webnovel

Pengawasan

POV: Agus

Setelah makan malam dengan Dion yang membuatku sedikit ta' nyaman, aku pun pamit untuk kembali ke kamarku. Sebuah kamar yang ta' begitu luas namun cukup untuk aku dan ibuku beristirahat, di sana terdapat kasur bertingkat yang kami gunakan. Aku tidur di ranjang atas sedangkan ibu, ku suruh untuk tidur di ranjang bawah.

Ta' etis sebenarnya berada di atas ibu, tapi mau bagaimana lagi keadaan yang memaksaku berbuat begitu, aku ta' ingin ibuku yang sudah tua ini naik turun tangga hanya untuk beristirahat.

Ada banyak kamar sebenarnya, namun sudah di isi oleh pengurus rumah tangga yang lain. Aku juga ta' ingin meninggalkan ibu sendirian, mangkanya aku memutuskan untuk tidur dengan beliu dalam satu ruangan. Itu juga memudahkan aku untuk menjaga ibu jika terjadi sesuatu di malam hari seperti waktu itu.

Ibu punya kesensitifan pada malam hari, traumanya yang masih di ingatnya sampai saat ini, kadang masih terbawa dalam mimpi. Entah kejadian yang seperti apa persisnya, hingga membuat ibu terus menerus mengalami mimpi buruk.

Ingin sekali ku tanyakan apa yang sudah terjadi, namun lagi-lagi ibu akan bereaksi histeris jika ku tanyakan tentang itu. Ia akan meraung-raung, mengacak-acak rambut serta pakaiannya dengan kasar, dan matanya akan mengeluarkan air mata yang membuatku ta' tega untuk melihatnya. Apa yang membuatnya seperti ini dan siapa pelakunya?? itulah pertanyaan yang selalu berkelana dalam fikiranku. Jika suatu hari aku menemukan celah untuk masalah ini, pasti akan ku balas orang yang telah membuat ibuku menderita, aku berjanji, itulah tekatku saat ini.

Sambil ku tatap foto kami berdua di atas meja belajar yang berada ta' jauh dari tempat tidur kami. Aku pun duduk, ku ambil foto berbingkai bunga mawar itu, foto waktu aku masih dalam dekapan ibu, masih kecil sekali.

Ternyata kini aku sudah dewasa, sudah cukup mampu untuk melindungi ibu dengan kekuatanku sendiri, entah setiap melihat foto ini, air mataku ta' bisa ku bendung. Segera ku usap perlahan dengan punggung tanganku, ta' ingin bila ibu mendapatiku sedang menangis pasti ibu juga akan ikut sedih.

Segera ku kembalikan foto tersebut ke tempatnya semula, teringat ada sesuatu yang terlupa soal perkumpulan kami tadi di cafe. Aku pun mengambil handpone yang ku simpan di dalam tas ranselku dan segera mengirim pesan ke Cara.

Agus: aku baru ingat jika lagu yang ku pilih tadi pernah di bawakan anak kelas lain tahun lalu, aku bisa pilih ulang lagunya?? ( isi pesan singkatku ke Cara )

Ta' butuh waktu lama Cara pun membalas pesanku.

Cara: oke, bisa kog. Besok datang aja ke kelasku. Aku ada kelas kosong setelah kelas siang.

Agus: oke aku akan hampiri kamu besok. ( balas ku singkat )

Cara: sampai bertemu besok. Bisa nggak kamu datangnya sendiri saja nggak perlu sama Dion? ( tambahnya dalam pesannya )

Agus: kenapa?? ( penasaran )

Cara: ta' apa, cuma ada suatu hal juga yang ingin aku sampaikan ke kamu tapi tanpa orang lain.

Agus: oke

Ada hal apa yang membuat Cara ingin bicara empat mata denganku, biasanya aku selalu menghampirinya bersama Dion namun dia ta' keberatan, tapi ini aneh dia hanya ingin bertemu dengan ku saja.

Ku angkat ke dua bahuku ke atas sedikit dengan ekspresi wajah yang penuh tanya. Sudahlah mungkin cuma hal biasa, itu yang bisa ku fikirkan.

Agus: satu lagi yang ku lupa, Dion!! dia pasti menunggu. ( menepuk jidatku pelan )

Segera ku letakkan handponeku di atas meja, lalu aku pum mandi dan berganti pakain, ta' lupa ku sisir rambutku yang basah ini dengan sisir sambil melihatnya di depan cermin lalu ku pakai parfum yang di belikan Dion beberapa hari yang lalu.

Agus: apa-apa an ini, cuma bertemu Dion aja. ( ku acak kembali rambutku )

Terdengar sebuah pesan masuk berasal dari handponeku, satu pesan singkat tertera di layar, namun ta' ku lihat karena terlalu fokus untuk segera ke kamar Dion.

Aku bergerak menuju pintu kamarku dan membukanya, lalu berjalan menaiki anak tangga yang menuju ke kamar Dion.

Saat tiba di depan kamar Dion yang ta' di tutup, secara tidak terduga ada sebuah benda keras yang melayang menuju tempatku berdiri dan yahhh sebuah handpone punyanya Dion tepat mengenai jidat ini.

Auuu...Sumpah ini tuh sakit, ku pegangi jidatku kali aja bakal benjol setelah terkena benda tersebut, tapi syukurlah tidak sampao segitunya.

Ku lihat Dion langsung panik dan berlari ke arahku. Dia lalu menarikku, menyuruhku duduk di pinggiran ranjangnya yang bagus ini lalu mencarikannku obat serta memakaikan betadine ke jidatku yang ternyata berbekas merah karena memar.

Dia pun minta maaf karena ta' sengaja melakukannya, aku pun tau ta' mungkin dia melakukan itu tanpa sebab. Ku pegang tangannya yang sedang mengobatiku karena ta' mau membuatnya melakukan ini. Tampak ada yang berbeda dari tatapannya, dia menghindari tatapan kami, kami pun terdiam sejenak.

Agus: kamu ada masalah?? ( ucapku padanya )

Dia pun terdiam, aku tau gelagatnya yang ta' bisa membohongiku, meskipun dari luar dia itu terlihat seperti orang yang kuat, tukang buat onar namun di dalamnya sebenarnya nggak gitu, dia juga punya rasa takutnya sendiri, takut akan kesendiriannya, takut akan kasih sayang yang ta' pernah di berikan orang tuanya, takut akan jalan hidupnya sendiri.

Agus: bicaralah!! ( ku tatap dia tajam )

Dion: ada yang mengusikku, ku fikir sebelumnya itu cuma spam lewat, tapi hari ini ia menyangkut pautkan kamu dan ibu.

Agus: maksut kamu gimana??

Dion bercerita bahwa kemarin ia dapat pesan dari nomor yang ta' dikenal, dia berfikir itu cuma pesan spam ta' berdasar namun hari ini pesan itu ada lagi dan menyangkut aku serta ibu, dia takut akan terjadi sesuatu pada ibu.

Agus: kamu sudah menelfon nomor tersebut? ( tanyaku pada Dion )

Dion: udah tapi nomornya sudah ta' aktif, makannya aku geram dan ya maaf aku melemparkan handpone yang ku pegang dan malah terkena kamu.

Agus: ya sudah lah masalah dahiku ga' apa-apa kog cuma memar sedikit, kamu nggak perlu hawatir. Kalau masalah pesan itu kita lihat dulu aja lah gimana gerak-geriknya setelah ini. Kalau ada hal aneh lagi baru kita bertindak. ( ucapku sembari meyakinkan dia )

Dion: oke, aku percaya padamu.

Dion pun setuju dengan apa yang aku usulkan, di satu sisi aku merasa ada yang mengawasi kami dari kejauhan, seseorang dengan jas berwarna hitam yang senada dengan kaca mata yang ia kenakan, namun orang itu berlalu begitu saja setelah melihatku, sepertinya tuan menyuruh pengawalnya untuk mengawasi Dion lagi secara ta' lama lagi dia bakal di tunjuk oleh tuan untuk menjadi penerusnya, nggak langsung sih mungkin setelah ini dia akan di ajari bekerja di kantor dan di didik sampai layak buat jadi penerus perusahaan.

Kasihan sebenarnya melihat Dion melakukan tugas yang sama sekali bukan pilihannya, namun ini bukanlah pilihan tapi sebuah perintah dari tuan besar yang ta' bisa terbantahkan.

*****