Trias akhirnya sadar siapa sosok perempuan yang akan dikenalkan anak bungsunya sebagai calon istri. “Aileen?” Ia lantas memeluk singkat dan menarik lengan Aileen, meminta Aileen duduk di sampingnya.
Aileen mengangguk sungkan. Sebenarnya ia merasa agak tidak enak karena berpenampilan terlalu seksi di hadapan orang tua, siapa pun itu, tidak terkecuali orang tua Gama. Namun ini upaya terakhirnya untuk menghentikan pernikahannya dengan Gama.
“Kok bisa sih?”
Gama mendesah lega. Sepertinya sang ibu lebih kaget dengan sosok Aileen yang ia kenalkan sebagai calon istri, dibanding kaget karena pakaian Aileen yang malam itu agak terbuka.
“Kamu kan selama ini males banget ngeliat Gama, Leen.”
“Bu!” Gama ingin protes dengan kata-kata sang ibu, tetapi memang begitu nyatanya. Aileen melihatnya seperti melihat musuh bebuyutan padahal tak pernah sekali pun ia menganggap Aileen sebagai musuh.
“Kamu beneran mau sama Gama? Dia kan—” Trias sampai kehilangan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana sifat anaknya yang mungkin bertolak belakang dengan sifat Aileen yang selama ini ia tahu.
Tanpa menjawab pertanyaan wanita paruh baya yang Aileen perkirakan seumuran dengan mamanya itu, Aileen hanya melemparkan senyum tipis. ‘Ayo dong, Tante! Lihat bajuku kek, komen apa gitu kek, cela penampilanku kek.' Aileen berusaha menarik roknya yang sedikit tersingkap, berharap wanita itu akhirnya mengalihkan perhatian kepada pakaiannya. Namun usahanya tampak sia-sia karena ibu Gama malah melepas syal yang dikenakannya dan meletakkan syal tersebut di atas pahanya.
“Tante—” Aileen kehilangan kata. Ia menunduk menatap syal yang ada di pangkuannya.
“Dingin kan. AC-nya agak kenceng, mungkin karena lagi banyak pengunjung restoran.”
“Pesen makan dulu, Bu. Kamu mau makan apa, Leen?”
Kedua wanita yang berada di hadapan Gama langsung membuka buku menu yang baru saja diangsurkan seorang pramusaji.
“Tenderloin steak, medium well, pake mushroom sauce.” Trias menyebutkan pesanannya lebih dulu sebelum kembali memperhatikan anaknya dan calon istri yang dibawa anaknya. Mana pernah ia membayangkan kalau Gama akan membawa anak tetangga sebagai calon istri.
“Shrimp cobb salad ya.” Aileen menyebutkan pesanannya.
Setelah itu, tidak ada lagi yang bicara, termasuk Gama. Karenanya, Aileen mendongak dan menatap Gama karena heran dengan Gama yang hanya menatapnya.
“Gama! Kamu pesen apa?” Trias kesal dengan anaknya yang sifatnya tak pernah berubah.
“Eh? Terserah—” Gama buru-buru meralat ucapannya. Biasanya memang ia meminta ibunya untuk memilihkan makanan setiap mereka makan bersama. Ia tidak terlalu peduli dan tidak ingin repot. Tapi kali ini, demi menjaga image-nya, Gama mengalihkan pilihan itu ke Aileen, dengan kalimat yang sudah ia sesuaikan tentunya. “Boleh pilihin buat aku, Leen?”
Beberapa detik, Aileen menatap Gama dengan bingung. Sampai Gama mengatakan kalau ia akan memakan apa pun yang ia pilihkan, barulah Aileen meminta pramusaji untuk menyajikan makanan yang sama dengan yang ia pesan tadi.
“Udah tau tabiat anak ini kan, Leen? Dia maunya dipilihin kalo lagi makan bareng gini. Males banget buat milih sendiri. Sabar-sabarin ya.”
Aileen mengangguk seakan itu bukan hal yang aneh. Pantas saja saat mereka makan di café, Gama hanya mengatakan kepada pramusaji kalau ia memesan menu yang sama dengannya. Ternyata itu kebiasaan Gama yang baru Aileen tahu. ‘Dasar manja!’
“Coba cerita, kalian gimana bisa deket?” Trias masih benar-benar penasaran dengan kisah cinta anaknya. Ini kedua kalinya Gama membawa seorang perempuan untuk dikenalkan kepadanya. Yang pertama dulu berakhir dengan kegagalan, ia tidak tahu apa sebabnya dan tidak ingin menanyakan lebih jauh kepada Gama yang selalu menghindari topik permasalahan itu.
“Aku ketemu Aileen waktu dia baru mutusin pacarnya,” jawab Gama.
Aileen memicing begitu mendengar jawaban Gama. Apa Gama berniat membuka kisahnya?
“Ya gitu pokoknya, Bu. Kan katanya, kalau mau deketin seseorang, masuklah waktu orang itu sedang terpuruk, butuh pundak, nah itu yang aku lakukan. Kalau nggak gitu, mana mau Aileen sama aku.”
Aileen memilih diam. Well … apa yang dikatakan Gama memang benar. Gama masuk di saat ia butuh seseorang. Selama Gama tidak mengatakan secara detail apa yang sebenarnya terjadi, maka Aileen akan membiarkannya mengarang cerita. Itu memang keahlian Gama kan sebagai seorang pekerja kreatif.
“Tante nggak tau mesti bersyukur kayak apa kalau Gama beneran sama kamu.”
“Tante, saya nggak sebaik itu—”
“Gama banyak kurangnya, Leen. Manja, karena dia anak bontot yang ujung-ujungnya jadi anak satu-satunya yang ikut Tante. Nggak mau ngalah. Maunya diturutin terus. Belum lagi—”
“Bu, kok jadi buka aibku,” potong Gama. Gawat kalau sampai Aileen mundur karena mendengar tingkah lakunya yang minus.
“Oh iya, takut Aileen nggak mau lagi ya. Ya udah, ya udah kita omongin kapan pertemuan keluarga aja.”
Dan setelahnya mereka hanya membahas rencana keluarga Gama yang akan berkunjung ke keluarga Aileen. Trias dengan semangat ’45 merencanakan semuanya, termasuk rencana pertunangan yang sebelumnya sama sekali tidak ada dalam pikiran Aileen.
Aileen menunduk, menatap pakaiannya yang sama sekali tidak berguna untuk membuat wanita di sampingnya itu menolak dirinya sebagai calon istri Gama.
*
“Kenapa, Leen? Keliatan bete? Ibuku ada salah ngomong yang bikin kamu kesel?” tanya Gama begitu mereka berdua berada di mobil dalam perjalanan pulang. Karena ibunya diantar sopir, mereka akhirnya pisah kendaraan, meskipun tujuan mereka searah.
“Hm? Nggak.”
“Kalo gitu, aku yang salah ngomong?”
Aileen menghela napas pasrah. Sesuai janjinya, kalau Gama dan ibunya bisa menerima dirinya meskipun ia sedang berulah, maka Aileen akan menerima rencana pernikahannya.
Terasa, terlihat, dan terdengar bodoh, tapi janji adalah janji.
“Nggak, Gam. Capek aja,” jawab Aileen yang terkulai lemas di kursi penumpang depan.
“Oh. Mau beli coklat? Cake? Something sweet?”
“Kamu mau aku gendut? Ngasih makan manis malem-malem.”
Gama menutup mulutnya. Tidak baik mengganggu macan tidur, bisa-bisa sebentar lagi Aileen mengamuk kalau ia terus bertanya.
Namun karena suasana mobil menjadi hening, Aileen malah tertidur dengan lelap.
Gama yang tadinya diminta Aileen untuk mengantarnya hingga depan rumah, akhirnya memilih masuk ke pekarangan kediaman keluarga Aileen agar Aileen tidak perlu berjalan cukup jauh.
“Leen, udah sampe.” Gama berusaha membangunkan Aileen dengan mengusap pipi wanita itu.
“Hm?” Aileen tersentak kaget dan seketika terbangun. “Kenapa masuk? Kan tadi kubilang di luar aja,” gerutu Aileen saat menyadari kini mobil Gama berada di depan pintu garasi.
“Jauh nanti kamu jalannya dari gerbang ke dalem.”
“Berlebihan. Aku turun ya.”
“Hm. Langsung istirahat.”
“Iya.” Aileen menutup pintu Gama sambil menggeleng pelan. Rasanya jadi seperti sepasang kekasih yang berpamitan sebelum berpisah. Menggelikan.
Setengah mengantuk, Aileen berjalan menuju pintu utama rumahnya. Namun siapa sangka tiba-tiba terdengar suara mamanya yang memanggilnya cukup keras, hampir seperti berteriak.
“Aileen!”
“Apa, Ma? Kenapa teriak?” Aileen bersungut. Seingatnya, ia sudah minta izin untuk bertemu ibu Gama malam itu. Lalu salah apa dia sampai mamanya harus berteriak seperti itu?
“Kamu baru ketemu ibunya Gama kan?”
“Iya, Ma. Kan aku udah bilang.”
Rhea tidak tahan lagi melihat anaknya yang menjawabnya tanpa rasa bersalah. “Kamu begini ketemu ibunya Gama? Apa-apaan sih kamu? Nggak sopan!”
“Hah?” Butuh beberapa detik sampai Aileen akhirnya sadar apa yang dimaksud mamanya. “Ini, aku—” Jelas Aileen gelagapan, ini mamanya yang memergokinya mengenakan pakaian seperti itu.
“Siapa yang ngajarin kamu nggak punya sopan santun gini?” Rhea memukul lengan Aileen yang berbalut kain dengan ketatnya. “Baju apa ini? Mau ditaro mana muka Mama?”
“Iya, iya, ampun, Ma.” Aileen berusaha menghindar dari pukulan mamanya yang sebenarnya tidak bermaksud menyakiti, hanya memberi pelajaran kepada anaknya yang bandel.
Tangan Rhea masih sibuk menyasar apa pun bagian tubuh anaknya yang bisa ia jangkau. “Minta maaf besok ke ibunya Gama. Nggak pernah Mama ngajarin kamu—”
“Iya, iya, Ma, iya.”
“Tante, Tante.” Tiba-tiba saja tubuh Gama sudah berada di antara Rhea dan Aileen, mencoba untuk mengambil alih hukuman yang semestinya diterima Aileen. “Jangan dipukulin calon istriku, Tante. Ibuku nggak masalah kok sama penampilan Aileen. Yang salah aku, tadinya Aileen mau keluar hang out sama temen-temennya tapi dadakan aku ajak ketemu Ibu,” dusta Gama.
Aileen mengusap lengannya yang mungkin memerah. Ternyata pukulan mamanya lumayan juga. Ia sudah lupa rasanya dipukul sang mama. Dan malam ini ia merasakannya lagi karena ulahnya sendiri.
Rhea mengatur napasnya. Ia memang agak kelepasan karena shock melihat pakaian yang dikenakan Aileen untuk bertemu dengan calon mertuanya. “Besok ibu kamu ada di rumah, Gam? Besok pagi Tante ke rumah kamu sebentar pagi-pagi buat minta maaf.”
“Nggak perlu, Tante. Nggak apa-apa kok.”
“Nggak bisa gitu, pokoknya Tante mau ketemu. Bilangin ya.” Rhea melirik anak sulungnya dengan kesal, kemudian berlalu meninggalkan keduanya di teras depan.
Setelah sosok Rhea menghilang di balik pintu, barulah Gama berbalik menghadap ke Aileen. “Kamu nggak apa-apa?” Gama ikut mengusap lengan Aileen di mana tadi Aileen mengusapinya.
“Ngak apa-apa.”
“Dikompres dulu kalo sakit.”
“Nggak. Mama nggak sekenceng itu kok mukulnya. Cuma … agak panas aja rasanya.”
Gama terkekeh pelan. “Makanya jangan bandel. Kamu nggak cocok jadi anak bandel. Udah selesai kan pemberontakannya? Aku sadar di tengah-tengah makan malam. Kamu pengen ibuku nggak nerima kamu kan? Sayangnya ibuku memang secuek itu kalau sama penampilan seseorang. Apalagi ibuku tau kamu gimana di rumah.”
Aileen menatap Gama dengan gamang. “Iya, niatku gitu. Tapi gagal. Ya udah, besok kita bisa mulai nyiapin pernikahan kita.”