olah ingin mencium Adam. Wajah Adam seketika itu juga langsung memerah ketika Vivian tiba-tiba mendekatkan dirinya seperti itu.

Adam berpikir bahwa Vivian ingin mencium dirinya. Tapi kenyataanya Vivian hanya ingin membisikan sesuatu kepadanya. Vivian mendekatkan mulutnya ke telinga Adam, lalu ia mulai berbicara dengan suara yang sangat pelan. "Aku rasa aku tau dimana wanita itu berada Adam." Bisik Vivian.

"Apa?!" Teriak Adam terkejut.

Vivianpun seketika dengan sigap Vivian langsung menyumpal mulut Adam menggunakan tanganya. "Sssst! Jangan keras-kerasa Adam." Sahut Vivian geram. Adam lalu menganggukan kepalanya perlahan. Setelah itu Vivian melepaskan tanganya dari mulut Adam.

Adam mengerutkan dahinya, menatap Vivian keheranan. "Bagaimana bisa Vi ?" Tanya Adam dengan suara yang dipelankan.

"Sebelum kau datang tadi, aku membahas soal buku besar yang mirip seperti buku tamu, yang berada di meja besar didepan pintu masuk gedung ini dengan Oprator disana. Aku sengaja pura-pura tidak mengetahui persoalan itu, namun nyatanya aku yakin sekali buku itu adalah buku daftar tamu yang dimiliki salah satu perpustakaan terbesar dinegri ini." Jawab Vivian menerangkan dengan suara yang juga dipelankan.

"Maksudmu Perpustakaan Indonesia Jaya ?" Tanya Adam memotong ucapan Vivian.

Vivian mengangukan kepalanya perlahan. "Ya, aku tau dari sampulnya. Aku ingat betul karna aku sering mengunjui perpustakaan itu," "Selain itu aku juga melihat logo perpustakaan di pin, di tas yang ia kenakan." Lanjut Vivian.

"Lalu apa yang ingin kau sampaikan padaku Vivian, karna aku sangatlah yakin kau tidak hanya ingin mengatakan hal itu saja bukan ?"

Lalu kemudian lagi-lagi Vivian mendekatkan dirinya kepada Adam, Vivian ingin membisikan sesuatu kepadanya. "Aku ingin kau memata-matai dirinya, gali informasi tentang dirinya. Lakukan itu selagi kita akan memberitakan bahwa dia adalah korban."

Adam terkejut. Ia kemudian mengerutkan dahinya menatap Vivian seolah tak percaya dengan apa yang diusulkan oleh Vivian. "Aku ini bukan intel ataupun mata-mata Vivian, aku tidak bisa melakukan itu."

"Ya, aku tau itu. Tapi kita tidak punya pilihan lain, aku hanya mempercayai dirimu Adam." Cetus Vivian dengan sedikit emosional.

"Kenapa ? kita bisa menugaskan ini pada Intel milik kepolisian Vi!" Cetus Adam.

Vivian memejamkan matanya lalu mengelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, kita tidak bisa." Jawab Vivian yang kemudian kembali membuka matanya. "Semakin sedikit yang tau akan hal ini, semakin terjaga juga rencanaku ini. Dan semakin banyak yang tau akan semakin mudah informasi ini bocor dan rencanaku diketahui oleh pembunuh sebenarnya," Ucap VIvian menerangkan alasanya. "Kita tidak bisa mengambil reskio itu Adam, tolong lakukan ini untuku Adam." Ucap Vivian memohon.

Adam tak enak hati melihat Vivian yang bersikeras memohon seperti itu. Pada akhirnya Adam mengiyakan permintaan Vivian itu. Lalu tak berlama-lama Vivian langsung menyuruh Adam untuk melakukan rencana itu dimulai dari sekarang, agar semakin cepat mereka mengorek informasi tersebut.

Lalu Adam bergegas untuk pergi ke menuju perpustakaan tersebut, sedangkan Vivian bergegas menuju kediaman Gubernur, guna membantu rekan-rekannya yang lain disana.

Like it ? Add to library!

Milsscar82creators' thoughts