Masih dengan tepat yang sama dan orang yang sama, gue serasa disidang sama bunda. Baik, Tante Rika dan bunda kalau mengajak orang bicara terlalu mengintimidasi. Beberapa kali gue mengelap keringat yang meluncur bebas. Entah kenapa gue ingin pulang saja daripada lama-lama di sini bisa jadi patung.
"Bantuin aku dong, Tan, buat nyakinin bunda. Aku beneran bisa kerja dengan baik kok, Tan." pintaku.
Gue tahu sikap bunda seperti apa, memang beliau sekarang terlihat setuju gue kerja tetapi dalam hati kecilnya masih ragu gue kerja. Mungkin beliau juga enggak mau jika kuliah gue terganggu karena kerjaan yang menumpuk.
"Tante sendiri juga enggak yakin kamu bisa kuliah sambil kerja." Tante Rika memegang pundakku. "sudahlah, lebih baik sekarang kamu fokus kuliah daripada kerja pulang sore begini?"
Haduh! Ternyata sama saja, sepertinya gue salah pilih orang buat bujuk bunda. Iya sudahlah kalau memang enggak ada yang mendukung setidaknya ada ayah dan Andra yang sedikit yakin gue bisa kuliah sambil kerja.
"Ih, Tante, mah gitu bukannya dukung aku loh." gue bersedekap lalu pura-pura kesal.
Tante Rika bukannya panik, justru pergi meninggalkan gue sendirian di sini.
Nasib gue begini banget sih di rumah sering ditinggal ayah dan bunda, giliran gue di sini dicuekin tante Rika. Lebih gue main ke rumahnya Gita saja tetapi gue pun sungkan sama mamahnya Gita, selain itu gue belum siap jika harus bertemu dengan mantan terindah.
"Loh, Tante, ngapain bawa album foto segala?" kedua keningku bertaut.
Tante Rika melempar senyum. "enggak tahu kenapa ya, Lay, Tante, tuh tiba-tiba kangen banget sama kak Andra waktu kecil."
Harta karun besar nih, gue harus mengabadikan moment langka ini. Siapa tahu ada salah satu foto Andra yang bisa gue gunakan untuk mengancam dia jika dia macam-macam sama gue.
Sekarang ini kan nilai gue tergantung Andra, gue curiga nih pasti waktu pembagian kelas dia sengaja memilih mengajar di kelas gue biar dia bisa memantau gue. Dan, gue enggak perlu takut lagi karena gue punya sedikit barang buat mengancam dia.
"Di sini kak Andra kelihatan lucu banget sih, Tan?" gue menunjuk foto seorang laki-laki kecil dengan rambut klimis, jangan lupakan deretan gigi yang sangat rapi.
Dulu sampai sekarang Andra memang orang yang rutin menjaga tubuhnya sendiri. Makanya gue enggak heran Andra jarang sekali sakit, kalaupun sakit cuma flu dan batuk. Selebihnya Andra sakitnya jahil suka ngusilin gue.
"Bener banget, Lay. Dulu tuh kak Andra lahir berat badannya cuma 2kg saja, Tante, saja dulu sempat khawatir kalau dia enggak bisa seperti anak kecil pada umumnya." Tante Rika memandangi foto Andra sedih.
"Sekarang kan kak Andra sudah besar, Tan. Ganteng, pintar juga loh, Tan." Ucapku jujur. Gue enggak menampik kalau Andra memang seperti itu.
"Iya sih, Lay, tapi ya itu Tante tuh khawatir sama kak Andra, Lay."
"Khawatir kenapa, Tan?" tanyaku memandangi wajah Tante Rika yang sayu.
"Takut kalau kak Andra terus-terusan mainin perempuan, Lay. Kamu tahu sendiri kan dulu dia punya masa lalu yang lumayan tidak menyenangkan."
"Iya juga sih, Tan." gue mengiyakan kejadian yang membuat, Andra, benar-benar trauma dengan perempuan. Jangankan untuk bertemu, bicara lewat telepon saja, Andra, sangat ketakutan.
***
Lima belas tahun yang lalu ....
Pesta pernikahan yang digelar oleh tetangga sebelah cukup meriah karena mengusung tema kebun-kebun. Para orang tua sedang sibuk membantu yang punya hajat, gue cuma bisa berlari ke sana kemari.
Sepertinya gue butuh seorang teman yang bisa gue jadikan bahan usilan. Dan, orang yang tepat adalah kak Andra, tetangga tercintaku.
Biasanya kak Andra suka banget dengan kemeriahan tetapi kenapa sekarang gue enggak melihat dia. Mau tanya sama tante Rika, gue pun sungkan karena beliau sepertinya sibuk banget. Lebih baik gue cari sendiri saja deh.
"Kak Dra di mana sih? Aku mau main nih sama Kakak." teriakku belum menemukan adanya tanda-tanda keberadaan kak Andra.
Apa sebaiknya gue cari kak Andra di rumahnya saja ya? Tetapi kalau nanti rumahnya dikunci gimana dong? Ah bodo amat deh, yang penting gue cari tahu saja dulu.
Di rumahnya tante Rika terkunci, berarti kak Andra enggak ada di dalam sana. Enggak mungkin banget kalau dia di dalam seorang diri karena gue tahu dia sedikit takut sama hantu.
Ke mana lagi gue harus cari tahu kak Andra, kepala gue sampai pusing karena terik matahari yang sangat panas. Andai saja bunda mengizinkan gue punya ponsel, sudah dari tadi gue telepon dia biar langsung ketemu.
Tunggu sebentar! Gue sepertinya mendengar ada orang yang minta tolong, tetapi gue enggak samar dengan suara itu. Sebelum gue bantuin orang itu, gue mengambil sebatang kayu yang cukup besar biar untuk senjata melawan penjahat.
"Tolong ... tolong!" suaranya semakin jelas. Gue yakin banget itu suaranya dia.
Kedua mataku terbelalak. Apa yang gue lihat ini benar? Kalau iya, gue harus bertindak seperti apa? Mana di tempat ini sangat sepi sekali, gue enggak mungkin melawan hanya seorang diri.
Tanpa pikir panjang gue melangkahkan kaki untuk berlari secepat kilat. Gue harus segera minta tolong sama orang dewasa.
Keringat mengalir dengan derasnya. Gue senang bisa ketemu beliau.
"T-tante, tolongin kak Andra." Ucapku sambil mengatur napas.
"Tolongin apa, Lay? Kamu tahu kan, Tante, sedang sibuk bantuin pak Mulyadi." Tante Rika masih menghiraukan gue.
Gue menarik ujung kebaya Tante Rika. "k-kak Andra mau dilecehkan sama seseorang, Tan."
Tante Rika yang sedang mengaduk sop ayam langsung berhenti lalu menatapku lekat.
"I-ini serius, Lay? Kamu enggak lagi bohong sama Tante kan?" tanya Tante Rika tak percaya.
"Aku serius, Tan. Ayok, Tan, kita tolongin kak Andra?" gue menangis sejadi-jadinya. Enggak bisa gue bayangkan kak Andra yang gue kenal dengan orang yang ngeselin, tiba-tiba saja hari ini diperlakukan tak senonong oleh orang dewasa.
Tanpa pikir panjang, Tante Rika, meninggalkan tempat lalu memamnggil suaminya dan menceritakan semuanya. Tak hanya orang tua kak Andra saja, ada ayah dan bunda ikutan membantu kak Andra.
Tolong bertahan ya kak Andra, kami di sini akan menyelematkan kamu.
Sepuluh menit saja melawan penjahat yang ternyata seorang perempuan seumuran bundaku. Katanya beliau tega melakukan itu sama anak kecil karena sudah lama ditinggal suaminya merantau. Dan setan merayunya untuk memuaskan napsu dengan seorang anak kecil yang baru saja baligh.
Tante Rika menangis sesenggukkan. Kak Andra memang masih memakai baju lengkap karena kami datang tepat waktu sebelum perempuan itu membuka baju atasan kak Andra.
Kak Andra hanya bisa diam seribu bahasa, gue spontan memeluknya dan dia pun enggak merespon apa-apa. Biasanya dia kalau gue peluk begini suka risih, dan enggak nyaman.
"Kakak biasanya marah kalau aku peluk? Kenapa sekarang enggak marah?" tanyaku polos.
"Lay, jangan ganggu Kakak dulu ya? Biarkan, Kakak, tenang dulu." Bunda mencoba memisahkan gue dengan Kak Andra.
Gue menepis tangan Bunda. "enggak mau Bunda?! Kakak sedang butuh pertolongan, Lay! Mana mungkin, Lay, biarkan Kakak begini." bentakku.
"Sudah enggak apa-apa kok, Mbak. Barangkali, Andra, butuh Lay." Tante Rika melihat Kak Andra secara prihatin.
Gue masih nyaman memeluk Kak Andra yang tubuhnya semakin dingin. Apa yang terjadi dengan dia sampai bisa pucat begini?
"Tante, tubuh Kakak dingin banget?" gue lalu melepas pelukan.
Disaat yang bersamaan Kak Andra jatuh pingsan. Gue pun histeris melihat dia tak sadarkan diri.
***
Semalam suntuk gue enggak bisa tidur dengan nyenyak, masih kepikiran kondisi kak Andra yang seperti apa. Beberapa kali gue merengek untuk main ke rumahnya kak Andra tetapi enggak dibolehkan oleh bunda, padahal ayah sudah mengizinkan gue ke sana.
"Bunda, ayok kita ke rumahnya tante Rika?" pintaku menatapnya sendu.
"Sudah diizinkan saja, Bun. Kasihan sama Lay pasti kepikiran soal Andra." bela Ayah sudah rapi mengenakan pakaian kerja.
"Aku tuh dilema, Yah. kondisi, Andra, sedang tidak baik-baik saja, takutnya Lay, juga ikutan trauma melihat, Andra, yang seperti itu."
Ouh jadi itu alasan bunda enggak mengizinkan gue keluar dan menemui kak Andra. Sepertinya gue harus berpikir keras biar diizinkan menemui kak Andra.
"Ayolah, Bun! Aku janji enggak akan nakal kok." gue mulai menangis karena frustasi enggak diizinkan Bunda.
Bunda mengusap rambut panjangku. "baiklah, Bunda, akan mengizinkan kamu tapi ingat jangan buat kak Andra semakin depresi. Saat ini dia butuh waktu untuk menyendiri kalau kamu mau bantuin kakak harus didampingi sama tante Rika, kamu mengerti kan, Lay?" jelasnya.
Sebenarnya ucapan Bunda ada yang enggak gue pahami tetapi harus gue iyakan karena kak Andra memang butuh gue ada di sampingnya. Enggak bisa nih gue hanya berdiam diri, sementara kak Andra di sana terus-terusan diam seperti patung.
"Baiklah, Bun. Lay janji enggak akan nakal kok, Bun?" gue tersenyum manis.
"Iya sudah kamu boleh pergi. Dan ingat pesan Bunda?"
"Siap Bunda. Lay enggak akan nakal deh, Bun."
Benar saja, baru gue mengizinkan kedua kaki di rumahnya tante Rika, beliau sudah menangis sejadi-jadinya. Gue yang khawatir lalu menghampiri beliau yang tengah bersedih.
"Tante, gimana kondisinya kak Andra?" tanyaku takut sambil mengusap air mata Tante Rika yang berjatuhan.
"Kakak kamu enggak baik-baik saja." Tante Rika mengenggam tangan kecilku. "tolong ajak bicara kak Andra ya, Lay?"
Gue mengangguk. "sekarang, kak Andra duduk di mana, Tan?"
"Kakak sedang duduk di tepi kolam renang, Lay."
Kolam renang selalu menjadi tempat favorit kak Andra, katanya air yang tenang bisa membuat pikiran kita menjadi tentram.
"Kakak ..." teriakku lalu memelukknya tetapi bukan balasan pelukan justru dia meronta saat gue peluk.
"Pergi! Saya enggak mau melihat kamu menyentuh tubuh saya walau itu seujung kuku." bentaknya.
"Kakak sadar dong!" gue menggoncangkan tubuhnya. "ini aku adiknya Kakak, Lay. Bukan perempuan jahat itu, Kak?"