webnovel

The Black Moon (Bulan Hitam)

"Akhirnya.. aku menemukanmu Luna." Hanna gadis lugu yang tidak tahu apa-apa mengenai werewolf maupun magic. Namun kehidupannya yang tragis dari keluarga angkatnya, berakhir menjadikannya seorang tumbal bagi generasi keluarga mereka. Namun siapa sangka? Pangeran kegelapan yang seharusnya membunuhnya ternyata adalah seseorang yang ditakdirkan untuknya. Tapi status Hanna yang hanya manusia biasa, mampu kah bersatu dengan takdirnya? Dan bisakah Hanna menerima takdirnya yang memang bukan di dunia manusia utuh? Simak ceritanya di sini!

Kasih_Kurnasih · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
4 Chs

Bab 3 Prince Of Darkness

Author POV

Gelapnya langit malam memberi suasana mencekam dikala rimbunnya pepohonan hutan yang berjejer rapih menjulang ke langit. Udara dingin yang menusuk kulit serta kabut tebal memenuhi jalanan setapak membuat siapapun yang melihatnya akan langsung merinding dibuatnya.

Tidak ada sedikitpun penerangan, terkecuali cahaya murni dari sang rembulan malam yang hampir tertutup sepunuhnya karena akan segera terjadi gerhana bulan total.

Sekelompok orang yang kini berjalan beriringan itu melangkah dengan langkah cepat dengan satu orang membopong seorang gadis malang di tangannya.

Gadis itu terlihat rapuh dan tidak berdaya. Seluruh tenaganya seakan habis terkuras hingga kedua matanya tertutup rapat dan tidak sadarkan diri.

Entah sebuah keajaiban apa lagi yang akan menghampirinya kali ini. Yang jelas keberadaannya sekarang sangatlah berbahaya. Dimana ia harus dijadikan sebagai tumbal dari generasi keluarganya. Walaupun bukan dia yang seharusnya menjadi tumbal, namun pada kenyataannya saat ini dialah yang akan menjadi korbannya.

Sunyi. Hanya kata itu yang dapat mendominasi tempat ini. Sesekali hanya terdengar suara gesekan dari dedaunan pohon yang tertiupkan angin. Di tambah suara lelah dan takut dari ke-lima orang ini sehingga membuat suasana hutan yang dingin, gelap dan berkabut itu terasa ramai hanya dengan suara deru nafas mereka.

"Yah! Apa tempatnya masih jauh?"

"Sudah dekat Key, bersabarlah sedikit."

"Ck, tapi kenapa kita harus berjalan kaki sih? Kitakan membawa mobil."

"Kita tidak boleh mengganggu ketenangan hutan ini Keyla. Atau kita akan memancing keluar banyak makhluk di sini. Sudahlah... bersabarlah sebentar."

Seketika hembusan angin dingin menghantam ke-lima orang itu, membuat mereka spontan menghentikan langkah mereka.

"Tadi itu apa?" Tanya Lisa, perempuan itu sudah terlihat sangat ketakutan dengan Keyla yang terus menggenggam erat tangannya. Bukan karena apa, tapi karena mereka sudah bisa merasakan aura menyeramkan tengah mendekati mereka sekarang.

"Sebaiknya kita cepat Hans. Aku takut akan terjadi sesuatu pada kita." Ujar Roberth.

Kepekaannya terhadap sesuatu memang bisa diandalkan. Mungkin itu juga alasan terbesar mengapa dia sangat dipercaya oleh Hans. Bahkan Hans pun sering tidak mampu membatah segala perintah laki-laki berjanggut itu.

Hans menganggukki saran Roberth. Mereka pun kembali melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

"Kalian tunggu di sini, ayah akan meletakkan Hanna di sana. Jangan sampai berpisah, mengerti?"

Intruksi Hans diangguki cepat oleh mereka. Kini mereka tetap berdiri berdempetan saling melindungi satu sama lainnya tanpa bergerak sedikitpun dari tepat dimana Hans minta tadi.

"Hati-hati Hans.." Ujar Sonya istrinya, ia menatap gelap suaminya yang kini sudah berjalan menuju sebuah batu besar seukuran ranjang yang berbentuk lonjong runcing dan meletakkan tubuh Hanna di atasnya.

Hans menghela nafas dalam. Mengumpulkan semua keberaniannya dan membuang seluruh ketakutan di hatinya. Kedua manik mata cokelatnya menatap pasti sang rembulan sebelum kemudian ia berteriak.

"Wahai pangeran kegelapan! Aku sudah membawa persembahan untukmu! Tolong terimalah persembahan kami!"

Suara Hans begitu menggema dikala hutan yang sepi senyap. Bahkan disaat itu suara angin berhembuspun tidak lagi terdengar.

Beberapa detik setelahnya belum juga terjadi apapun, Hans masih berdiri di depan batu besar dimana Hanna si gadis malang itu berbaring. Ia menatap Hanna yang masih tidak sadarkan diri dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Hanna, kau tenang saja. Karena kau sudah menyelamatkan keluargaku dari bahaya, maka jika kau sudah mati nanti.. aku pasti akan selalu berdoa untukmu. Beristirahatlah dengan tenang karena mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita."

Hans kembali menghela nafasnya. Entah mengapa hatinya kini terasa berat meninggalkan gadis itu di sana.

"Seandainya kau menurutiku saat itu. Mungkin kau sudah aman sekarang Hanna. Tapi sayangnya.. kau terlalu naif. Bahkan kau menolakku mentah-mentah."

Rahang Hans mengetat. Emosinya mulai naik sesaat mengingat bagimana Hanna menolak dirinya saat itu. Mungkin statusnya adalah ayahnya, tapi dibalik itu semua. Hans memiliki rasa pada Hanna, itu memang terdengar gila. Namun kecantikan Hanna yang begitu natural apalagi dengan kulitnya yang seputih salju itu, bisa membuat siapapun pria akan jatuh hati padanya. Dan hal itulah yang terjadi pada Hans. Dia menyukai anak angkatnya yang sudah ia besarkan secara kejam.

Senyuman di bibir Hans mulai terangkat. Bersamaan dengan posisi tubuh yang sedikit ia bungkukkan untuk lebih dekat dengan wajah cantik Hanna.

"Tak apa jika kau menolakku sayang, lagi pula.. semua itu akan terbayarkan malam ini. Karena sebentar lagi, kamu akan segera mati." Tawa hambar Hans terurai di sana. Tatapannya yang licik, kini terlihkan dari wajah Hanna dan turun ke leher putih mulusnya.

Kedua mata Hans seolah berbinar melihat pemandangan polos itu. Tak berhenti sampai sana, pria yang berstatus ayah tirinya itu kini menatap dada serta kaki Hanna bergantian.

Bahkan tanpa ia sadari, satu tangan kanannya sudah terangkat dan hendak akan mendarat di wajah mulus gadis itu.

Namun, belum sampai tangannya menyentuh permukaan kulit Hanna. Tubuh Hans yang awalnya masih menyimpan kehangatan. Seolah hilang padam dalam tubuhnya.

Tetapi hal yang membuat tubuh Hans kini terasa membeku bukan karena hembusan angin dingin yang tiba-tiba saja menghantam wajahnya.

Melainkan karena ia mendengar suara geraman sesuatu yang menakutkan di sana. Lebih tepatnya di depan tempat ia berdiri saat ini.

Tangan Hans yang masih mengangkang di samping wajah Hanna seolah lumpuh dan mati rasa. Bahkan ia tidak bisa menggerakkannya lagi.

Apa yang terjadi dengan tubuhku? Batin Hans panik.

Suara geraman yang ia dengar tadi semakin lama semakin jelas, bahkan kali ini suara geraman itu seperti berada di samping telinganya. Membuat seluruh bulu kuduk Hans seketika berdiri.

Hans tidak sedikit pun berani menoleh atau pun mengangkat kepalanya, ia hanya menatap kebawah kakinya dengan tangan kiri yang mulai gemetar ketakutan. Keringat panas dan dingin sudah bercucuran sejak tadi. Tenggorokkannya pun tiba-tiba terasa mengering tanpa sebab, hingga menyulitkannya untuk menelan seteguk ludahnya yang mulai mendingin.

"Pa-pangeran ..."

Dengan susah payah Hans mengeluarkan suaranya. Ia benar-benar ketakutan sekarang.

"Pa-pangeran.. ha-hamba mohon maaf, hamba.. akan segera pergi dari sini."

Geraman menakutkan itu semakin menjadi. Membuat sekujur tubuh Hans lemas sepenuhnya. Hans harus segera pergi dari sana. Walaupun tubuhnya lemas, namun ia mulai memberanikan dirinya untuk melangkah mundur tanpa harus menatap ke depan. Ia hanya memerhatikan langkah kakinya sendiri hingga ia pun berhasil membalikkan tubuhnya dan menatap lega ke arah keluargnya yang justru terlihat semakin ketakutan.

Hans pun mulai mengurai senyumannya, memberi kode bahwa semuanya baik-baik saja. Namun sepertinya hal itu tidak berefek sama sekali.

Dilihat dari raut wajah mereka, terukir jelas ketakutan yang luar biasa. Hans pun mampu merasakan ketakutan mereka saat ini, maka dari itu ia segera memutuskan untuk membawa mereka pergi.

Baru saja Hans pria itu akan melangkah mendekati keluarganya. Lagi-lagi hal mengejutkan kembali membuatnya shock saat Keyla anaknya tiba-tiba menjerit kencang dan....

"AYAH AWAS!"

BUG!

"AYAH!"

"HANS!!"

Bagaikan kilatan cahaya petir yang menyambar langit. Sebuah pukulan keras menghantam tubuh Hans yang membuatnya terpentalkan jauh menghantam pepohonan.

"AYAH!"

Hans meringis kesakitan dengan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Tubuhnya terasa remuk dan mati rasa. Sebuah hantaman yang menerjang tubuhnya barusan bagaikan ditubruk seekor gajah liar yang penuh dengan amarah.

Entah apa yang baru saja memukulnya, namun Hans sama sekali tidak bisa melihatnya dengan jelas. Yang ia lihat hanyalah sebuah kilatan cahaya putih dan setelah itu ia merasakan bahwa tubuhnya melayang dan menghantam pohon jauh di depannya.

"Ayah! Ayah tidak papa kan? Apakau terluka?"

Keyla, Lisa, Sonya dan juga Robeth segera menghampiri Hans yang sudah tergeletak lemah. Mulutnya sudah meluarkan darah yang amat banyak membuatnya terbatuk-batuk karena itu.

"Hans, sebenarnya apa yang telah kau lakukan tadi? Kenapa pangeran bisa marah?" Ujar Robeth sarkastik, pria itu terlihat begitu shock sekaligus khawatir begitu melihat Hans yang terlempar secara ghaib ke udara.

Sedangkan Hans sendiri ia tidak menjawabnya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk bangkit. Namun nihil, tubuhnya terasa telah remuk.

"Argh sial!" Umpat Hans. Ia menggerutuki dirinya sendiri.

"Hans! Katakan apa yang telah kau lakukan!?" Emosi Robeth mulai meludak. Dikala Hans yang sama sekali tidak mempedulikannya.

"Aku tidak melakukan apapun!" Serkah Hans. Pria itu kini sudah mulai bangkit dengan bantuan anak dan istrinya. Namun ia belum berani menatap ke arah depan, alhasil dia hanya menatap ke arah tanah yang sudah dipenuhi oleh muntahan darah segarnya.

"Tidak mungkin! Pangeran tidak akan marah jika kau tidak melakukan hal yang membuatnya kesal." Robeth sedikit mendorong tubuh Hans, agar tubuh laki-laki itu tegak dan menatapnya. "Katakan Hans, apa yang sebenarnya terjadi?"

Hans masih terdiam. Ingatannya seolah melayang ke kejadian sebelum ia terhantam dan terpentalkan. Sebenarnya tidak ada hal yang aneh, sampai ingatannya stuck di adegan dimana ia tadi akan berusaha menyentuh Hanna.

"Hans-"

"Aku tidak bermaksud apapun, aku hanya ingin menyentuhnya untuk yang terakhir kali." Terang Hans. Dan hal itu tentunya bukan hanya membuat Robeth terkejut, tetapi membuat emosinya naik satu oktav.

"Apa!? Apa kau gila!? Kau berusaha menyentuh Hanna!?"

"Itu tidak seperti yang kau pikirkan! Semuanya terjadi secara reflex, aku.. aku sama sekali tidak-"

"Diam Hans! Kau benar-benar sudah diluar kendali. Asal kau tahu, jika seorang tumbal telah di letakkan di atas batu persembahan. Maka tidak boleh ada yang menyentuhnya lagi terkecuali oleh pangeran seorang. Kau benar-benar mencari mati Hans."

Hans mulai terlihat frustasi, ia sadar apa yang telah ia lakukan tadi adalah kesalahan fatal. Ketakutannya semakin menjadi saat Keyla semakin mengeratkan tangannya di pergelangan tangannya. Ia tahu keluarganya sangat ketakutan sekarang. Ini benar-benar sudah keluar dari rencana yang ia rancang rapih sebelumnya. Kini semuanya buyar bahkan ancamannya bukan hanya dirinya tetapi seluruh keluarganya.

"Kita harus segera pergi. Aku takut pangeran akan semakin murka padaku." Ujar Hans. Ia kemudian menarik kedua anak dan istrinya untuk pergi.

Robeth yang masih tidak tahu harus berbuat apa pun akhirnya mengikuti langkah Hans. Mereka melangkah cepat keluar dari kawasan hutan terlarang.

Tetapi meskipun begitu, bukan berarti semuanya berakhir begitu saja.

Karena orang-orang yang sejak tadi berdiri menatap mereka tentunya tidak akan membiarkan mereka lolos dengan mudah.

"Mereka telah pergi. Apa perlu hamba mengejarnya?"

Pria dengan jubah serba hitam yang membawa tongkat itu pun menatap sang pemimpin mereka. Sesaat justru laki-laki yang kini ia hormati itu justru manatap tajam ke arah dimana Hans dan keluarganya melangkah pergi.

"Tidak perlu. Kita punya banyak waktu untuk mengurusi manusia tidak berguna itu. Yang terpenting saat ini bukanlah mereka.."

Mata nyalang kuning mengkilap dari bawah sinar bulan purnama itu membuat matanya yang tajam semakin terlihat menyeramkan. Rahang kokoh kuat yang mengetat akan membuat siapapun yang melihatnya langsung gemetar dan tertunduk takut memandangnya.

Pria bertubuh tinggi dengan jubah serba hitam itu menundukkan kepalanya dan menatap gadis cantik yang saat ini berbaring di hadapannya.

Harum vanilla yang terus menyeruak memasukki penciuman tajamnya tidak pernah luput sejak ia menginjakkan kakinya di hutan. Wangi tubuh yang sudah lama ia nanti selama beratus-ratusan tahun, akhirnya ia mampu menciumnya dengan begitu jelas. Bisa dibilang wangi inilah yang selama ini sangat ia inginkan sepanjang hidupnya. Wangi yang tidak hanya mampu membuat seluruh jiwanya kini bergetar, melainkan hati serta jantungnya berpacu semakin kuat.

Sekali lagi ia menghirup udara sekuatnya, merasakan setiap aroma yang menelusup ke dalam indra penciumannya. Walaupun baru pertama kali, namun aroma tubuh gadis itu sudah menjadi candunya sekarang.

Perasaan menggejolak dari dalam hatinya sudah tidak mampu ia tahan kala kedua mata tajam kuning keemasannya masih menatap gadis yang kini berbaring tenang di alamnya.

Sungguh. Melihatnya seperti itu saja sudah membuat apa yang ada di dalam tubuhnya ingin segera melompat keluar dan langsung menerkamnya. Apalagi jika gadis yang kini ia sentuh rambutnya itu terbangun. Sudah dipastikan ia akan lepas kendali dan benar-benar akan melahap buas gadis yang saat ini dan detik ini juga sudah ia cap sebagai miliknya.

Tangan dingin dan kekarnya meremas lembut rambut gadis itu. Sekali dan untuk kesekian kalinya lagi ia menghirup kuat aroma itu dari rambutnya. Tubuhnya sedikit demi sedikit ia luruhkan hingga jarak di antara dirinya dan gadisnya tertepis semakin tipis. Sampai kemudian ia pun mendekatkan wajahnya.

Dari sanalah ia mampu merasakan hembusan hangat nafas gadisnya yang menerpa wajah tampannya. Membuat seketika garis bibir yang awalnya tercetak datar, kini mulai terangkat perlahan.

"Akhirnya...."

"Aku menemukanmu Luna."