Setelah perjalanan yang cukup lama, dikarnakan kondisi lalu lintas Jakarta yang cukup ramai dan padat. Vivian akhirnya telah sampai di kediaman Gubernur Jakarta, di salah satu perumahan di daerah Jakarta Selatan.
Sesampainya disana Vivian benar-benar dibuat heran dengan mobil ambulance yang sudah terparkir disana. Bukan hanya itu saja, namun Vivian juga melihat ada beberapa temanya dari bagian forensik disana. Lalu melihat itu semua Vivian semakin khawatir, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Ini tidak bagus." Gumamnya sembari memarkirkan mobilnya. Setelah itu Vivian seketika itu juga keluar dari mobilnya dan bergegas berkumpul bersama teman-temannya.
Karna Vivian memarkirkan mobilnya cukup jauh dari rumah Gubernur dikarnakan lahan parkir yang tidak memadai, Vivian berlari secepat mungkin agar bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Namun ketika Vivian sedang berlari, tiba-tiba saja ada seseorang pria yang sudah sedikit berumur dengan perut sedikit buncit, janggut lebat dan kulit sawo matang menghampirinya. "Detektif!" Teriaknya memanggil-manggil Vivian. Vivian lalu terhenti melihat pria itu yang sedang berusaha untuk menghampirinya.
Pria itu terlihat sangat marah besar, wajahnya memerah, raut wajahnya seperti ditekan. "Dari mana saja kau detektif?! Aku sudah menghubungimu berkali-kali namu tak ada jawaba!" Teriaknya marah. Vivian benar-benar kebingungan saat itu, ia bingung kenapa Kapten Abi tiba-tiba saja marah kepadanya. Vivian lalu memandanginya dengan penuh tanda tanya. "Aku dari galeri seni Indonesia," jawab Vivian dengan keheranan. Lalu kemudian Vivian menundukan badanya. "Handphoneku mati, baterainya habis. Mohon maafkan aku kapten, itu memang salahku," ucap Vivian dengan persaan bersalah.
Lalu pandangan tatapan kapten Abi seketika berubah drastis, wajahnya seketika berubah menjadi murung. Ia menundukan wajahnya, tatapan matanya berubah seperti orang yang sedang depresi berat. "Pak Gubernur telah tewas!" Ucap kapten Abi dengan nada suara yang sangat pelan.
Meskipun nada suara yang dihasilkan kapten Abi itu sangatlah pelan, namun Vivian masih dapat mendengarkanya dengan sangat jelas. Dan itu benar-benar membuat Vivian syok berat. Ia tak menyangka jika Pak Gubernur akan meninggal secepat ini. Vivian memang mengira The Blue Bird akan mengincar Pak Gubernur, namun tidak secepat ini.
Lalu dengan wajah yang seakan tidak percaya, Vivian tersenyum geli. "Tidak mungkin secepat ini kapten, ini pasti salah!" Seru Vivian yang masih tidak percaya akan kenyataan tersebut.
Kapten Ali memandangi wajah Vivian dengan melas, kelopak matanya sayu, raut wajahnya seakan tidak ada semangat sama sekali. "Tidak detetif, inilah kenyataannya," ucap kapten Abi berusaha untuk meyakinkan Vivian. "Tim Forensik kita sendirilah yang telah memastikan hal itu detektif."
"Lalu adakah saksi mata yang melihat kematiannya. Keluarga, pembantu atau siapapun?! cctvpun tak masalah." Seru Vivian seraya mengerutkan alisnya mengharapkan sebuah jawaban yang akan memuaskan dirinya.
Kapten Ali menundukan wajahnya. "Sayangnya tidak ada. Keluarga Pak Gubernur mereka semua sedang berada diluar kota, sedangkan satpam, dan semua asisten rumah tangganya bahkan tidak ada yang mengetahui kematiannya, mereka baru tau ketika kami datang dan ingin mengecek keadaan Gubernur."
Vivian semakin heran dengan semua hal itu. Vivian memiringkan kepalanya sedikit kekiri dan menatap kapten Abi penuh kebingungan. "Loh, kok bisa ?"
"Mereka bilang, Pak Gubernur memerintahkan mereka untuk tidak menggangu beliau, karna beliau ada kerjaan yang sangat penting," jawab kapten Abi mencoba menjelaskan. "Dan untuk masalah cctv. Sudah kami cek semua, semua kosong! tak ada apapun yang janggal semuanya tampak normal, dan tak ada sama sekali yang memasuki ruang kerja Gubernur sejak terakhir kali ia memasuki ruang kerjanya itu."
Lalu Vivian tersungkur lemas di pinggir jalan, di depan salah satu rumah penghuni komplek tersebut. Vivian terduduk lemas tak berdaya, ia menarik kakinya dan memeluknya seraya menutupi wajahnya dengan tanganya. "Aku gagal, aku membuat ini semakin rumit!" Gumam Vivian bersedih.
Sama seperti pada wanita pada umumnya yang selalu melibatkan perasaan dalam melakukan segala sesuatu, begitupula dengan Vivian. Vivian benar-benar ingin menyelesaikan kasus ini, agar publik tidak lagi takut terhadap pembunuhan ini lagi. Oleh karna itu Vivian benar-benar menaruh perasaanya pada kasus ini.
Tak tahan dengan semua pikiran itu, Vivian menangis. Air matanya mulai membasahi pipi serta tangannya yang sedang menutupi wajahnya tersebut. Ia benar-benar merasa kecewa dengan dirinya sendiri, kecewa akan ketidak mampuanya untuk membuat kasus ini setidaknya untuk tidak menjadi lebih parah. Vivian berpikir dengan kematian Gubernur justru itu telah memperburuk keadaan.
Dan Vivian yakin, dengan kematian gubernur ini akan timbul efek domino yang nantinya akan menimbulkan kekacauan masal di masyarakat, pikirnya.
"Namun sepertinya tidak seperti apa yang kau katakan detektif," ucap kapten Abi yang berhasil membuat Vivian menahan tangisan kesedihannya sejenak. Vivian lalu menghapuskan air matanya menggunakan kedua tanganya. Kemudian ia menatap serius kepada kapten Abi menunggu lanjutan perkataan kapten Abi tersebut. "Tak ada sama sekali tanda-tanda Blue Bird yang dapat kami temukan disini."
"Apa, kau serius kapten ?" Tanya Vivian heran.
"Ya, kami semua tidak berhasil menemukan satu pun kertas origami berbentuk burung atau petunjuk apapun itu yang mengarah kepadanya." Ucap kapten Abi menjelaskan.
Vivian benar-benar merasa heran, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Ia merasa dengan kematian Gubernur itu membuktikan bahwa jawabanya mengenai teka-teki yang diberikan oleh Blue Bird itu, adalah benar! Lalu jika itu benar maka seharusnya akan ada lagi teka-teki baru yang dibuat oleh Blue Bird, karna itulah yang dilakukan oleh seorang pembunuh berantai narsis seperti Blue Bird. Begitulah pikirnya.
Seraya berusaha menenangkan dirinya, Vivian mulai mengulik informasi yang ia tidak ketahui dari kapten Abi. "Melihat sudah ada tim forensik disini, apakah mayatnya sudah diperiksa kapten ?"Tanya Vivian mencoba untuk menggali informasi.
Kapten Abi membusungkan dadanya, ia menarik nafas dalam-dalam dan bersiap menjawab pertanyaan dari Vivian. "Tim forensik sudah sempat melakukan pemeriksaan secara cepat untuk menduga kemungkinan pembunuhan," ucap kapten Abi seraya memberikan sebuah foto hasil cetakan kamera polaroid, yang menunjukan kondisi mayat Gubernur ketika ditemukan oleh pihak kepolisian. "Namun hasilnya nihil, tak ada sidik jari, luka sayat, luka akibat benda tumpul, ataupun tanda-tanda Gubernur diracuni oleh seseorang, semuanya clear." Lanjut kapten Abi menjelaskan detailnya kepada Vivian, sementara Vivian memperhatikan hasil cetakan foto yang diberikan oleh kapten Abi itu.
"Lalu kalau begitu, apa penyebab kematian dari pak Gubernur ?"
"Untuk saat ini tim forensik mengngira bahwa pak Gubernur meninggal dikarnakan serangan jantung akibat kelelahan karna bekerja seharian."
Vivian kemudian mencoba menelaah informasi-informasi yang telah ia terima dari kapten Abi. "Lalu kapten, apakah sudah ada orang yang memeriksa laptopnya ?"
Kapten Abi pun terdiam dan mencoba mengingat-ingat. "Kurasa belum," Jawab kapten Abi mengira-ngira. "Lagipula, jika kita memang ingin membuka laptop milik seorang Gubernur, kita harus mendapatkan surat izin terlebih dahulu. Itu dikarnakan kemungkinan besar disana terdapat file-file yang berisi rahasia negara."
Vivian menganguk pelan. "Ya, kau benar kapten. Untuk itu aku meminta bantuanmu kapten, bisakah kau mendapatkan izin untuk melihat isi dari laptop itu ?" pinta Vivian kepada kapten Abi. "Atau setidaknya dalam pengawasanmu kapten." Tambah Vivian yang mencoba untuk meyakinkan seorang kapten Abi.
Kapten Abi menghela nafasnya. "Baiklah, kita lihat saja nanti apa yang bisa kulakukan, aku tidak bisa berjanji." Vivianpun tersenyum. "Terimakasih kapten."
Kapten Abipun pergi meninggalkan Vivian, kapten Abi kembali menuju satuannya kembali, dan mencoba menghubungi Pak Kepala untuk meminta izin perihal laptop pak Gubernur. Sementara Vivian mencoba menghampiri tim forensi untuk mendapatkan informasi yang lebih mendetail persoalan penyebab kematian dari Gubernur.
Disaat Vivian sedang ingin menghampiri tenda tim forensik yang berjarak tidak begitu jauh dari rumah Gubernur, Vivian melihat Jony yang sedang mengangkut barang-barang yang memiliki potensi untuk dijadikan barang bukti untuk kasus kematian Gubernur ini.
Jony saat itu seperti biasa sedang menggunakan pakaian lengkap ADP sebagai prosedur tim lapangan. "Jony!" Teriak Vivian seraya melambai-lambaikan tangannya. Lalu Jony yang melihat Vivian, kemudian berhenti sejenak dan menghampiri Vivian.
"Dari mana saja kau Vi, " tanya Jony peduli. "Kau sudah tau tentang kematian Gubernur Vi ?"
Vivian lalu menundukan kepalanya, dan merenung sejenak. "Ya, maka dari aku mencarimu sekarang." Jawab Vivian. "Kuharap kau bisa memberikanku informasi yang berguna Jony. "
Jony menatap Vivian. Dengan wajah bersedih Jony berkata. "Kurasa aku akan mengecewakanmu kali ini Vi, " Vivian hanya diam, mencoba mendengarkan Jony. "Untuk sekarang aku beserta teman-teman di tim forensik hanya bisa mengatakan ia terkena serangan jantung akibat kelelahan bekerja. Selebihnya aku tak bisa berkata apa-apa."
Lalu Vivian memotong perkataan Jony. "Racun ?" Tanya Vivian mendikte.
"Tidak ada sama sekali tanda-tanda ia diracuni, bekas sisah makanan sudah kami periksa tidak terdapat racun. Gelas kopinya pun sama, tak ada tanda-tanda racun disana. Namun seperti yang kau tau Vivian, itu belum final, kami masih belum memeriksa mayatnya. Jadi masih ada kemungkinan jika ia diracuni."
Vivian lalu tersenyum tipis kepada Jony. "Terimakasih Jony, kau memang selalu bisa membuatku lebih baik," sahut Vivian yang kemudian bersiap-siap meninggalkan Jony. "Kabari aku segera jika kau menemukan sesuatu yang penting, apapun itu!." Tegas Vivian seraya pergi berjalan meninggalkan Jony.
Setelah menemui Jony, Vivian kemudian memasuki TKP. Yaitu kediaman dari Gubernur. Vivian tanpa basa-basi langsung menuju ruang kerja Gubernur, tempat dimana Gubernur menghembuskan nafas terakhirnya. Sesampainya disana, Vivian melihat ruang kerja Gubernur.
Ruangan itu terbilang cukuplah luas jika untuk satu orang pekerja saja. Disana banyak sekali lukisan-lukisan serta pajangan-pajangan yang memberikan kesan mewah dan indah ruangan itu. Disana juga terdapat 2 buah sofa yang cukup panjang yang saling berhadapan. Ditengah-tengah kedua sofa tersebut ada sebuah meja kaca yang sangatlah cantik.
Dibagian dekat pintu, ada sebuah rak untuk menaruh sampah-sampah yang ada disana. Sedangkan dibagian depan ada sebuah meja besar yang terbuat dari kayu jati kualitas terbaik, yang mana itu adalah meja kerja milik Gubernur itu sendiri. Kemudian diatas meja tersebut terdapat Vas bunga lengkap dengan bungannya yang sangat indah dan terlihat segar karna disiram setiap hari. Lalu tepat dibelakang meja kerja Gubernur, tepatnya di dindingnya, ada foto presiden beserta wakilnya dan juga burung Garuda Pancasila.
Sesampainya disana Vivian langsung menghampiri meja kerja milik Gubernur yang terbuat dari kayu jati pilihan itu. Vivian lalu mengelilingi meja tersebut, seraya terus memperhatikan meja tersebut, dengan harapan ia akan menemukan sesuatu disana.
Namun seperti dugaanya, ia tidak menemukan apapun disana. Meskipun ia sempat menaruh kecurigaan disana. Namun, karna ia merasa apa yang ia lakukanya disana sia-sia belaka, akhirnya Vivian memutuskan untuk keluar dari ruang kerja Gubernur dan lebih memilih untuk menunggu keputusan dari Pak Kepala persoalan laptop tadi. Dan seraya menunggu keputusan itu, Vivian berniat untuk mengunjungi tenda tim forensik, sekaligus untuk melihat-lihat barang bukti yang lainnya.