11 Episode 11

Hari ini gue sangat happy banget, bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus. Dan, gue harus bisa mempertahankan prestasi ini hanya demi mendapatkan novel gratis dari si botak, Andra. Selain itu gue juga mau membuktikkan sama orang-orang bahwa anak manja ini mampu hidup mandiri di dunia yang sangat ketat dengan persaingan.

"Assalamualaikum ukhty. Capek ya seharian bekerja sambil kuliah?" godanya. Syukurlah gue enggak punya banyak tenaga, kalau iya gue sudah nyibirin kelakuan dia yang membuatku sedikit emosi.

"Waalaikumsalam, Pak. Alhamdulillah, gue berhasil kerja sambil kuliah, keren enggak Pak?" tanyaku sombong.

"Baru satu hari, saya kan belum tahu kamu bisa menyelesaikan tantangan dari saya atau enggak? Jangan sombong dulu, sebab kita enggak tahu kamu tiba-tiba minta resign karena enggak sanggup dengan tekanan kerja." ledeknya.

"Insya Allah enggak dong, Pak. Bapak tuh harusnya doain yang baik-baik biar saya bisa dapat novel gratis." Ucapku cemberut.

"Tentu dong saya doakan kamu terus. Ya sudah sana masuk rumah gih, dari tadi tante Ika nyariin kamu terus." dia melambaikan tangan seolah memang mengusirku.

"Iya, iya, Pak."

Gue menghentakkan kaki dengan keras, kesal juga sama Andra yang meledekku terus-menerus. Kalau begini caranya gue jadi enggak mau menyerah begitu saja, gue bisa kok kerja sambil kuliah. Asal gue bisa pinta bagi waktu dan enggak membuang waktu dengan sia-sia.

Baru juga mau masuk ke dalam rumah ternyata di dalam masih dikunci. Kebiasaan bunda enggak hilang kalau ayah enggak ada di rumah selalu ikut. Apa enggak ingat umur si bunda? Untunglah, ayah orang yang sabar, mau-mau saja bawa bunda ikut kerja.

"Loh kok balik lagi?" tanya Andra sambil melempar botol minuman tepat masuk ke dalam tong sampah. Kalau sampai melesat gue akan marahi dia karena sudah mengkotori halaman rumah.

"Biasa, Pak! Rumahnya masih dikunci." gue langsung masuk ke dalam rumah tante Lusi, mamahnya Andra.

Kebiasaan seperti ini sudah enggak heran bagi gue atau keluarga tante Rika sebab dari kecil gue pun sering dititipkan sama mereka kalau orang tua gue sedang pergi keluar kota.

"Tante, lagi masak apa?" tanyaku bergelayut manja di bahu Tante Rika.

"Hari ini, Tante, cuma masak sop ayam saja, Lay. Di rumah enggak ada orang ya?" tanya Tante Rika sudah bisa menebak kebiasaan orang tua gue.

Gue menghela napas. "biasalah, Tan. Kayak enggak tahu bunda bucinya sama ayah tuh gimana?"

Suara shower mengingatkan kalau sore ini gue belum terkena air sama sekali. Gimana mau mandi kalau enggak ada pakaian ganti, masa iya gue makai pakaian yang sama. Bau banget dong.

"Kamu sudah mandi apa belum?" tanya Tante Rika basa basi.

"Tentu belum dong, Tan. Aku kan baru pulang dari kuliah."

Di sini gerah banget sih? Apa karena gue belum mandi makanya jadi panas begini. Rasanya gue ingin segera mandi tetapi gue enggak bawa baju ganti.

"Bau banget sih, Mah? Mamah masaknya gosong ya?" ledek Andra sambil melirikku sekilas.

Sontak saja gue punya ide yang cemerlang. Bantal sofa yang dari tadi gue genggam langsung terlempar dan terkena wajah menyebalkan milik Andra.

"Sakit tahu, Lay." keluh Andra.

"Makanya jadi orang tuh jangan jahil, Kak." sahut Tante Rika.

"Bukan, saya yang jahil kok, Mah. Dianya saja yang sensian." sanggah Andra.

"Lay, mandi dulu ya? Tante akan pinjamkan bajunya Kak Andra." Tante Rika berjalan santai lalu meninggalkan gue dan Andra seorang diri.

"Tanggung jawab! Masa iya baju saya bau parfum kamu?" tegur Andra. Gue sengaja enggak jawab karena sudah lelah seharian mengais rezeki dan belajar diwaktu yang bersamaan.

Daripada gue meladeni ucapan Andra yang selalu berhasil membuat darah tinggi, gue putuskan untuk segera masuk ke kamar mandi lantai satu karena tante Rika juga sudah menyiapkan baju ganti untuk gue. Ya walau gue harus pakai bajunya Andra.

Memang ya orang kalau habis mandi wajahnya terlihat fresh, seperti gue yang tadinya memasang wajah lesu, sekarang ceria karena habis mandi. Rumah, Tante Rika, sepi banget, gue jadi heran ke mana perginya orang rumah.

"Tante lagi di mana?" teriakku.

Horor banget kalau di rumah orang sendirian selain gue takut dikira maling juga sedikit takut jika tiba-tiba ada seseorang yang tak kasat mata. Bulu kudukku langsung berdiri, gue sebaiknya telepon tante Rika untuk segera keluar.

"Eh maaf ya Lay, tadi Tante nyiapin sajadah dan sarung untuk Andra." Tante Rika sudah mengenakan mukena dengan wajah yang basah karena sisa air wudlu.

"Ouh iya enggak apa-apa kok, Tan. Tadi, aku kira enggak ada orang di rumah makanya aku teriak. Maaf ya, Tan?" Ucapku sesal.

"Santai saja, Lay. Iya sudah, Tante, mau salat dulu ya? Kamu masih halangan kan?" tanya Tante Rika pasti tahu dari bunda yang selalu kasih info sekecil apapun tentang gue sama beliau.

"Masih, Tan. Aku tunggu di sini saja enggak apa-apa kan?" izinku. Barangkali gue enggak boleh duduk di sini, dan gue bisa duduk tempat yang diperbolehkan oleh pemilik rumah. Biar gimanapun juga gue di sini kan cuma tamu, harus menjaga sopan santun.

"Tentu saja boleh dong, Lay. Anggap saja seperti di rumah sendiri."

Berhubung gue enggak salat, sepertinya gue menunggu di kolam ikan bukan pilihan yang buruk selain gue butuh meluruskan kedua kaki yang seharian ini lelah karena banyak jalan ke sana kemari, gue juga butuh membuat pikiran agar semakin tambah fresh.

***

"Gimana hari pertama kamu kerja? Susah atau mudah, Lay?" tanya Tante Rika sudah berganti pakaian dengan baju rumahan.

"Capek banget, Tan. Seluruh badan rasanya mau remuk, Tan." tangan kanan gue lipat lalu menunjuk ke belakang tepatnya di punggung.

Apalagi yang harus gue jawab kalau bukan capek, malah gue mengira ini sangat capek banget. Biasanya di rumah gue enggak pernah kerja keras, bahkan mengangkat galon dikerjakan sama ayah.

Sedang tugas gue kalau di rumah hanya mengawasi robot sapu membersihkan seluruh ruangan. Takutnya kalau enggak diawasi robotnya bisa nyasar ke mana-mana.

Pernah waktu itu gue lupa mengawasi karena ada seminar online, eh robot sapunya sudah masuk kolong meja makan. Untungnya masih bisa gue ambil sendiri, kalau enggak terpaksa gue panggil ayah. Karena sensornya suka mati secara tiba-tiba.

"Iya sudah kamu enggak usah lanjut kerja. Ayah kamu kan masih kuat biayain kuliah?" pinta Tante Rika.

Gue menggeleng. "enggak deh, Tan. Namanya juga baru pertama kerja pastinya kan capek, Tan. Mungkin kalau sudah seminggu enggak terasa capek lagi, Tan."

"Kenapa sih kamu tiba-tiba memutuskan untuk kerja?" tanya Tante Rika penuh selidik.

"Enggak kenapa-napa sih, Tan. Kebetulan aku diajak Gita ke butik lalu di sana buka lowongan kerja, iya sudah deh aku ngelamar di sana, Tan." jelasku.

Curiga nih pasti bunda yang minta Tante Rika buat bujukin gue biar enggak kerja lagi. Gimana gue mau mandiri kalau baru kerja sehari saja sudah diminta buat resign. Sekali-kali kan gue pingin banget dilihat sebagai orang dewasa yang bertanggung.

Penilaian kebanyakan orang, kita baru bisa dianggap dewasa kalau sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Dan, gue pun ingin terlihat seperti itu, apalagi kalau gue mengingat tantangan yang sangat menggiurkan. Apapun akan gue lakukan demi dapat satu novel gratis.

"Kenapa kamu enggak minta kerjaan sama kak Andra saja?" bujuk Tante Rika.

"Kerjaan apa, Tan? Nanti yang ada aku dapat lowongan kerja yang kasar-kasar lagi, Tan." gue bergidik ngeri.

Gue dan Andra bagaikan kucing tikus yang tak pernah bersatu, kalaupun akur pasti karena ada sesuatu. Dan, soal pekerjaan minta sama Andra bukan pilihan yang bagus, bisa jadi Andra memberitahuku lowongan kerja yang katanya enak eh ternyata pekerjaannya sangat beban bagi gue.

"Kamu kan bisa jadi asistennya Andra di kampus?" saran Tante Rika.

"Enggak deh, Tan. Lebih baik aku cari kerjaan yang lain saja, Tan." tolakku.

Tante Rika enggak tahu saja kalau Andra secara terang-terangan meminta gue merahasiakan hubungan kami. Maksudnya, Andra, sudah mewanti gue agar semua orang kampus jangan sampai ada yang tahu kalau gue dan Andra adalah tetanggaan.

"Loh kenapa enggak mau, Lay? Nanti, Tante, akan minta deh sama Andra buat enggak nyuruh kamu secara berlebihan. Pekerjaan yang ringan saja, gimana?" bujuk Tante Rika.

avataravatar
Next chapter